1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kutukan Kebebasan di Afrika

Ludger Schadomsky25 Mei 2013

Uni Afrika kini sudah berusia separuh abad. Didirikan sebagai wadah perlawanan terhadap praktik kolonialisme dan Appartheid, organisasi ini kini mencari identitas baru. Demokrasi menjadi tantangan selanjutnya.

https://p.dw.com/p/18dVK
Foto: picture-alliance/dpa

Tahyul adalah cemoohan yang melekat pada ucapan Kwame Nkrumah lebih dari 50 tahun yang lalu, saat ia mengumandangkan mimpinya tentang Afrika, sebuah benua yang kelak akan menjadi kekuatan ekonomi di dunia dan independen secara politis.

Maklumat itu dibuatnya ketika Ghana baru satu tahun mengecap kemerdekaan dari Inggris. Buat sang kepala negara, ambisi kebebasan tidak boleh mengenal batas-batas demarkasi. Maka Nkrumah pun mendeklarasikan pertemuan puncak kepala negara dan pemerintahan Afrika. Sebanyak delapan negara mengikuti ajakannya - sisanya baru bergabung beberapa tahun kemudian.

Afrika dan berakhirnya kolonialisme

Lima tahun kemudian, 25 Mai 1963, visi Nkrumah mulai menemukan pendukung di seluruh Afrika. Perwakilan dari 30 negara berkumpul di ibukota Ethipia, Addis Abeba untuk menghadiri kongres pertama Organisasi Persatuan Afrika, atau OAU. Dukungan tersebut menurutnya adalah "bukti bagi keinginan besar penduduk akan kebebasan."

Afrika, kata Nkrumah, baru benar-benar terbebas dari kolonialisme. "Seluruh benua memberikan kepercayaannya kepada kita agar menetapkan dasar kemerdekaan pada konfrensi ini," tukasnya. Saat itu yang tersisa cuma Afrika Selatan, dipimpin oleh sebuah rezim minoritas yang membenci etnis kulit hitam.

Independensi politik dalam negeri

Porträt Kwame Nkrumah
Bekas Presiden Ghana, Kwame NkrumahFoto: Getty Images

Doktrin utama koalisi terbearu ini cukup sederhana, agar tidak satu negarapun mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Prinsip yang awalnya mendapat sambutan ini kemudian terbukti menjadi kutukan bagi kelangsungan organisasi yang baru seumur jagung itu. Karen tidak lama kemudian OAU terpaksa membubarkan diri. Euforia kemerdekaan di awal dekade 60an menyusut dan digantikan oleh kudeta militer dan perang saudara. OAU tidak berkutik menghadapi gejolak tersebut dan pertemuan puncak tahunan di Addis Abeba pun kemudian dicemooh sebagai "klub para diktator."

Kegagalan OAU ditampik oleh Mengiste Desta. Pakar Uni Afrika itu menilai reaksi yang ditunjukkan organisasi tersebut sudah tepat, jika diukur berdasarkan mandat yang diterimanya. Desta menglaim OAU sudah menunjukkan "taring" dengan "membebaskan seluruh benua Afrika dari sistem kolonial, rasialis dan Apartheid," kata bekas diplomat Ethiopia itu.

1989 menyusul runtuhnya tirai besi di Uni Sovyet, Afrika Selatan merayakan berakhirnya rejim Apartheid. Dengan begitu koalisi di Afrika kehilangan tujuannya, kata Mehari Maru dari Institut Studi Keamanan (ISS) di Addis Abeba. "Berakhirnya kolonialisme dan Appartheid membuka jalan bagi diskusi baru soal tujuan Panafrikanisme," katanya. Maka terbentuklah Uni Afrika. Nama itu sendiri baru secara resmi digunakan sejak konferensi di Durban, Afrika Selatan, 2002 silam.

Südafrika Apartheid Schild White Area
Pantai untuk kaum kulit putih di Afrika Selatan, 1989.Foto: picture-alliance/dpa

Dari OAU ke AU - menuju Perserikatan Afrika?

Tugas baru koalisi ini adalah memperkuat integritas ekonomi dan mendorong demokratisasi di negara-negara anggota. Sejak saat itu pula negara-negara ini bersumpah terhadap negara hukum dan meninggalkan doktrin independensi politik dalam negeri. Sebagai elemen pengawasan, Uni Afrika mendirikan organisasi yang dinamakan "Kemitraan Baru untuk Pertumbuhan Afrika" (NEPAD) dan "African Peer Review Mechanism," sebuah instrumen pengawasan terhadap pemerintahan negara-negara anggota.

Ironisnya justru Muammar Qaddafi, sosok yang menyebut dirinya sendiri "raja para raja Afrika", awal 90an kembali menghidupkan visi Perserikatan Afrika milik Nkrumah, kendati lebih karena alasan kekuasaan ketimbang ideologis. Namun ambisinya memperkuat Uni Afrika dengan kekuatan bersenjata, mata uang bersama dan kebebasan berpergian serta perdagangan membawa lebih banyak perpecahan ketimbang persatuan. Idenya mempolarisasi Afrika dengan Pretoria sebagai pihak yang bersebrangan.

Zwölfter Gipfel Afrikanische Union
Muammar QaddafiFoto: picture-alliance/ dpa

Tahun 2009 pemimpin Libya itu terpilih sebagai Presiden Uni Afrika. Tidak terlupakan bagaimana Qaddafi menceramahi diplomat-diplomat AU dan wartawan, betapa ia "kecewa" lantaran kepemimpinannya kurang mendapat sambutan. Kendati begitu, "Afrika kelak akan mampu menyepakati tujuan bersama untuk lebih dekat menuju Afrika Serikat," kata sang diktatur.

kekuatan perempuan

Walaupun pemilihannya mengundang kontroversi dan memperdalam jurang di antara negara-negara anggota, dengan terpilihnya Menteri Dalam Negeri Afrika Selatan, Nkosazana Dlamini-Zuma, Uni Afrika sejak 2012 tidak cuma memiliki perempuan pertama di puncak pimpinan komisi, melainkan juga seorang reformis sejati. Tidak lama setelah terpilih, Dlamini-Zuma segera mengumumkan akan mendorong efisiensi birokrasi Uni Afrika. Ia ingin memperkuat kebijakan organisasi dengan menambahkan hukuman dan sanksi.

Nkosazana Dlamini-Zuma
Nkosazana Dlamini-ZumaFoto: picture-alliance/dpa

Buat Mehari Maru, Afrika "kini lebih demokratis ketimbang sepuluh tahun lalu." Tapi kini benua itu harus mengembangkan konsep "demokrasi dan good governance" yang hingga kini masih absen dari realita politik di Afrika. Menurutnya minimnya apresiasi terhadap keragaman pendapat menghambat proses demokratisasi di benua itu. "Inilah yang menyebabkan sebagian besar krisis poltik di Afrika," katanya.