1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Di Balik Transaksi 'Esek-esek'

Maman Suherman1 Agustus 2016

Dijajakan pacar, bahkan ada pula oleh orang tua sendiri, demikian nasib para pekerja seks yang ‘curhat' pada Maman Suherman, penulis buku peRempuan, yang mengupas dunia pelacuran di tanah air. Berikut perspektifnya.

https://p.dw.com/p/1JZeN
Foto ilustrasi
Foto ilustrasiFoto: picture-alliance/Maximilian Norz picture-alliance/Maximilian Norz

Di rentang waktu 1980-an, sejumlah teman yang peduli pada persoalan kesetaraan gender berkumpul merencanakan pendirian pusat krisis wanita, women crisis centre. Saya yang ikut hadir terhenyak oleh data yang dipaparkan, bahwa setiap hari ada lima perempuan yang menjadi korban perkosaan.

Hal itu pula yang “menginspirasi' saya sebagai mahasiswa Kriminologi untuk menulis skripsi tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan. Selama dua tahun, 1987 – 1989, saya turun lapangan, masuk ke dalam sindikat perdagangan manusia dan pelacuran, khususnya pelacuran lesbian.

Saya bertemu dengan banyak perempuan korban kekerasan seksual, perkosaan, yang tak bisa keluar dari jerat yang mengikatnya untuk terus menjadi pemuas nafsu birahi sesaat dengan imbalan, yang tak pernah utuh diterimanya. Rata-rata hanya memperoleh 25 – 30 persen dari total penghasilan yang diperolehnya sebagai pekerja seks komersial.

Penuilis novel RE dan peREmpuan: Maman Suherman
Penuilis novel RE dan peREmpuan: Maman SuhermanFoto: Maman Suherman

Selebihnya diambil oleh germo, mucikari, pacar atau kekasih yang berkesan melindungi dan memberinya cinta padahal memorotinya, hingga petugas keamanan atau tukang pukul/body guard yang sengaja dipekerjakan oleh para germo untuk mengawasi mereka. Sesekali, mereka juga harus memberikan “tip” untuk petugas keamanan hotel/motel, tempatnya melayani pelanggan, agar tidak dihalang-halangi masuk ke hotel itu.

Berbagai peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya, hampir tak pernah dilaporkan. Bahkan beberapa di antaranya harus meregang nyawa, dan itu pun tidak dilaporkan. Sebisa mungkin ditutupi oleh para germo dengan cara menyebar “uang tutup mulut” kepada aparat keamanan, agar peristiwa luka kemanusiaan ini tak perlu berlanjut hingga ke proses penyelidikan, penyidikan, pengadilan dan pemidanaan.

Saya pun meyakini, sebagaimana yang diucapkan oleh teman-teman yang berupaya mendirikan pusat krisis, bahwa angka lima kasus perkosaan dalam sehari hanyalah sebuah fenomena gunung es. Angka sebenarnya jauh lebih besar, cuma tidak terlaporkan dengan berbagai sebab.

Setiap hari ada 20 perempuan korban kekerasan

Di periode 1990-an, tepatnya di rentang 1998 – 2010, Komnas Perempuan mencatat, dalam kurun 13 tahun itu kasus kekerasan yang dilaporkan total mencapai 400.939. Dan, seperempatnya adalah kasus kekerasan seksual, yakni 93.960 kasus. Artinya, setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Data ini memantik perhatian saya untuk kembali “turun lapangan” dan meyakini bahwa angka itu pun hanyalah sebuah fenomena gunung es. Berbasis skripsi saya di tahun 1990, “Pola Pemerasan Dalam Kepelacuran Lesbian di Wilayah Jakarta Pusat, 1987 - 1989”, saya mendapat persetujuan dari sebuah penerbit untuk mengalihwacanakannya menjadi novel. Dan untuk mengaktualkan datanya, saya kembali turun mengamati fenomena kepelacuran di Jakarta.

Selama setahun, saya bertemu puluhan pekerja seks komersial usia muda, 15 – 19 tahun, perempuan dan laki-laki, yang siap melayani siapa saja – sejenis, lawan jenis, threesome, orgy – dengan berbagai bentuk jasa pelayanan seksual yang diinginkan konsumennya.

