1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lebih Baik “Diahokkan” Daripada “Dianieskan”

8 Mei 2017

Belakangan gencar istilah “diahokkan”, apakah itu? Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2cbZu
Indonesien Jakarta Demonstration von Islamisten
Foto: REUTERS/I. Rinaldi

"Diahokkan” kini jadi istilah baru. Artinya yaitu sebuah proses penjatuhan karir, reputasi, dan martabat seseorang melalui gerakan atau mobilisasi massa yang masif-intensif dengan cara-cara kotor dan keji serta tidak mengenal aturan dan norma hukum yang berlaku serta tata-krama berpolitik yang beradab.

Istilah "diahokkan” ini tentu saja merujuk pada sosok yang bernama Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang menjadi lakon dan pemeran utama drama sosial bergenre action comedy ini. Tidak bisa dipungkiri, Ahok memang menjadi korban permainan sejumlah elite politik, elite bisnis, dan elite agama yang merasa dirugikan dengan kehadiran Ahok.

Penulis:  Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Bagi sebagian kaum elite ini, Ahok dianggap sebagai musuh bersama, momok, dan mimpi buruk yang dapat menghalangi jalan terang dunia kekuasaan, perbisnisan, dan keagamaan yang mereka impikan, khayalkan dan idamkan. Bagi mereka, Ahok adalah duri yang harus dicabut. Oleh mereka, Ahok dianggap sebagai "kanker ganas” yang berpotensi menggerogoti tubuh-tubuh politik kekuasaan, iklim perdagangan, serta wacana dan praktek keagamaan yang mereka idealkan. Oleh karena itu, sebelum "kanker” ini menjalar kemana-mana, ia harus "dikemo” terus-menerus, harus dibersihkan, harus dijegal, harus dijungkalkan, harus dihancurkan sampai binasa. 

Maka demikianlah, Ahok diserbu dari berbagai penjuru. Ahok dikepung dari berbagai arah. Berbagai elemen masyarakat yang merasa dirugikan oleh berbagai kebijakan politik-ekonomi Ahok (atau bahkan Presiden Joko Widodo) bersatu padu mengikuti irama gendang yang dimainkan oleh segelintir elite politik, bisnis, dan agama tadi. Para koruptor, preman, pedagang pasar, makelar, dai, ustad, khatib, pengurus masjid, dan jamaah pengajian semua bergerak maju ke "medan perang” melawan Ahok.

Berbagai ormas Islam, meskipun sebetulnya mereka berbeda pandangan keagamaan, mazhab pemikiran, platform, dan tujuan organisasi, juga bersatu padu menjegal Ahok. Tujuan mereka tentu saja agar Jakarta tidak dipimpin oleh, menurut mereka, "gubernur kafir dan penista agama” (baca, Islam).  

Kini dapat momentum

Gerakan massa untuk menyingkirkan Ahok dari kursi gubernuran itu sebetulnya sudah dilakukan cukup lama tetapi selalu gagal karena belum mendapatkan "momentum” yang pas. Bahkan mereka sempat mendeklarasikan "gubernur tandingan” bernama Fahrurrozi Ishaq yang "dilantik” pada bulan Desember 2014 oleh Front Pembela Islam dan Gerakan Masyarakat Jakarta.

Bukannya mendapat sambutan luas, gubernur tandingan ini malah menjadi bahan ejekan dan tertawaan masyarakat. Maka, begitu "momentum” itu tiba, yaitu "kasus Al-Maidah” di Pulau Seribu, maka segera digemakan oleh berbagai kelompok kepentingan tadi sebagai sarana atau jalan untuk menumbangkan Ahok.

Padahal jelas, dalam pidato itu, Ahok tidak melakukan "penistaan agama” seperti yang mereka tuduhkan. Tetapi elite dan massa yang sudah bernafsu untuk menyingkirkan Ahok, tidak memperdulikan semua itu. Kepalsuan dianggap sebagai realitas. Hoax dianggap sebagai fakta. Dusta dianggap sebagai kebenaran. Fantasi dianggap sebagai nyata. 

