1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketidak Berdayaan di Baltimore

Miodrag Soric30 April 2015

Polisi di Baltimore tidak mampu menghentikan aksi kekerasan dan bentrokan pada saat yang tepat. Polisi menerapkan strategis yang salah dalam kasus ini. Perspektif Miodrag Soric.

https://p.dw.com/p/1FI22
Baltimore / Polizisten / Schatten / USA
Foto: Reuters

Aksi kekerasan di Baltimore yang diwarnai pembakaran toko dan mobil, penjarahan dan aksi pelemparan batu terhadap petugas polisi, dengan argumen apapun tidak bisa dimaafkan. Juga kematian remaja kulit hitam Freddie Gray dalam tahanan polisi, yang hingga kini penyebabnya masih diusut, bukanlah alasan pembenaran bagi kekacauan itu.

Enam petugas polisi yang bertanggung jawab sudah dibebastugaskan. Mungkin juga, akan diseret ke pengadilan. Tapi itu perlu waktu lama. Gerombolan yang berang di Baltimore tidak mau menunggu sekian lamanya. Ratusan perusuh memicu ketakutan dan rasa seram di kota. Polisi membiarkan aksi pembakaran, penjarahan dan pelemparan batu. Alasannya: untuk meredakan ketegangan.

Beberapa jam kemudian, barulah Gubernur Larry Hogan menyatakan situasi darurat dan mengerahkan pasukan garda nasional. Langkah yang sangat terlambat. Pasalnya, media dengan siaran livenya jadi saksi mata bagi jutaan pemirsa, melaporkan bagaimana toko dijarah dan infrastruktur kota dirusak.

Jelas terlihat, banyak pelaku perusakan dan penjarahan tidak ditangkap. Sekarang, kalau pelaku itu bisa ditangkap, mereka harus menghadapi sanksi hukuman berat. Tapi harus diingat, dalam tahanan polisi mereka tidak boleh lagi disiksa, seperti dalam kasus Eric Garner di New York dan mungkin kasus Freddie Gray di Baltimore.

Juga polisi di Baltimore sebetulnya telah diperingatkan sejak dini, akan kemungkinan pecahnya kerusuhan dengan kekerasan di kota itu. Di siang hari ribuan demonstran menggelar aksi protes damai. Tapi setelah matahari terbenam, terjadi bentrokan dengan polisi, aksi pembakaran dan penjarahan.

Terlihat jelas, polisi tak berdaya mencegah aksi pelaku kekerasan, yang sudah dikenal sebagai perusuh dan biang kerok di Baltimore. Pasalnya, antara polisi dan penduduk kota itu sudah sejak lama berkecamuk rasa saling tidak percaya. Kondisinya mirip dengan di Ferguson tahun silam, ketika remaja kulit hitam Michael Brown yang tidak bersenjata ditembak mati oleh polisi kulit putih.

Soric Miodrag Kommentarbild App
Miodrag Soric koresponden DW di Washington

Baik di Baltimore maupun di Ferguson warga menghadapi masalah sosial yang menghantui selama beberapa dasawarsa. Pengangguran di kalangan remaja amat tinggi. Sekolah milik negara mutunya buruk. Politik lokal kewalahan dengan problem ini.

Apakah Presiden Barack Obama dapat mengubah situasinya? Semua tahu, Baltimore hanya berjarak beberapa jam jika naik mobil dari Gedung Putih. Tapi jika mendengar suara para pemrotes, dengan cepat dapat diketahui jawabannya. Warga kulit hitam tidak berharap banyak dari presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat itu. Warga merasa dilupakan oleh presidennya.