Cyber Sex di Indonesia
Cyber Sex di IndonesiaFoto: DW/A. Purwaningsih

Persaingan di antara mereka untuk mendapatkan konsumen semakin ketat, membuat mereka “jor-joran” mempromosikan dirinya lewat media cetak (iklan mini di koran kota) hingga melalui media internet. Bahasa-bahasa sangat provokatif mereka hadirkan saat mengiklankan dirinya. Di internet, dengan hestek (#) khusus, mereka tak sungkan memasang foto-foto dirinya dengan beraneka gaya, dari yang biasa-biasa saja hingga sangat vulgar.

Sekitar 90% PSK yang saya wawancarai, tak terikat dalam sebuah jaringan, tak tunduk pada germo dan barisan tukang pukulnya. Mereka menjajakan dirinya sendiri. Membentuk jaringan dengan teman-temannya sesama PSK usia muda, jika ada yang meminta pelayanan threesome atau orgy sekali pun.

Rata-rata yang menjadi ‘'jaringannya” adalah teman satu sekolah (SMP,SMA) atau sekampus, atau satu profesi. Atau, teman satu kos-an dan satu apartemen. Jika hanya temannya yang melayani birahi pemesan, sosok yang mempertemukan dengan konsumen mendapatkan 10-20% dari nilai transaksi. Tidak ada kewajiban tertulis di antara mereka. Kisaran persentase sebesar itu dianggap wajar sebagai ungkapan “terima kasih”.

Dijajakan manajer, pacar…bahkan orangtua

Jadi, bukan berarti semuanya mendapatkan total 100% dari penghasilannya, meski tak menggunakan “jasa” germo atau terikat dalam sebuah sindikasi. Selain “uang terimakasih” kepada teman yang menjadi penghubung, tak sedikit di antara mereka yang mengangkat semacam asisten atau penghubung yang mengantar jemput ke lokasi yang disepakati bersama oleh konsumennya. Beberapa di antaranya menggunakan jasa penata make-upnya, yang disebutnya sebagai asistennya atau menejernya, hingga teman sekolah, teman sekampus atau pacarnya sendiri.

Sejumlah mahasiswi yang saya temui, tak jarang diantar oleh cowoknya, yang sekaligus rekan sekampusnya. Bahkan, beberapa di antara mereka, berhasil saya kenal dan wawancarai, melalui jasa cowoknya, yang menjajakannya melalui berbagai media sosial, termasuk melalui SMS/BBM/WA. Yang lebih mengkhawatirkan, ada di antara mereka yang justru dijajakan oleh ibu dan atau ayah kandungnya sendiri.

Komunikasi lewat BBM
Komunikasi lewat BBMFoto: DW/A. Purwaningsih

Berbagai kekerasan yang tak terlaporkan kerap saya dengar dari mulut mereka. Dalam beberapa pertemuan, saya bahkan melihat sendiri luka-luka dan lebam-lebam di tubuhnya. Tak sekali-dua, saya harus membantu membawa mereka ke klinik untuk mengobati lukanya yang masih berdarah dan menganga. Ada yang mengaku dihajar oleh kekasihnya, atau oleh ibu dan bapaknya sendiri yang ikut menjajakannya. Beragam penyebab. Termasuk, jika mereka dianggap mengecewakan pelanggan atau penghasilannya berkurang.

Dan, fenomena ini lagi-lagi meyakinkan saya, bahwa angka yang dipaparkan Komnas Perempuan, hanyalah sebuah fenomena gunung es. Masih banyak peristiwa kekerasan seksual yang tak terdata karena tak terlaporkan.

Rata-rata mengaku enggan melaporkan peristiwa kekerasan yang dialaminya karena mendapatkan ancaman dari pelaku. Tetapi lebih dari itu, “Ya, malulah kalau melapor. Berarti saya ketahuan dong, kalau jadi pelacur,” aku salah seorang di antara mereka.

“Teman saya pernah melapor. Bukannya langsung dilayani, malah ditertawakan, dihina dan dianggap pantas menerima kekerasan itu. Aparat bilang, ‘Itu risiko pelacur',” aku salah seorang PSK berusia 17 tahun.

“Kalau saya melapor, itu berarti saya melaporkan ibu bapak saya sendiri,” aku seorang lainnya, yang menjajakan diri “dibantu” oleh orangtuanya sendiri.

Fenomena ini yang kemudian menjadi latar penulisan novel saya yang terbaru, yang terbit pertengahan 2016, berjudul ‘peREmpuan'. Ini kelanjutan dari ‘RE:' yang berbasis dari hasil skripsi saya ditambah data-data terbaru di tahun 2013.