Maka demikianlah, karena mendapat tekanan kuat elite dan massa, hakim pun tak berdaya memutuskan Ahok bersalah karena menurutnya ia telah melakukan “penodaan agama” dan “meresahkan masyarakat”. Padahal, publik tahu, hati-nurani tahu, semua itu hanyalah akal-akalan belaka. Hakim dalam hal ini telah mengabaikan bukti-bukti otentik dan data akademik-ilmiah yang dipaparkan oleh para saksi ahli dari berbagai profesi yang dihadirkan selama persidangan berlangsung. Keputusan hakim atas kasus Ahok itu lebih tepat disebut sebagai “keputusan politik” ketimbang “keputusan hukum”.       

Kasus Ahok ini persis seperti yang menimpa almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang digulingkan oleh "sindikat elite” yang bersinergi dengan kekuataan massa. Pelengseran Gus Dur itu bermula dari "kasus fiktif” bernama "Buloggate” yang kemudian menjadi "bola panas” dan dijadikan sebagai senjata oleh lawan-lawan politik Gus Dur untuk mendelegitimasi otoritas kekuasaanya. Karena kekisruhan elite politik, khususnya anggota parlemen, tidak terbendung dan tidak bisa didamaikan, maka ia pun akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan DPR/MPR RI seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno.

Q&A with Rizki Nugraha from DW's Indonesia desk on the Ahok blasphemy verdict

Sayang, pimpinan TNI waktu itu "tidak patuh” kepada presiden untuk mengamankan dekrit sehingga tidak efektif. Tiadanya dukungan elite TNI itu bisa jadi karena Gus Dur dulu banyak melakukan kebijakan "demiliterisasi” yang merugikan kelompok militer. Merasa mendapat angin, DPR/MPR pun tidak memperdulikan dekrit itu dan malah balik menyerang, mendelegitimasi dan memakzulkan Gus Dur melalui gerakan politik di parlemen. Demikianlah Greg Barton telah merekam dengan baik detik-detik pelengseran Gus Dur itu dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Bioghraphy of Abdurrahman Wahid

Seperti Gus Dur pula, Ahok juga menjadi sasaran sumpah-serapah. Jika Ahok "dicina-kafirkan”, maka Gus Dur di "disyiah-liberalkan” bahkan dicaci-maki sebagai "presiden buta”. Ahok juga menjadi korban politik rasisme dan etnosentrisme yang menjijikkan. Naifnya, banyak para elite politik yang diam-membisu membiarkan semua itu terjadi, membiarkan para mafia dan kaum rasis itu merobek-robek sendi-sendi kebangsaan hanya karena mereka "mengamini” tersingkirnya Ahok. Sungguh tragis dan memalukan.

Jakarta-lah yang sebenarnya kalah?

Bagi saya, lebih baik "diahokkan” ketimbang "dianieskan”. Ahok kalah dengan cara terhormat dan bermartabat. Bahkan sebetulnya Ahok tidak kalah. Jakarta-lah yang sebenarnya kalah. Bukan Ahok, melainkan Jakarta yang seharusnya rugi dan kehilangan sosok pemimpin yang kredibel, kapabel, tidak korup, dan berintegritas. 

Istilah "dianieskan” yang dimaksud di sini adalah proses pendukungan karir politik kekuasaan seseorang melalui gerakan pemolesan kesalehan yang masif-intensif tetapi sebetulnya kamuflase dan penuh hipokrisi serta melalui jalan-jalan kotor penuh intrik dan manipulasi, politik rasisme, dan cara-cara etnosentris untuk menggapai kekuasaan itu.

Tentu saja harus saya tegaskan di sini bahwa tidak semua pendukung Anies dalam Pilkada waktu lalu itu menggunakan cara-cara kampanye dan propaganda yang kotor. Banyak para pendukung Anies-Sandi yang memakai cara-cara intelektualis-akademis yang sangat baik dan mendidik publik. Mereka lebih cocok ke Anies karena merasa kebijakan politik-ekonomi Ahok dinilai kurang pas untuk Jakarta ke depan. 

Sayangnya, tidak semua kelompok dan elite itu "waras” dalam berpolitik. Bagi para pejuang sejati yang masih waras, bukan hanya tujuan yang penting, cara atau medium untuk mencapai tujuan itu juga penting. Tetapi bagi para pecundang tulen yang tidak waras, demi mencapai kekuasaan itu, jalan-jalan kotor yang penuh bau busuk itu pun dianggap bersih dan bau wangi karena buat mereka, "politik adalah kotor” dan sudah seharusnya digapai dengan cara-cara kotor.

