1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

110310 Nigeria Konflikt

11 Maret 2010

Pertumpahan darah terbaru di Nigeria dikhawatirkan dapat memecah belah negara itu. Di banyak wilayah, penduduk Muslim dan Kristen bermusuhan, baik secara keagamaan maupun secara politis.

https://p.dw.com/p/MPcX
Warga Nigeria menyaksikan pengumpulan mayat korban kerusuhan di Dogo Nahwa, 8 Maret laluFoto: AP

Pelakunya datang di malam hari. Sekelompok orang dengan pisau dan senjata menyerang tiga desa di negara bagian Plateu, yang penduduknya mayoritas orang Kristen. Menurut laporan resmi, para lelaki ini membunuh ratusan penduduk desa, antara lain juga perempuan dan anak-anak. Baik polisi dan militer juga tidak dapat membantu.

Masih belum jelas berapa korban yang tewas. Tergantung sumbernya, angka korban beragam dari 500 sampai 55 orang. Jumlah korban di Nigeria sering dipolitisasi dan sampai sekarang sering dinaikkan atau diturunkan, tergantung kepentingan.

Di balik kejadiaan mengerikan ini, tersembunyi sebuah konflik lama antara penduduk Muslim dan Kristen, yang sebenarnya tidak hanya memiliki dimensi keagamaan.

“Ini bukanlah sebuah konflik keagamaan dalam arti sempit. Jadi ini tidak terkait dengan pemaksaan pindah agama. Ini lebih terkait dengan sindiran antar agama. Karena para penganut agama yang berbeda ini juga membeda-bedakan berbagai kelompok etnis, yang bersaing untuk merebut kekuasaan dan sumber daya," demikian dikatakan Matthias Basedau, pakar negara-negara Afrika dari institut bagi studi global dan regional GIGA, di Hamburg, Jerman. Konflik antara kaum Muslim di utara dan kaum Kristen di selatan selalu menjadi masalah dalam sejarah Nigeria.

Januari lalu, penduduk Kristen membunuh lebih dari 300 orang Muslim di wilayah itu. Rangkaian aksi kekerasan ini bisa terus berlanjut, demikian kata Haruna Wakili. Peneliti konflik dari Universitas Bayero di kota Kano, di utara Nigeria juga menuntut adanya konsekuensi dari aksi kekerasan terbaru. Ia mengatakan: "Memang ada serangkaian aksi kekerasan di masa lalu, dan pemerintah Nigeria tidak melakukan hal konkrit apapun. Tidak ada yang mencoba mencari alasan sebenarnya dari aksi kekerasan itu dan para pelaku tidak diseret ke pengadilan.“

Selain itu, Wakili juga menepis spekulasi, bahwa aksi kekerasan terkini antar kaum Muslim dan Kristen ini merupakan reaksi atas penyerahan kekuasaan kepada presiden baru, Goodluck Jonathan, yang beragama Kristen.

Baru awal minggu ini, parlemen Nigeria menyerahkan jabatan presiden kepada Jonathan, yang sebelumnya merupakan wakil presiden. Ia menggantikan Umaru Yar'Adua, yang sejak berbulan-bulan tidak jelas kondisinya.

Seorang juru bicara senat menegaskan, Jonathan tidak akan memegang jabatan ini untuk jangka waktu lama. Menurut pakar Afrika, ini bukan lah pertama kalinya Nigeria mempunyai pemerintahan interim dan ada perkembangan positif dalam penempatan jabatan kepresidenan. "Pemerintah Nigeria berusaha menciptakan keseimbangan dalam hal ini. Ini dapat dilihat, bahwa seorang presiden muslim selalu diikuti oleh seorang presiden Kristen atau sebaliknya. Dan wakil presidennya juga selalu berasal dari wilayah lain dan beragama lain dari sang presiden.“

Namun sistem giliran ini juga belum bisa menstabilkan Nigeria. Krisis terbaru ini sangat membebani autoritas presiden baru, Jonathan. Ia sekarang ingin menunjukkan, bahwa ia bisa bertindak. 100 pelaku ditangkap dan penasihat keamanan kepresidenan dipecat. Biar begitu, Matthias Basedau masih ragu, apakah hal ini dapat mengembalikan stabilitas negara produsen energi terbesar di Afrika. Menurutnya, satu hal penting adalah menghilangkan budaya kekebalan hukum, baik bagi politikus maupun pelaku kekerasan.

Joscha Weber / Anggatira Gollmer
Editor: Hendra Pasuhuk