1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berunding Dengan Musuh Juga Perlu

Matthias von Hein29 Oktober 2015

AS merevisi total politiknya dalam krisis Suriah. Iran yang merupakan mitra erat Assad kini diundang mengikuti konferensi internasional. Sebuah langkah yang amat terlambat. Opini Matthias von Hein.

https://p.dw.com/p/1GwTp
Atomverhandlungen zwischen US-Außenminister John Kerry und iranischem Außenminister Javad Zarif im schweizerischen Lausanne
Foto: Reuters/Brian Snyder

Washington melakukan perubahan haluan dramatis dari posisi inti krisis Suriah. Salah satunya, pernyataan menteri pertahanan Ashton Carter, di masa depan akan mengerahkan pasukan darat untuk memerangi Islamic State-ISIS. Tapi yang paling penting adalah kesiapan AS mengikut sertakan Iran, aktor utama dalam drama Suriah di meja perundingan.

Cukup lama AS dan Arab Saudi menolak kehadiran Iran. Januari 2014, AS mendesak Sekjen PBB Ban Ki Moon untuk membatalkan undangannya kepada Iran untuk ikut konferensi intrernasional di Jenewa. Kini seiring dengan makin kuatnya pengaruh kelompok teroris Islamic State-ISIS, intervensi militer Rusia, serta gagal totalnya gerakan pemberontak yang dilatih dan dipersenjatai oleh Amerika. Faktor itu memaksa Washington mengubah sikap. Kita tidak bisa hanya berbicara dengan kawan, jika ingin memecahkan konflik yang rumit. Sekali waktu kita juga harus berunding dengan musuh.

Juga jika Moskow dan Teheran tetap memandang Bashar al-Assad sebagai presiden legitim Suriah. Pasalnya, tanpa mengikutsertakan dua mitra penting rezim Suriah ini, tidak akan tercapai solusi konflik. Suka atau tidak suka inilah realitanya. Artinya, paling tidak harus ada masa transisi dengan Assad. Alternatif lain tidak atraktif.

Kommentarbild App
Matthias von Hein redaktur DW

Sebab, apa yang dipuji barat sebagai kelompok oposisi moderat di Suriah, lebih banyak fantasinya ketimbang realitas. Oposisi itu pada kenyataannya adalah milisi bersenjata yang terpecah dan saling hantam sendiri. Perbedaannya hanya derajat ekstrimismenya, dengan ISIS dan Front al Nusra yang sayap Al Qaida berada di puncak spektrum ekstrim.

Di sisi lain, juga tidak bisa ditepis lagi, bahwa dalam konflik berkepanjangan yang sudah menelan 300.000 korban jiwa, dukungan untuk rezim Assad dari kalangan rakyat juga makin meningkat. Faktanya, hampir empat juta rakyat yang terusir dari kawasannya akibat konflik, kini memutuskan mencari perlindungan di ibukota Damaskus.

Sejujurnya, dinamika semacam ini harusnya sudah muncul 3 tahun silam. Di saat Marrti Ahtisaari, negosiator Suriah saat itu, mantan presiden Finlandia sekaligus pemenang Nobel Perdamaian mengusulkan "Assad mundur teratur dengan menjaga muka" sebagai bagian dari solusi perdamaian. Tapi AS, Inggris dan Perancis ngotot menolak, karena yakin aksi militer yang mereka lancarkan akan dapat menumbangkan Assad secepatnya.

Kini ada setitik harapan, bahwa perundingan di Wina, yang melibatkan "musuh" yakni Iran dan Rusia, akan jadi langkah awal untuk mengakhiri pertumpahan darah di Suriah.