1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keruntuhan Uni Soviet 20 Tahun Lalu

19 Agustus 2011

Agustus 1991, komunis garis keras Uni Soviet melancarkan kudeta terhadap Presiden Mikhail Gorbachev. Mereka ingin mencegah terpecahnya Uni Soviet, namun yang terjadi malah sebaliknya.

https://p.dw.com/p/12JU0
Simbol Uni Soviet: Palu dan Arit
Simbol Uni Soviet: Palu dan AritFoto: fotolia

Uni Soviet terjun bebas di tahun 1991. Hasil industri berkurang, angka pengangguran tinggi, inflasi menggerogoti simpanan warga. Konflik etnis pecah di Georgia dan Azerbaijan. Lituania menjadi republik Soviet pertama yang menyatakan kemerdekaan. Bahkan upaya mengirimkan badan intelijen KGB ke Vilnius untuk menekan media nasionalis gagal mengembalikan Lituania ke bawah kontrol Soviet. Presiden Mikhail Gorbachev benar-benar kehilangan kendali atas Uni Soviet.

"Uni Soviet bisa saja dan seharusnya diselamatkan," demikian ujar Gorbachev di tahun 2011. Sebelum jatuh, Gorbachev menawarkan reformasi semacam 'Uni Soviet 2.0' yang memberikan otonomi lebih luas bagi setiap negara bagian. Meski idenya tidak populer di kalangan politik, Gorbachev menggelar referendum Maret 1991. Saat itu, lebih dari 70 persen peserta referendum memilih perbaharuan Uni Soviet sebagai federasi yang terdiri dari republik-republik yang setara dan berdaulat. Hasil ini memberi mandat yang kuat bagi Gorbachev untuk mempertahankan Uni Soviet.

Di bulan April tahun itu, Gorbachev bertemu dengan 9 pimpinan republik yang ikut serta dalam referendum di Novo-Ogarevo. Melewati perdebatan alot, kesepakatan mengenai Perjanjian Serikat Baru akhirnya tercapai dan penandatanganan secara simbolis dijadwalkan untuk 20 Agustus 1991. Namun, penandatanganan perjanjian tersebut tidak pernah terjadi.

Upaya kudeta oleh garis keras

Sehari sebelum perjanjian rencananya ditandatangani, yakni 19 Agustus 1991, kudeta terhadap Gorbachev yang telah lama diprediksi akhirnya terjadi. Sekelompok garis keras, termasuk Wakil Presiden, Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Kepala KGB, membentuk dewan krisis sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap reformasi ala Gorbachev.

Mikhail Gorbachev genap berusia 80 tahun 2 Maret 2011. Foto ini diambil saat konferensi pers 'On the Eve of the 80th Birthday: Summing Up.'
Mikhail Gorbachev genap berusia 80 tahun 2 Maret 2011. Foto ini diambil saat konferensi pers 'On the Eve of the 80th Birthday: Summing Up.'Foto: picture alliance/dpa

"Mereka tidak mampu mencapai apapun dengan metode politis yang normal, makanya mereka memilih kudeta," tegas Gorbachev.

Dewan krisis mengklaim Gorbachev sakit dan menjadikannya tahanan rumah saat tengah berlibur di Krimea. Segala hubungan dengan dunia luar diputus. Para konspirator segera mengeluarkan dekrit darurat. Para pemimpin kudeta mengaku berupaya menyelamatkan Uni Soviet dari bencana.

Kekuatan penuh menuju kehancuran

Kudeta mereka gagal. Presiden Rusia yang baru terpilih, Boris Yeltsin, mengambil kesempatan dengan melawan para komunis garis keras. Puluhan ribu orang berkumpul dekat kediaman Yeltsin di Moskow untuk memrotes kudeta. Unjuk rasa berlangsung damai, namun kelanjutannya berbuntut pada tewasnya 3 orang. Barisan tank berpatroli di Moskow pada malam hari.

Setelah 3 hari, status darurat negara dicabut. Gorbachev yang terlihat sakit kembali ke Moskow tanggal 22 Agustus. Para pemberontak ditangkapi. Banyak dari mereka yang bunuh diri. Partai Komunis dilarang dan Gorbachev kembali diangkat sebagai Presiden Uni Soviet. Meski kekuasaannya telah berkurang.

Para pemberontak merencanakan kudeta untuk menyelamatkan Uni Soviet, namun yang terjadi malah menjadi katalisator menuju kehancuran. Di tengah berlangsungnya kudeta, Estonia menyatakan kemerdekaannya, disusul Ukraina dan republik lainnya. Tiga bulan pascakudeta, pemimpin dari tiga republik utama Slavia (Rusia, Ukraina dan Belarus) sepakat untuk bertemu dan kemudian membentuk Persemakmuran Negara-negara Merdeka atau CIS. Pada tanggal 26 Desember 1991, Uni Soviet resmi bubar dan Gorbachev mundur dari kursi presiden.

Tali untuk menggantung diri sendiri

Dua puluh tahun kemudian, Gerhard Simon, seorang ahli Eropa Timur dari Universitas Köln masih bingung dengan kejatuhan Uni Soviet yang terjadi begitu cepat dan tanpa kekerasan. "Bisakah sebuah kekuatan dunia menyerah dengan cara ini, sudah saja gitu melempar handuk ke dalam ring dan pulang?" tanya Simon.

Ia yakin bahwa kekuatan Uni Soviet terlalu dilebih-lebihkan. "Dalam hal kekuatan nuklir jelas kuat, tapi dalam hal ekonomi, Uni Soviet tidak pernah bisa bersaing dengan Amerika Serikat."

Kompetisi antara sistem komunis dan kapitalis juga berperan dalam kejatuhan Uni Soviet menurut Simon. "Sistem Uni Soviet juga hancur karena Barat dengan perekonomian yang lebih baik, mengusung kebebasan, serta pesona Golden West," jelas Simon. Baik itu mobil, sepatu maupun kosmetik, jutaan warga Soviet mengidam-idamkan barang-barang Barat yang tidak mampu mereka beli. "Kesalahan besar dari ideologi dan propaganda Soviet adalah membandingkan diri dengan Barat. Mereka menjerat leher sendiri," lanjut Simon.

Yeltsin ingin mengakhiri Uni Soviet

"Amatlah langka dalam perbandingan sejarah internasional bahwa ada kelompok negara yang resmi, seperti kalangan politik Rusia yang berkuasa, tidak lagi menginginkan Uni Soviet," terang Simon. Ia mengacu pada Boris Yeltsin yang pernah merasakan kekuasaan. Yeltsin mendorong terciptanya kedaulatan Rusia, dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan tidak ada lagi aliran dana bagi pemerintah Soviet di Moskow. "Yeltsin ingin mengakhiri Uni Soviet. Tidak diragukan lagi," tukas Simon.

Motivasi Yeltsin untuk menjauh dari Uni Soviet bukannya tanpa motivasi golongan. Bukan karena ia menginginkan otonomi yang lebih luas bagi semua republik. Yeltsin berharap pergeseran kekuasaan dari kepemimpinan Soviet berarti kekuasaan bagi kepresidenan di Rusia. Menurut Simon, Yeltsin berpikir Moskow masih mampu mempertahankan pengaruhnya di CIS. Namun yang terjadi setelahnya menunjukkan bahwa 'Yeltsin dan konco-konconya, seperti Gorbachev sebelum mereka, tidak benar-benar mengantisipasi konsekuensi tindakan mereka sendiri.'

Roman Goncharenko/Carissa Paramita

Editor: Hendra Pasuhuk