1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krimea Jadi Benteng Militer Rusia

Roman Goncharenko/Yulia Vyshnevetskaya (as/vlz)16 Maret 2015

Krimea setahun setelah dianeksasi Rusia kini jadi benteng militer untuk hadapi Ukraina. Hingga 40.000 serdadu Rusia dengan persenjataan lengkap disiagakan di pangkalan militer Laut Hitam itu. Tapi warga menderita.

https://p.dw.com/p/1EqGZ
Russische Panzer auf der Krim
Foto: picture-alliance/dpa

Presiden Vladimir Putin tepat setahun setelah melakukan aneksasi semenanjung Krimea, mengakui telah memerintahkan pencaplokan kawasan Ukraina di Laut Hitam yang penting bagi strategi itu. Alasannya, lebih dari 75 persen warga di kawasan itu adalah etnis Rusia yang ingin bergabung dengan Rusia.

Dalam referendum sepihak yang digelar 16 Maret 2014, menurut keterangan Rusia lebih dari 96 persen warga Krimea memilih bergabung dengan Rusia. Referendum itu dikawal ketat pasukan militer Rusia yang menyamar dan tidak mengenakan seragam atau tanda pangkat. Tidak ada pengamat independen yang diizinkan memantau. PBB mengecam aksi Rusia itu sebagai melanggar hukum internasional.

Sekarang, tepat setahun setelah referendum kontroversial itu, kawasan semenanjung Krimea menjadi benteng militer pasukan Rusia untuk hadapi Ukraina. Dilaporkan antara 25.000 hingga 40.000 serdadu Rusia dengan persenjataan lengkap disiagakan di pangkalan militer Laut Hitam itu. Serdadu Rusia didukung tank-tank baru, panser, kapal perang dan pesawat tempur. Putin juga tidak menutup kemungkinan penempatan senjata atomnya.

Realita pahit di bawah Rusia

Setahun setelah aneksasi Rusia dengan kedok referendum, warga di kawasan Krimea harus menghadapi realita pahit. Kini berbagai masalah menjadi keseharian di semenanjung yang dijadikan pangkalan militer Rusia itu. Masalah lalu lintas, kelangkaan bahan bakar dan bahan pangan hanya sebagian dari problem yang dihadapi warga.

Akibat sanksi barat, semua perusahaan Eropa dan AS sudah hengkang. Di Krimea kini tidak ada lagi rangkaian restoran makanan cepat saji McDonald. Kartu kredit Mastercard dan Visa tidak berlaku. Juga gerai penjualan smartphone dan komputer terkemuka seperti Apple sudah lama tutup. Sektor ekonomi praktis lunpuh.

Yang lebih membuat sengsara warga di semenanjung Krimea adalah diberlakukannya mata uang Rusia, Rubel sebagai alat pembayaran resmi. Merosot drastisnya nilai tukar Rubel akibat berbagai sanksi barat, menyebabkan pendapatan riil warga Krimea susut separuhnya.

Bahan pangan yang biasanya disuplai dari Ukraina, akibat embargo sudah sejak setahun dihentikan. Akibatnya bahan pangan langka, harganya naik, sementara di sisi lain pendapatan warga justru turun. Warga melaporkan, kegiatan di Krimea setahun setelah aneksasi, hanya terpusat pada urusan militer. Dilaporkan, pengiriman logistik dan bahan bakar untuk militer naik dua kali lipat, sementara ironisnya warga mengalami kelangkaan di segala lini kehidupan.