1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

061011 Unentbehrliche Arzneimittel

1 November 2011

Pengembangan obat baru untuk mengatasi penyakit di negara-negara miskin kurang diminati perusahaan farmasi besar. Untuk itu banyak LSM gencar melakukan kampanye obat yang terjangkau bagi pasien di negara-negara miskin.

https://p.dw.com/p/13343
ARCHIV - ILLUSTRATION - Verschiedene Tabletten liegen am 11.03.2010 um eine Euro-Münze herum. Trotz der Gesundheitsreform müssen sich die Bürger nach Darstellung von Bundesgesundheitsminister Philipp Rösler (FDP) auf steigende Kosten für die medizinische Versorgung einstellen. An diesem Freitag soll der Bundestag die künftige Finanzierung der gesetzlichen Krankenversicherung verabschieden. Danach werden 2011 die Beiträge von 14,9 auf 15,5 Prozent steigen. Schon heute am Donnerstag (11.11.2010) will die Koalition ein Gesetz zur Begrenzung der Pharma-Ausgaben durch den Bundestag bringen. Foto: Oliver Berg dpa +++(c) dpa - Bildfunk+++
Kesehatan masih terkait dengan masalah biayaFoto: picture alliance / dpa

Kurang dari satu persen obat-obatan temuan baru yang bertujuan membantu mengatasi penyakit yang banyak menyerang negara-negara miskin. Karena dari pengembangan obat misalnya untuk mengatasi penyakit tidur yang disebabkan lalat tsetse atau penyakit tuberkulosa, perusahaan farmasi kurang mendapat untung. Ini sebabnya banyak lembaga non pemerintah gencar melakukan kampanye bagi obat-obatan yang harganya terjangkau oleh pasien di negara-negara yang kurang mampu.

Sekitar 350 unsur aktif mencukupi untuk terapi 95 persen penyakit yang dapat diobati. Tapi untuk apa yang disebut obat-obatan esensial saja, di banyak negara di kawasan selatan tidak tersedia. Demikian kritik Dr. Christiane Fischer, aktivis organisasi bantuan BUKO: "Sebagian harga untuk obat-obatan terlalu tinggi, yakni bila mereka dipatenkan. Sebuah hak paten adalah monopoli berjangka waktu. Artinya itu mengurangi tawaran dan menaikkan harga. Dan jika harga obat-obatan terlalu mahal dan beberapa jenis obat dipatenkan, maka harganya melonjak amat tinggi."

Kesehatan Adalah Hak Asasi Manusia

Bagi dokter dan aktivis Kampanye Farmasi BUKO Christiane Fischer, kesehatan adalah hak asasi manusia, sesuai dengan asas Badan Kesehatan Dunia WHO. Tapi untuk mewujudkan hak asasi manusia, harga preparat harus lebih murah. Sebagian besar penduduk di kawasan miskin tidak punya uang untuk obat-obatan, meskipun untuk preparat yang penting untuk hidup sekalipun. Jadi setiap tahunnya ratusan ribu orang meninggal karena AIDS atau tuberkulosa. “Misalnya dapat dikembangkan obat baru TBC. Tapi obat baru yang dikembangkan itu dilindungi hak paten dan akhirnya harganya mahal. Obat baru untuk penyakit AIDS sangat penting, tapi harganya luar biasa mahal. Artinya kita harus mempertanyakan: Apakah hak paten masih merupakan solusi yang sesuai untuk merangsang penelitian dan pengembangan?"

Misalnya penyakit Aids. Diperlukan sekitar 11 ribu dollar AS per tahun, bagi biaya perawatan HIV dengan preparat yang dipatenkan. Bahwa ada cara lain yang juga memungkinkan, ditunjukkan perusahaan farmasi India Cipla dengan obat-obatan yang biayanya hanya 350 dollar per pasien per tahun. Tapi hal itu tidak menjadi kepentingan industri farmasi.

Hak Paten Hambat Pengobatan Murah

Tahun 2001 sebanyak 39 perusahaan farmasi dari negara industri kaya menggugat Afrika Selatan, guna mencegah produksi atau impor obat-obatan Aids. Sesaat sebelumnya Afrika Selatan mengijinkan obat-obatan Aids yang dipatenkan dikopi tanpa membayar biaya hak paten. Itu sebuah cara solusi darurat bagi sebuah negara yang memiliki prevalensi infeksi HIV yang tertinggi di dunia. Saat ini harga obat HIV seperti AfriVir dari produsen generik Kongo, hanya 150 Euro per tahun dan per pasien. Tapi bagi banyak penderita HIV biaya pengobatan tersebut, masih tetap belum terjangkau.

Pasien di negara-negara berkembang hanya dapat tertolong, jika harga obat terjangkau. Demikian harapan para pakar dan aktivis yang berjuang untuk kepentingan negara-negara berkembang. Hingga kini pasien yang miskin masih jauh dari sasaran Hak Asasi Manusia di bidang Kesehatan. Karena itu terutama masih menyangkut masalah uang.

Michael Engel/Dyan Kostermans

Editor: Setiawan