1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lampedusa, Gerbang Menuju Eropa

23 Maret 2009

Dulunya, ini bukan masalah bagi sekitar 6.000 warga Lampedusa. Kini pemerintah PM Berlusconi berencana bangun kamp ekstradisi bagi pendatang di pulau itu. Suasana di pulau yang hubungkan Afrika dan Eropa itu kini tegang.

https://p.dw.com/p/HI3L
Monumen Gerbang Menuju Eropa di Lampedusa, dibangun untuk mengenang mereka yang tewas dalam usaha mencapai pulau iniFoto: DW

Suasana pelabuhan di Lampedusa riuh. Sekelompok pemilik hotel dan rumah makan sibuk berdebat, mereka marah. Para lelaki itu menolak menyebut nama mereka. Sudah berkali-kali wartawan asing yang datang ke Lampedusa mengecap mereka rasis.

"Kelompok kami berjuang untuk Lampedusa. Di sini semua orang hidup dari pariwisata, tapi di Roma kami hanya dikenal karena masalah pendatang gelap. Pemberitaan media tentang Lampedusa juga negatif. Karena itu tak ada lagi wisatawan yang datang ke sini. Siapa yang mau berlibur di pulau yang dipadati polisi dan militer?"

Perbandingan antara jumlah penduduk Lampedusa dan petugas aparat keamanan saat ini tiga banding satu. Begitu banyak laki-laki berseragam, di hotel, bar dan bahkan di pantai. Mereka berkeliling dalam mobil patroli, mereka ada di mana-mana.

"Kami suda dua bulan menggelar demonstrasi, tapi tidak ada yang peduli. Pemerintah Italia harus paham, kami di Lampedusa juga warga Italia dengan hak sama yang dimiliki semua warga. Mereka harus mengakui tuntutan kami. Kalau tidak, di sini akan pecah perang." Demikian diungkap seorang pemilik hotel berkaca mata hitam yang berdiri dekat gerbang besi di pelabuhan Lampedusa.

Beberapa saat sebelumnya sebuah kapal polisi keuangan Italia merapat di dermaga. Awak kapal mengantar sekitar 70 pemuda turun dari kapal. Sebagian besar berasal dari negara Afrika Barat. Dan beberapa jam sebelumnya, 65 warga Afrika Utara berhasil diselamatkan. Mereka bertolak dari Libya dengan menumpangi sampan bobrok. Tahun lalu saja sekitar 32.000 pendatang gelap mendarat di Lampedusa.

Walikota Lampedusa Bernardino de Rubeis bergegas ke arah gerbang besi di pelabuhan dan menyelinap masuk.

"Tentu saya mengerti mereka yang lari dari bencana kelaparan dan perang. Tapi bagaimana dengan warga Tunesia yang tiba di sini? Sebenarnya mereka punya peluang bagus di negaranya sendiri. Sudah berbulan-bulan ada perjanjian antara Presiden Libya Gaddafi dan Perdana Menteri Berlusconi, mereka sepakat untuk melakukan patroli laut bersama dan juga memperketat pengawasan di Libya. Tapi, tetap tidak ada yang terjadi." Demikian kata De Rubeis.

Sebenarnya dari segi kebijakan banyak yang terjadi. Saat pergantian tahun, pemerintah di Roma memutuskan, bahwa pendatang yang mendarat di Lampedusa dilarang menuju daratan Italia sebelum statusnya jelas. Seluruh pulau kecil itu akan dijadikan kamp penampungan dan ekstradisi bagi pendatang gelap. Hanya penerima suaka dan pengungsi yang boleh meninggalkan Lampedusa. Walikota Lampedusa kewalahan dan meminta bantuan Uni Eropa. Bernadino de Rubeis berharap, Uni Eropa menegur Roma sehingga pembangunan kamp itu dapat dihentikan.

Kebijakan baru yang dijalankan pemerintah Berlusconi menyebabkan situasi di kamp penampungan utama di Lampedusa makin memburuk. Daya tampung kamp tersebut hanya 850 orang. Tapi, bulan Januari lalu kamp tersebut menampung sampai 1.800 orang. Situasi buruk menyebabkan para pendatang mendobrak pagar kamp dan membakari infrastruktur Lampedusa. Saat ini, situasi di kamp dikatakan sudah membaik. Namun, media tetap dilarang menginjakkan kaki di kamp penampungan Lampedusa.

Di dermaga pelabuhan Lampedusa suasananya sedikit mereda. Giovanni Bilecci, nelayan berusia 85 tahun menceritakan, ia pernah menyelamatkan pendatang gelap dengan perahu nelayannya dan bahkan mengajak mereka pulang ke rumahnya. Itu dulu, sebelum polisi dan militer membanjiri Lampedusa. Saat pulau kecil itu belum memiliki kamp penampungan bagi pendatang gelap.

"Kalau saya mau egois, saya bilang sih, para pemuda itu Afrika itu jangan datang ke sini. Tapi sebagai manusia saya mengerti mereka. Mereka ingin hidup yang lebih baik. Kami kan juga sama, kami juga bermigrasi. Dan kami masih melakukannya. Begitulah dunia." Ungkap Bilecci. (zr)