1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiSri Lanka

Krisis Ekonomi Sri Lanka Memicu Banyak Warga Ingin Pergi

Krithiga Narayanan
6 Juli 2022

Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam sejarah. Kelangkaan bahan bakar membuat negara itu terhenti. Banyak warga yang sekarang meyakini pergi adalah satu-satunya pilihan mereka.

https://p.dw.com/p/4Dimi
Antrean kendaraan di pompa bensin di Kolombo
Antrean panjang kendaraan untuk mendapatkan bahan bakar di KolomboFoto: Saman Abesiriwardana/Pacific Press/picture alliance

Memburuknya krisis ekonomi di Sri Lanka berpengaruh pada kebutuhan sehari-hari warganya. Kenaikan harga kebutuhan pokok hingga langkanya bahan bakar dan obat-obatan membuat banyak orang ingin meninggalakan negara itu.

Pada Selasa (05/07), Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan bahwa dengan utang sekarang yang berjumlah lebih dari 50 miliar dolar, Sri Lanka adalah "negara bangkrut."

Tanpa tanda-tanda krisis mereda dan tidak ada dana talangan dari IMF yang terlihat, banyak warga Sri Lanka yang sudah putus asa memilih untuk pergi dengan cara ilegal ke negara tetangga, seperti India dan Australia.

Hingga saat ini, lebih dari 90 pengungsi telah mendarat di India, di mana mereka ditahan di sebuah kamp pengungsi.

Bahan bakar menjadi barang mewah yang langka

Sri Lanka kehabisan bahan bakar dan saat ini memiliki persediaan yang sangat terbatas. Pada 28 Juni, pemerintah mengumumkan pembatasan distribusi bahan bakar, dan mengatakan bahwa selama hampir dua minggu, bahan bakar akan diberikan bagi layanan penting seperti transportasi umum dan layanan darurat. Banyak sekolah juga ditutup dan transportasi umum dibatasi.

''Situasi ini sama seperti lockdown,'' kata Amaan Rifai, 25 tahun, seorang pemilik bisnis di Dehiwala.

Di banyak wilayah di Sri Lanka, SPBU telah membuat antrean terpisah untuk layanan penting. Jika stok tersedia, maka pelanggan lain mungkin juga mendapatkan bahan bakar.

''Kalau beruntung, bisa dapat bahan bakar, atau harus pulang dengan tangan hampa. Meskipun demikian, orang-orang masih pergi setiap hari untuk berdiri dalam antrean panjang selama berjam-jam. Kakak saya berdiri dalam antrean hampir empat jam, tapi dia tidak bisa mendapatkan bahan bakar,'' ungkap Ruvini Gunawardana, pemilik homestay berusia 30 tahun dari Dambulla.

Kerumunan orang di luar pompa bensin di Hatton, sebuah kota di Distrik Nuwara Eliya
Orang-orang dibiarkan berdiri berjam-jam, bahkan berhari-hari, dengan harapan bisa mendapatkan bahan bakarFoto: Pragadheeshwaran Sembulingam/DW

Namun, mengantre terus-menerus selama dua sampai tiga hari tidak menjamin akses ke bahan bakar. Pihak berwenang telah menyiapkan sistem token, tetapi itu berarti orang harus berdiri dalam antrean panjang untuk mendapatkan token. Bahkan token ini tidak menjamin seseorang dapat membeli bahan bakar.

"Dibutuhkan hampir tiga hari untuk mengisi tangki mobil saya dengan bahan bakar. Saya harus mengantre untuk mendapatkan token dan kemudian mengantre lagi di antrean bahan bakar. Kami menggunakan cuti tahunan kami hanya untuk mengantre,'' kata Nirosh Vijay, presenter radio berusia 33 tahun dari Kolombo.

Di beberapa tempat, harga bahan bakar mencapai 1.500 rupee Sri Lanka (sekitar Rp62.000) per liter untuk roda dua, 2.000 rupee (sekitar Rp83.500) per liter untuk becak roda tiga, dan 5.000 rupee (sekitar Rp208.000) per liter untuk kendaraan roda empat. Ada juga pasar gelap yang menjual bahan bakar dengan harga yang lebih tinggi.

''Orang-orang frustrasi dan berjuang dalam antrean. Banyak yang tidak mampu membeli makanan dan mereka berdiri dalam antrean sambil kelaparan. Kami terkadang berbagi makanan dengan orang-orang yang mengantre,'' kata Ruvini kepada DW.

Bahkan tenaga medis yang seharusnya diprioritaskan untuk BBM pun mengalami kendala.

