1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

220212 Somalia Konferenz

23 Februari 2012

Petinggi dari lebih 50 negara bertemu dalam konferensi, Kamis (23/02). Inggris punya kepentingan sendiri soal keamanan dalam negeri.

https://p.dw.com/p/1489P
PM David Cameron, nomor lima dari kiri, memimpin konferensiFoto: AP

Waktunya mendesak. Mandat pemerintah transisi Somalia berakhir Agustus. Dan tidak ada seorangpun dari masyarakat internasional mau mengambil resiko vakum kekuasaan di negara yang semakin dekat pada kehancuran, dilanda kelaparan dan terorisme.

Somalia ambruk dalam perseteruan antara panglima perang, klan dan faksi yang saling bersaing, setelah Siad Barre digulingkan tahun 1991. Sejak itu lebih dari 1 juta orang tewas, menurut Komite Internasional Palang Merah, ICRC.  Pemerintah interim dukungan barat yang lemah, yang hanya menguasai sejumlah kecil wilayah, berperang dengan milisi Al Shabab. Kelompok ekstrimis yang baru-baru ini menyatakan bergabung dengan Al Qaida  itu juga menampung puluhan simpatisan dan relawan barat, kebanyakan dari Inggris.

Khususnya Inggris memperingatkan bahaya yang ditunjukkan Al Shabab, dengan pernyataan PM Inggris David Cameron bahwa kelompok itu bukan hanya mendorong aksi kekerasan di Somalia, tetapi juga di luar Somalia.

Karena itu bukan kebetulan bila menjelang konferensi Somalia, Menteri urusan Afrika Henry Bellingham mengunjungi mesjid di Finsbury Park, London utara. Sebelumnya, Menlu William Hague melakukan kunjungan singkat yang diliput secara luas di Mogadishu dan meresmikan kedutaan besar. Sebuah pos di garis depan, dalam pertempuran Inggris melawan teror.

Upaya harus diteruskan

Konferensi di London kamis ini mencoba menjembatani jurang antara aktor-aktor penting Somalia yang sudah mapan di dunia barat, dan para wakil dari negara Afrika dan Arab. Sebelumnya, Qatar, Turki dan Uni Emirat Arab mengeluhkan dominasi AS dan Ethiopia yang menolak berunding dengan Al Shabab.

"Amerika dan negara seperti Inggris tidak mau berunding dengan Al Shabab karena masih menganggapnya organisasi teror", kata Emmanuel Kisangani dari Institut Studi Kemanan di Nairobi. "Perundingan bisa dilihat sebagai pemberian legitimasi. Sebaliknya pihak yang mendukung perundingan berargumen, Al Shabab menguasai sebagian besar wilayah Somalia, termasuk daerah yang dapat meredam kriminalitas dan menumbuhkan keamanan. Solusi militer murni tak akan berhasil di Somalia."

Kepentingan soal keamanan juga diusung delegasi Jerman. Peresmian kedutaan besar di Jibuti menunjukkan tekad Berlin untuk berkontribusi bagi stabilitas regional di tanduk Afrika.

Walter Lindner, utusan Afrika dari Kementrian Luar Negeri mengatakan, "Alasan penyelenggaraan konferensi adalah berakhirnya masa transisi pertengahan tahun ini. Selain itu juga tekad bahwa kita harus melanjutkan upaya menghadapi krisis kemanusiaan, perompakan, terorisme dan migrasi. Apa yang sudah kita lakukan harus diteruskan dan saya harap konferensi akan memberi kontribusi.“

Tak ada peta perdamaian

Masalah yang menimpa Somalia, bukan hanya berdampak pada negara itu tetapi seluruh dunia, kata PM Inggris David Cameron saat membuka konferensi, hari Kamis di London. Akan ada harga yang harus dibayar, jika masyarakat internasional memilih untuk berpangku tangan. Cameron mencoba meyakinkan bahwa merupakan kepentingan semua pihak untuk berupaya membantu rakyat Somalia memecahkan masalahnya. 

Namun banyak pengamat Somalia meragukan manfaat konferensi. Kritik mengalir deras karena tak ada peta perdamaian bagi Somalia setelah mandat pemerintah transisi selesai, 23 Agustus.

Emmanuel Kisangani mengaku, "Saya sangat skeptis. Semua pihak ingin agar mandat pemerintah interim berakhir. Tapi apa yang terjadi setelah itu, tak ada yang tahu."

Pengerahan pasukan dan pembiayaan misi perdamaian untuk Somalia di bawah Uni Afrika, juga menjadi salah satu tema utama konferensi. Keinginan DK PBB untuk menambah jumlah pasukan helm biru di negara itu menjadi 17.000 orang terbentur biaya. Tepat sebelum konferensi dimulai, Uni Eropa mengumumkan tambahan dana "dalam jumlah signifikan".

Tanpa itupun, Uni Eropa merupakan donor terbesar bagi Somalia dengan total sumbangan 1 miliar Euro dalam 4 tahun terakhir. Misi khusus 'Atalanta' yang dilancarkan Eropa untuk memerangi perompakan di perairan Somalia, juga menjadi bahan diskusi dalam konferensi.

Ludger Schadomsky/ Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk