1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

220211 Kraftwerk

22 Maret 2011

Kraftwerk dari Düsseldorf adalah mitos, pembentuk gaya instan, pembuka jalan bagi pop elektronik, hiphop, techno. Kraftwerk, hampir semua mengenal musiknya, tapi ada apa di balik pemusiknya?

https://p.dw.com/p/10eqR
Anggota Kraftwerk-Ralf Hütter, Fritz Hilpert, Henning Schmitz dan Florian SchneiderFoto: dpa

Singkat saja. Apa arti Rainer Werner Fassbinder bagi sinema Jerman dan Joseph Beuys bagi seni rupa, adalah Kraftwerk bagi musik Jerman setelah PD II. Ketika tahun 1969 syair lagu dengan melodi tak bermutu menentang perang Vietnam dan menyerukan lebih banyak „Heidschi Bumbeidschi“, Ralf Hütter dan Florian Schneider memutuskan untuk memprakarsai musik rakyat Jerman sendiri, menjauh dari pengaruh musik anglo Amerika.

Menilik ke belakang Ralf Hütter bercerita, " Waktu itu bagi kami masalah besar, untuk bisa membuat musik setelah perang di Jerman, dimana musik yang hidup, musik keseharian lenyap, hilang. Generasi kami harus kembali memulai dari awal."

Setelah tiga album penuh eksperimen dengan bunyi-bunyian yang paling komplex hingga yang paling sederhana, musik rock jerman sampai musik anak-anak, tahun 1974 Kraftwerk memanifestasikan diri dengan album „Autobahn“, jalan tol. Monoton, pengulangan, dan gerakan ritme sebagai refleksi nasib manusia menghadapi cepatnya laju perkembangan teknik. Daripada kata yang berbunga-bunga, para pekerja musik membatasi diri hanya pada kata-kata yang berasal dari rambu-rambu penunjuk arah. Dijelaskan Hütter, "Sudah sejak awal kami memiliki konsep untuk musik rakyat elektro. Musik ini adalah jenis musik masa depan bagi era dunia komputer."

Instrumen alami diganti elektronik

Setiap instrumen alami dalam kelompok itu diganti dengan bentuk elektronik. Karena di atas panggung, penggebuk drum terlalu berkeringat dan peralatannya tidak lagi cocok dengan gambaran instrumen perkusi yang umum, maka band inipun menciptakan komputer drum, juga banyak suara perkusi lainnya.

Penampilan kelompok musik asal Dusseldorf ini pun semakin artifisial. Terkadang dengan seragam merah hitam, dengan gerakan yang patah-patah sampai akhirnya menggunakan figur-figur robot. Pendamping Kraftwerk, Holger Czukai merangkumnya, "Kraftwerk memang juga band musik, tetapi pada akhirnya melepaskan prinsip band demi sebuah desain, yaitu desain bunyi."

Musikgruppe Kraftwerk Expo 2000
Foto: dpa

Selain musiknya, hal penting yang menjadi mitos Kraftwerk adalah para pemusiknya yang hidup mengasingkan diri di tengah kota Düsseldorf. Hütter mengaku, mereka tidak begitu pintar bicara, dan karenanya mereka lebih senang bermusik. Dan mereka memang tak banyak bicara dalam 40 tahun terakhir. Terkadang orang melihat mereka sebagai penggila balapsepeda melintasi pinggiran kota, terkadang mereka mengenakan jas lengkap, sambil menjinjing tas dokumen memasuki studio KlingKlang yang legendaris di pusat kota Düsseldorf. Tak ada orang selain mereka yang boleh melewati pintu studio.

Kraftwerk, mesin manusia

Apabila kedua musisi pemalu ini terpaksa tampil untuk wawancara televisi, maka mereka lebih senang mengirimkan salah sebuah robot, yang bentuknya menyerupai diri mereka. Jurnalis yang berharap mendengar robot itu bercerita, pasti kecewa. Di balik kostum robot itu, Ralf Hütter biasanya berfilosofi tentang Kraftwerk, gerakan, gaya dan mesin. "Konsep kami, Kraftwerk adalah mesin manusia. Artinya, kami memainkan mesin dan mesin-mesin itu memainkan kami."

Tahun 2009 Florian Schneider meninggalkan Kraftwerk. Ralf Hütter melanjutkan sendirian. Ia mengurus peninggalan Kraftwerk, kembali melakukan tur dan tak henti membentuk ulang karya-karya lama, mencocokkannya dengan teknik termuktahir. Dalam sebuah wawancara ia pernah berkata bahwa ia ingin mengubah nama belakangnya menjadi Kraftwerk. Ia adalah Kraftwerk, mesin manusia. Baginya, tak ada lagi perbedaan besar antara mesin dan manusia.

Tandasnya, "Manusia juga dialiri listrik, itu bisa dilihat kalau kita melakukan pemeriksaan jantung, EKG. Mesin dan manusia bukan hal yang bertolak belakang, alam dan teknik, kami melihatnya sebagai suatu kesatuan.”

Uli José Anders / Renata Permadi
Editor: Edith Koesoemawiria