1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenya Gelar Referendum Konstitusi

4 Agustus 2010

12,5 juta rakyat Kenya hari Rabu (04/08) memberikan suara dalam referendum untuk mengubah konstitusi negara, agar lebih demokratis. Ini merupakan referendum ke dua yang pernah digelar Kenya.

https://p.dw.com/p/Obk8
Seorang warga Ngong Town, 40 km dari ibukota Nairobi, memberikan suaranya dalam referendum, Rabu (04/08)Foto: AP

Sekitar 70 ribu pasukan keamanan dikerahkan guna menghindari terjadinya kerusuhan di Kenya. Rabu (04/08), lebih 12 juta warga Kenya menentukan apakah Kenya akan memberlakukan sebuah konstitusi baru yang lebih demokratis.

Kelanjutan Referendum Pertama

Iklan referendum sudah disiarkan sejak berminggu-minggu, dalam spot yang menggugahkan partisipasi raryat."Tahukah Anda bahwa dalam rancangan konstitusi baru, rakyat akan memiliki hak recall atas wakil rakyat yang kerjanya buruk….“, begitu bunyisebagian iklan pro referendum di televisi dan radio Kenya.

Referendum kali ini merupakan yang kedua kalinya dalam sejarah Kenya. Empat tahun lalu rancangan konstitusi baru yang pertama gagal mendapatkan dukungan rakyat negara di wilayah timur Afrika itu. Perubahan konstitusi yang diajukan tidak sesuai dengan keinginan rakyat, yang menuntut agar kekuasaan presiden dibatasi. Referendum kali ini merupakan lanjutan atau bagian dari proses reformasi yang digulirkan usai pemilihan umum 2007 dan kerusuhan di lembah Rift yang menelan korban tewas lebih 1500 jiwa dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.

Mengurangi Kekuasaan Para Pemimpin

Dalam rancangan konstitusi kali ini, presiden tetap merupakan kepala negara dan pemimpin pemerintah. Namun presiden bukan saja dilarang bertindak sendiri dalam menunjuk atau memecat anggota kabinet serta hakim tinggi, presiden juga bisa dipecat oleh parlemen. "Lupakan semua keraguan dan bergabunglah, berikan suara Anda untuk undang-undang baru ini,“ demikian seru Presiden Kenya Mwai Kibaki. Ia bersama Perdana Menteri Raila Odinga termasuk kelompok yang mempromosikan konstitusi baru bagi Kenya.

Undang Undang Dasar yang dimiliki Kenya saat ini ditetapkan pada tahun 1963 dan merupakan peninggalan zaman kolonial. Banyak butir perundangan yang dinilai tidak pro-rakyat dan memberikan kekuasaan kelewat besar terhadap kaum penguasa di negara itu. Antara lain dalam pengaturan hak tanah.

Mantan Presiden Kenya Daniel Arap Moi dan para konconya misalnya, berhasil meraup bidang tanah di lembah Rift, yang luasnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki oleh negara. Moi kini bersama Menteri Pendidikan William Ruto melancarkan kampanye untuk menolak konstitusi baru ini. Dalam rancangan terakhir undang-undang baru Kenya terdapat reformasi hukum agraria yang memangkas batas kepemilikan lahan, tapi memberikan hak tanah yang lebih luas kepada rakyat.

Perampingan dalam Pemerintahan

Ruto yang awalnya turut menyusun rancangan konstitusi baru, satu suku dengan Moi. Kaum elit suku itu terancam kehilangan tanah dan pengaruhya, dan Ruto pun berbalik pihak. Kampanye anti reformasi konstitusi yang mereka lancarkan mengungkit kekuatiran yang terdapat dalam masyarakat, seperti pengadaan pajak tanah dan dibukanya kemungkinan untuk aborsi kehamilan.

Dalam rancangan konstitusi baru Kenya, jabatan perdana menteri akan dihapus. Sebagai penggantinya akan dibentuk sebuah senat dan pemerintah daerah akan mendapat kewenangan yang lebih besar. Lebih jauh, untuk menghindari korupsi dan kolusi, jumlah menteri dalam kabinet dipilih dari luar parlemen dan akan dibatasi 22 orang. Separuh anggota kabinet saat ini.

Seorang pastor di Nairobi mengatakan, Kenya sudah 40 tahun menderita. Menurut dia, Kenya membutuhkan perubahan yang memperbaiki kehidupan saat ini dan di masa depan. Ia yakin, referendum undang-undang dasar baru untuk Kenya kali ini akan berhasil.

Edith Koesoemawiria/dw/dpae/afpe
Editor: Hendra Pasuhuk