1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060611 Tunesien Spurensuche

Setelah Revolusi Melati di Tunisia, kelompok Islamis juga kembali aktif dalam dunia politik. Islamis Tunisia memang dengan tegas mengambil jarak dengan Al Qaida, tetapi motivasi mereka dicurigai kelompok elit muda.

https://p.dw.com/p/129wf

Beberapa pria berjanggut panjang dan berjubah lebar berbincang tentang politik di tepi jalan Avenue Habib Bourgiba di Tunis. Salah seorang mencela pemisahan negara dari agama sebagai penghinaan Allah, sementara yang lainnya mengumpat masyarakat yang bobrok. Percakapan terbuka yang beberapa bulan lalu tak terbayangkan, kini dapat terjadi di Tunisia.

Rasa Curiga

Protestieren in der Avenue Habib Bourguiba
Avenue Habib BourguibaFoto: DW

Tidak jauh dari tempat itu, Cyreen Belhedi duduk dengan teman-temannya di salah satu dari sekian banyaknya kafe di jalan yang ramai itu. Dengan bangga ia memperlihatkan tas barunya yang berwarna merah muda dengan corak ular. Kelompok perempuan dan pria muda ini merokok dan bersantai sambil minum kopi, teh, jus buah dan beberapa minum bir.

Mereka menatap pria-pria berjanggut tadi dengan penuh kecurigaan. Orang-orang itu membuat mereka takut, ujar Cyreen yang berusia usia 27 tahun, yang saat revolusi melati tiap hari turun ke jalan berdemonstrasi. "Bila saya duduk di kafe atau di bar, saya kadang-kadang berpikir, mereka akan menembaki kami atau melemparkan bom. Memang betul mereka sekarang tidak dapat berbuat banyak. Tetapi mereka hanya ingin menyalahgunakan situasi dan memperbesar pengaruhnya."

Tidak Sepaham dengan Al Qaida

Flanieren in der Avenue Habib Bourguiba
Cafe-cafe disepanjang Avenue Habib Bourgiba tempat favorit kaum muda TTunisa berkumpulFoto: DW

Kelompok islamis yang tampaknya paling popuper adalah partai Ennahda. Setelah cukup lama dilarang, partai ini kembali aktif secara politik.

Pemimpin dan bapak spiritual partai Ennahda adalah Rachid Al-Ghannouchi, berusia 70 tahun. Seorang pengawal menjaga di depan pintu rumahnya. Di kebun terlihat pakaian anak-anak dan perempuan bergantungan pada tali yang direntangkan di antara pohon-pohon buah.

Rachid Al-Ghannouchi yang berjas abu-abu dan kemeja putih dan mengenakan sepatu kulit berwarna hitam, dengan santai menerima tamu-tamunya di atas permadani merah di tengah-tengah sebuah kamar besar. Televisi di sudut kamar sedang menayangkan program Al Jazeera. Ketakutan terhadap partainya sama sekali tidak beralasan, kata Ghannouchi.

Chef der Nahda Partei Rachid Al-Ghannoushi
Pemimpin Partai Ennahda Rachid Al-GhannoushiFoto: DW

"Ini merupakan sisa-sisa ketakutan yang disebarkan bekas presiden Ben Ali untuk menghancurkan lawan politiknya. Tujuan partai kami adalah mempertahankan kesatuan rakyat, untuk membersihkan masyarakat dari peninggalan kekuasaan Ben Ali dan untuk memicu pembangunan sebuah negara demokratis yang bebas yang memperlakukan semua warganya sama rata," papar Rachid Al-Ghannouchi.

Ia menambahkan bahwa orang tak perlu takut, dan dengan tegas mengambil jarak dari ideologi kekerasan Al Qaida, "Kami selalu mengatakan dan sekarang juga bahwa aktivitas Al Qaida tidak dapat dibenarkan. Itu adalah teror."

Perjuangan Tunisia

Tunis Demonstrieren für die Freiheit
Beristirahat sejenak dalam demonstrasi bagi kebebasanFoto: DW

Rida Belhaj, juru bicara Partai Tahrir yang radikal, juga mengambil jarak dari teror. Ia melihat perlawanan rakyat di Tunisia dan Mesir sebagai masih belum selesai. Menurutnya, umat Muslim di dunia akan melihat bahwa mereka harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka akan menuntut pembentukan sebuah negara Islam, di mana masyarakat Islam yang madani dan ajaran Islam yang sebenarnya akan diterapkan. Demikian menurut Rida Belhaj.

Cyreen dan teman-temannya masih bersantai di kafe. Dikatakan, mereka memperkirakan bahwa Tunisia tidak akan dikuasai kaum radikal Islam. Namun mereka tidak sepenuhnya yakin akan hal itu. Cyreen mengatakan, bila kaum radikal berkuasa, ia dan teman-temannya akan pindah ke luar negeri. Maka revolusi yang mereka perjuangan menjadi sia-sia, tambahnya.

Khalid El Khaoutit/Saloh/Siagian

Editor: Vidi Legowo-Zipperer