Rawan kekerasan

Karena ingin melanjutkan serial fiksi ini, saya kembali turun lapangan untuk mendapatkan fakta-fakta teraktual. Sejumlah PSK usia muda yang saya temui, tampak ngeri dengan berbagai kejadian belakangan ini, yang menimpa perempuan-perempuan yang dikabarkan dan disebutkan oleh media sebagai ‘berstatus' PSK. Dua kejadian terakhir, adalah peristiwa seorang perempuan yang dibunuh dan dimasukkan dalam kotak plastik lalu dibuang di bawah kolong jembatan tol, dan seorang perempuan lainnya yang ditemukan sudah terbunuh secara sadis dengan sejumlah luka menganga di tubuhnya. Keduanya ditemukan di wilayah Jakarta Utara.

“Mereka sudah menjadi korban pembunuhan, dan diberitakan pula sebagai PSK, padahal itu baru pengakuan dari para pelaku. Coba bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan. Semoga saya tidak mengalami nasib seperti ini,” tutur seorang perempuan pengusaha berusia 21, yang saya temui di apartemennya. Selain berbisnis kuliner dan busana, ia juga melayani lelaki hidung belang yang mau merogoh koceknya Rp 3 juta untuk pelayanan singkat, 3 jam.

Kakak kandungnya pun, yang cuma berbeda usia setahun darinya, juga menjalani profesi ganda yang sama. Keduanya bukan berasal dari kalangan bawah, tapi kalangan menengah kota. Orangtuanya terpandang, dan kedua kakak-beradik ini tinggal terpisah di apartemen berbeda yang disewanya Rp 6-8 juta per bulan. Keduanya pun mengendarai mobil sedan mulus seharga Rp200 jutaan.

“Pemberian orangtua?” tanyaku.

“Beli sendiri,” aku keduanya.

“Orangtua kalian tahu kalau kalian punya mobil?”

“Tahulah. Kalau pulang ke rumah, kami bawa mobil.”

“Mereka pernah nanya, kalian dapat mobil dari mana?”

“Nggak, mereka nggak pernah nanya.”

Saat terakhir bersua dengan salah seorang di antara mereka, saya melihat luka besar di kakinya. “Di lempar pot bunga oleh pacar saya,” akunya.

Penyebabnya, karena pacarnya meminta uang dan ia tak memberikannya. “Salah saya. Dia yang cari klien, tapi saya belum kasih bagiannya,” akunya sambil menahan rasa sakit.

Lagi-lagi saya tetap percaya, bahwa angka dari Komnas Perempuan, yang terus bertambah besar, bahwa saat ini, setiap 24 jam terjadi 35 kekerasan seksual terhadap perempuan, atau setiap dua jam terjadi tiga kekerasan seksual, hanyalah fenomena gunung es.

Yang tak terlaporkan, dari perempuan-perempuan yang mendapat label: penyandang masalah sosial, masih terbilang besar. Berbagai alasan menjadi penyebabnya. Yang paling perih yang pernah saya dengar adalah kalimat: “Kalau kami melapor, kami malah mendapat malu! Aib kami jadi tersebar! Ketika nyawa pun hilang, terbunuh, kami tetap di posisi yang salah. Di posisi yang dianggap pantas menerima risiko itu!”

Jangankan mereka yang tak melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya, masih dari Komnas Perempuan, terkuak fakta, bahwa dari data mitra Komnas Perempuan, Forum Pengadalayanan di lima wilayah (Jateng, Sumbar, Aceh, Jatim, Sulawesi), ditemukan fakta bahwa 80% korban kekerasan seksual menempuh jalur hukum. Tetapi, 50% di antaranya diselesaikan dengan mediasi. Ada yang dinikahkan dengan sang pelaku kekerasan seksual itu, dianggap tidak cukup bukti dan juga karena korban kelelahan berhadapan dengan (proses) hukum. Sementara sisanya, 40% berhenti di tahap awal, dan hanya 10% yang maju ke persidangan. Dengan catatan: tak semua pelaku kekerasan seksual dipidana dengan hukuman maksimal!

Air mata, darah dan nyawa perempuan di negeri ini, memang masih terbilang sangat murah! Entah, hingga kapan?

Penulis:

Maman Suherman adalah konsultan kreatif acara televisi, penulis buku di bawah kelompok KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Sebelumnya merupakan Pemimpin Redaksi di Kelompok Kompas Gramedia (1986-2003); Direktur Operasional dan Managing Director di Rumah Produksi/Biro Iklan Avicom - Auvikomunikasi Mediaprima (2003-2011) menghasilkan lebih dari 50 judul acara televisi berbagai genre, juga iklan

@maman1965

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.