''Sistemnya tidak teratur dan komunikasinya buruk. Petugas kesehatan hanya dialokasikan pada hari Jumat untuk memompa bensin dan bahkan dokter terkadang tidak bisa mendapatkan bahan bakar," kata Rajmohan Rajramanan, seorang dokter magang berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit anak-anak di Kolombo. Ia juga menyebut "antrean BBM untuk dokter hampir 2 kilometer dan butuh empat jam untuk mendapatkan bahan bakar.''

Transportasi terbatas dan harga naik

Angkutan umum juga telah dibatasi dan harga tiket bus telah meningkat secara eksponensial. Kurangnya pilihan transportasi membuat perjalanan dan situasi darurat semakin sulit. Hanya ada beberapa pengemudi becak dan taksi yang masih berada di jalan dan tarif mereka menjadi sangat mahal.

''Anak muda seperti saya bisa mengatur perjalanan dengan bus yang penuh sesak. Namun, untuk orang tua dan perempuan sangat sulit,'' kata Amaan, pemilik usaha dari Dehiwala.

''Sepupu saya sedang hamil dan memiliki komplikasi dengan kehamilannya yang mengharuskan dia pergi ke rumah sakit setiap hari untuk disuntik. Karena kekurangan bahan bakar, mereka tidak dapat melakukan perjalanan dengan mobil mereka. Mereka harus naik becak yang mahal,'' kata desainer grafis berusia 28 tahun, Arunthathi Thiyagarajah, dari Kandy, kepada DW.

Berjalan kaki dan bersepeda telah menjadi pilihan yang disukai banyak orang Sri Lanka. Namun, sepeda juga menjadi mahal, dengan harga naik dari sekitar 10.000 rupee (sekitar Rp417.000) hingga mencapai 80.000 rupee (sekitar Rp3,3 juta). Dengan memburuknya krisis bahan bakar, ada kemungkinan pembatasan saat ini akan diperpanjang selama 12 hari lagi karena pemerintah berjuang untuk membayar pengiriman bahan bakar.

Warga Sri Lanka memilih sepeda untuk bepergian
Kelangkaan bahan bakar membuat banyak warga memilih gunakan sepeda untuk bepergianFoto: Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Krisis ini telah memukul kelompok ekonomi kecil. Banyak buruh harian lepas yang kehilangan pekerjaan dan sulit mendapatkan bahan bakar dan makanan. ''Saya punya anak laki-laki berusia tiga setengah tahun dan saya kesulitan mendapatkan paket susu untuknya,'' kata Wijendran Yuwadees, 34 tahun, distributor pupuk dari Dambulla.

Warga putus asa untuk pergi

Krisis di Sri Lanka mendorong migrasi besar-besaran. ''Sri Lanka adalah rumah saya, tetapi jika situasinya memburuk dan ada lockdown yang lebih ketat, saya berencana untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke India. Zona waktunya mirip dan saya bisa bekerja jarak jauh dari sana untuk sementara,'' kata Arunthathi.

Sejak nilai rupee Sri Lanka jatuh, banyak yang ingin pergi ke luar negeri untuk mencari uang, menabung sampai situasi ekonomi membaik, dan kemudian kembali ke Sri Lanka. Yang lain ingin meninggalkan negara itu secara permanen.

Banyak keluarga juga mengirim anak-anak mereka ke luar negeri untuk belajar, misalnya di India, karena gangguan dan penutupan sekolah. Orang-orang Sri Lanka yang lebih kaya mencoba bermigrasi ke Inggris, AS, Australia, Kanada, atau Uni Eropa untuk bekerja atau belajar.

Sejumlah besar orang mengajukan permohonan paspor baru atau memperbarui paspor lama mereka. Slot untuk mendapatkan janji temu paspor di kantor imigrasi sudah penuh dipesan selama hampir tiga bulan. Paspor dapat diproses dalam satu hari, tetapi hanya dengan biaya sekitar 15.000 rupee (sekitar Rp630.000). Untuk pengurusan paspor standar harganya sekitar 3.500 rupee (Rp146.000), tapi waktu tunggunya sampai dua bulan.

Orang-orang Sri Lanka dari kelas ekonomi bawah atau tingkat pendidikan yang lebih rendah mencoba untuk bermigrasi ke negara-negara Timur Tengah untuk bekerja sebagai buruh harian. Renu, seorang janda Sri Lanka berusia 40-an dari Kurunegala, bermigrasi tahun lalu ke Dubai dalam upaya putus asa untuk melarikan diri dari krisis ekonomi dan sekarang bekerja di sana sebagai pembantu rumah tangga. Dia memiliki banyak pekerjaan dan menyimpan uang untuk dikirim kembali ke rumah dan berharap untuk membawa putrinya untuk bekerja di sana juga.

(rs/ha)