1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kompetisi Keimanan

13 Februari 2017

Mengapa di negeri ini, melawan kekokohan seorang kandidat gubernur di ibukota negara bisa dilakukan dengan membawa isu agama dan etnisnya? Berikut yang menjadi pertanyaan penulis Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/2XLlE
Indonesien Islamisten Demo in Jakarta Habib Rizieq
Foto: Reuters/D. Whiteside

Ketika masih sangat muda, saya diajarkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah falsafah hidup tertinggi bangsa ini. Karena kita semua berbeda tetapi tetap satu, sekumpulan negara-negara kecil dengan masing-masing bangsa dan bahasanya yang menyatakan dirinya tunduk pada satu kedaulatan yaitu institusi bermama Republik Indonesia. Saya pikir semua sudah jelas.

Saat itu teman sekelas saya datang dari berbagai latar etnis atau agama, mulai Bali sampai Batak, Minang sampai Bugis, Kristen sampai Hindu dan seterusnya. Tentu saja karena saya besar di Jakarta, di Pulau Jawa, etnis mayoritas yaitu Jawa banyak disana, juga mereka yang beragama Islam….seperti saya.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Hari ini, sekitar 30 tahun kemudian saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, apa iya keberagaman adalah hal mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Sukarno, sang presiden pertama pernah meminta bangsanya untuk menikah antar etnis "Dengan demikian kesatuan Indonesia yang sesungguhnya akan mudah terjadi,” hal yang terjadi sejak lama, walau tidak mudah begitu saja terjadi jika faktor pembedanya adalah agama dan kepercayaan.

Faktanya keberagaman bagi saya seolah jatuh menjadi slogan kampanye, materi bisnis periklanan terlaris di republik. Semua orang meneriakkan berbagai dimensi tentang perbedaan sembari tanpa sadar mencela mereka yang tidak sepaham dengannya…..tidak sepaham? Nanti dulu, lebih tepatnya mereka yang dianggap memiliki pemahaman lebih cetek darinya.

Pertemanan berpuluh tahun sejak masih di Sekolah Dasar dengan ingus yang meleleh di hidung seolah terlupakan. Bahwa "Iman Anda tidak sebagus saya,” bisa menjadi alasan untuk memutus tali silaturahmi yang faktanya di era modern, di negara yang besar ini hanya bisa kita lakukan dengan bantuan teknologi media sosial. Jangankan bicara beda agama, pada yang seimanpun hubungan bisa renggang hanya karena ada yang merasa bahwa untuk pergi ke surga maka harus titip tiket padanya.

Indonesia adalah hasil dari sekumpulan negara yang di masa lalu menjadi destinasi banyak bangsa di sekitarnya atau bahkan jauh darinya untuk mencari peruntungan. Secara geografis Nusantara memang layak dijadikan tujuan mereka yang berangkat dari daratan Cina, Jepang, Timur Tengah atau bahkan Asia Tenggara lainnya demi mencari penghidupan atau alam yang lebih baik……itu dulu, ratusan tahun lampau.

Di masa kini, generasi ke 7 atau 12 dari mereka yang datang dari timur kawasan Asia masih saja dianggap pendatang  di tanah ini. Seolah tak sadar bahwa baju koko, bedug, bumbu sambal atau bahkan mata sipit milik beberapa etnis di Nusantara ini datang dari kawasan pertama menemukan mesiu dan kertas.

Faktanya dunia sudah berubah, negara-negara berekonomi kuat di Eropa terus didatangi pendatang dari negara sekitarnya yang lebih sulit secara ekonomi. Pesepakbola berkulit hitam keturunan Ghana, Muslim asal Turki atau Albania bahkan sudah bermain untuk tim nasional Jerman, situasi yang di masa lalu nyaris tak bisa ditemukan. Sementara disini, di negara saya, kita yang dibesarkan oleh aneka slogan keberagaman dan persatuan jauh sebelum negeri ini diproklamirkan pada tahun 1945, situasi justru berlari sebaliknya. Berbeda pilihan politik menjadi masalah, agama adalah isu yang sangat sensitif  walau pernyataannya hanya masalah "Saya punya banyak kawan Muslim”.

Di negeri ini, melawan kekokohan seorang kandidat gubernur di ibukota negara bisa dilakukan dengan membawa isu agama dan etnisnya. Saya tidak terlalu yakin ketika Alberto Fujimori berkampanye menjadi presiden di Peru berpuluh tahun lampau, apakah etnis Jepang nya yang praktis minoritas disana menjadi isu yang penting? Atau ketika Barack Obama berkampanye, saya tak yakin lawan politiknya menjadikan warna kulit atau siapa bapaknya menjadi isu penting untuk melawannya.

Tetapi disini bisa, sangat bisa. Karena pekik ‘Merdeka!' dan ucapan ‘Beda Itu Indah' hanyalah sekedar jargon, bukan filosofi.

Penulis:

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.