Bagi para pecundang ini, tujuan adalah segalanya, meskipun dilakukan dengan cara-cara manipulatif, keji dan biadap. Bagi mereka, aneka jalan haram itu halal ditempuh yang penting ambisi dan kepentingannya serta kelompoknya bisa tercapai, meskipun harus menghancurkan sendi-sendi kebangsaan dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas. 

Contoh nyata mengenai hal ini adalah penggunaan masjid-mushala secara masif-intensif sebagai ajang kampanye untuk mendukung paslon Anies-Sandi dan propaganda hitam anti-Ahok. Padahal mestinya masjid dan mushala harus bersih dan netral dari kepentingan politik praktis.

Eep Saifuloh Fatah, penasehat politik Anies-Sandi, adalah figur yang disinyalir paling bertanggung jawab dalam hal ini karena dialah yang memberi "sinyal” dan "lampu hijau” kepada tim Anies-Sandi untuk menggunakan masjid sebagai medium kampanye dan propaganda lantaran "kesengsem” dengan keberhasilan partai Front Islamique du Salut (al-Jabhah al-Islamiyyah li al-Inqadh atau Islamic Salvation Front), sebuah partai Islamis radikal di Aljazair yang didirikan oleh Abbasi Madani dan Ali Belhadj yang sukses memenangkan Pemilu pada awal 1990-an karena menggunakan masjid sebagai instrumen kampanye dan propaganda untuk meraih dukungan pemilih. Partai ini sudah dibekukan, dan banyak anggota dan simpatisannya yang terlibat di berbagai jaringan radikalisme dan terorisme global. Tentang kelompok ini, simak studi Norman Larson, Islamic Resurgence in Algeria: The Rise of the Islamic Salvation Front.  

Contoh lain tentu saja adalah berbagai "teror teologis” kepada masyarakat Muslim awam seperti ancaman masuk neraka kalau memilih Ahok atau tidak disalati / diurus jenazah yang semasa hidupnya (atau bahkan keluarganya) mendukung Ahok. Bahkan ancamam Jakarta akan kembali rusuh seperti tragedi "kerusuhan anti-Cina” tahun 1998, jika Ahok menang dalam Pilkada.

Semua itu adalah cara-cara berpolitik yang kotor, manipulatif, rasis, dan etnosentris yang seharusnya dihindari oleh semua pihak jika ingin membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, bukan malah digemakan dan "dimasyarakatkan”.    

Pelajaran buat semua warga

Akhirul kalam, semoga pertunjukan sandiwara Pilkada Jakarta bisa menjadi pelajaran buat semua warga dan lapisan masyarakat di seantero Tanah Air. Tentu saja buat mereka yang bersedia belajar dari pengalaman buruk masa lalu karena banyak juga manusia yang tidak mau belajar dari pengalaman pahit masa silam. Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia sudah beberapa kali menyajikan tontonan drama politik yang memuakkan dan menjijikkan penuh rasisme dan etnosentrisme, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memakan korban sesama anak-bangsa yang sudah tak terhitung jumlahnya. Gerakan G 30 S tahun 1965/6, tragedi Mei 1998, dan berbagai konflik kekerasan di Maluku, Poso, Sampit, dlsb, semua itu adalah bagian dari sejarah gelap di Indonesia yang semestinya bisa menjadi pelajaran berharga.    

Tetapi sayangnya banyak yang tidak mau belajar dari peristiwa masa lampau atau mungkin menderita penyakit amnesia atau mungkin pura-pura pikun dan rabun sehingga selalu saja "drama sosial” yang buruk, kotor, kejam, rasis, etnosentris, dan biadab itu selalu terulang lagi dan lagi. Bukannya menyesali dan meratapi atas pertunjukan drama politik yang kotor dan culas, sejumlah kelompok bahkan tertawa riang-gembira menikmatinya dan merayakannya dengan berpesta-pora karena merasa berhasil menumbangkan rival politiknya dengan cara-cara nista. Sungguh sebuah ironi dan kemunduran sejarah yang luar biasa.

Penulis:

 Sumanto Al Qurtuby (ap/yf)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis