1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lebih Baik Perdamaian daripada Islamisme

26 Maret 2011

Pengarang perempuan Maissa Bey, yang lahir tahun 1950 adalah salah satu suara yang paling penting di Aljazair. Perempuan kerap menjadi tokoh utama karyanya. Tetapi isi ceritanya selalu masalah sosial di Aljazair.

https://p.dw.com/p/10hzj
Maissa BeyFoto: picture-alliance/maxppp

Pengarang perempuan Maissa Bey, yang lahir tahun 1950 adalah salah satu suara yang paling penting di Aljazair. Tahun 1960 ia memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Lycee Fromentin di Aljier, yang ketika itu menjadi salah satu sekolah terbaik khusus untuk anak perempuan di Perancis. Setelah berkuliah di bidang sastra, ia menjadi guru bahasa Perancis dan menjadi penasehat bagi bidang keguruan di kota kelahirannya Sidi Bel Abbès di Aljazair barat.

Di tahun 1990an ia mendirikan bengkel penulis perempuan yang bernama "Paroles et Ecritures“, yang menjadi asal mula perpustakaan umum dan pusat kebudayaan independen di Sidi Bel Abbès. Pada saat bersamaan Maissa Bey mulai menulis berbagai karya. Sampai saat ini ia telah menulis tujuh roman, di samping sejumlah cerita pendek, drama dan esei mengenai sejarah Aljazair. Maissa Bey tidak hanya mengetengahkan penekanan terhadap perempuan Aljazair, melainkan juga jurang yang terbentuk antara sejarah Aljazair dan situasi jaman sekarang.

Pandangan Perempuan

Wahl in Algerien, Frauen in einer Schlange
Perempuan Aljazair ketika mengantri untuk memberikan suara dalam pemilu presiden di TPS Benthala (April 2004)Foto: AP

Dalam roman dan cerita yang ditulis Maissa Bey, perempuan dan anak perempuan hampir selalu menjadi tokoh utamanya. Pandangan merekalah yang penting. Tetapi tema-tema cerita selalu berkaitan dengan masyarakat Aljazair. Dalam salah satu roman terbarunya Maissa Bey menyoroti upaya mengatasi apa yang disebut "Dasawarsa Hitam“. Setelah revolusi dan penghapusan rejim satu partai tahun 1988 lalu, kelompok ekstrimis Islam hampir menang. Militer tidak menghendaki hal itu dan mengadakan kudeta tahun 1991.

Yang kemudian terjadi adalah teror dan kekerasan hampir selama sepuluh tahun terhadap rakyat, yang pada akhirnya menyebabkan sekitar 200.000 orang tewas. Ribuan lainnya hilang tanpa diketahui rimbanya sampai sekarang. Waktu itu banyak warga Aljazair meninggalkan negaranya. Maissa Bey tetap tinggal di kota kelahirannya Sidi Bel Abbes di Aljazair barat, di mana ia bekerja sebagai guru bahasa Perancis dan ikut mengalami kekerasan.

Ia menjelaskan, "Sebagian besar orang kebetulan berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Yang lainnya dibunuh secara terarah. Tetapi semua orang pandangannya sama, tidak ada yang ingin membicarakan fakta. Tentang persaan sakit yang mendalam bagi banyak orang, yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa, karena kebanyakan dari mereka tidak memihak siapapun."

Kerukunan Yang Dipaksakan

Verschleierte Frauen in Algerien
Perempuan Aljazair di jalan kota Ghardaia di bagian selatan negara itu (Desember 2002)Foto: AP

Rejim Aljazair dalam beberapa tahun terakhir memutuskan lewat "Undang-Undang Kerukunan" dan dekrit tentang "Rekonsiliasi Nasional", bahwa kejahatan yang terjadi di tahun 1990-an sebagian besar dibiarkan tidak dihukum. Media dilarang melakukan penyelidikan. Wartawan, yang tetap berani melakukannya, dalam beberapa tahun belakangan diancam, dipukuli atau meninggal tanpa penyebab yang jelas. Maissa Bey tidak bersedia menerima begitu saja.

Ia bertutur, "Pendapat saya mengenai hal ini saya paparkan dalam roman saya yang terakhir, yang berjudul "Sekarang, Karena Hatiku Sudah Mati". Isinya tentang seorang perempuan, dosen bahasa Inggris di universitas. Putra satu-satunya dibunuh teroris. Karena tidak mampu menahan kesedihan, setiap malam ia menulis surat kepada putranya itu." Dalam surat-suratnya, ia menuturkan bagaimana ia merasakan kematian tersebut, dan bagaimana masyarakat menetapkan cara ia berduka. Ia harus mengakhiri begitu saja masa lalunya, ibaratnya menarik garis penutup. Dan itulah yang dikatakan orang kepada banyak perempuan Aljazair, yang tidak tahu bagaimana cara mengatasi kehilangan dan trauma yang dialami, demikian tandas Maissa Bey

Mempertanyakan Kembali

Abelaziz Bouteflika
Presiden Abelaziz BouteflikaFoto: AP

Roman Maissa Bey diterbitkan Mei 2010 di Aljazair, dan segera menyebabkan diskusi di masyarakat. Pengarang perempuan itu berharap, undang-undang dan dekrit tentang perdamaian nasional dipertanyakan dan kembali dibicarakan. Tanpa upaya yang jujur untuk mengejar ketinggalan, demokratisasi masyarakat dan struktur politik tidak mungkin dapat terjadi.


Orang tidak mungkin dapat melakukan perubahan di Aljazair jika kebenaran tidak dinyatakan secara gamblang, dan jika fakta tidak diakui oleh semua pihak. "Maksud saya semuanya: baik korban, pelaku, yang bertanggungjawab dari segi politik, dan juga pihak berwenang, yang memaksakan ratusan keluarga untuk melupakan peristiwa mengerikan di masa lalu," demikian Maissa Bey seraya menuntut, "Bagaimana kita dapat membangun negara hukum, jika orang yang merampok dari orang lain, menteror atau bahkan membunuh, tidak perlu takut dihukum. Bagaimana orang itu dapat mengerti apa artinya undang-undang?"

Dituntut Demonstran

Upaya mengatasi dampak teror yang terjadi tahun 1990-an juga dituntut banyak orang yang belakangan ini berdemonstrasi di jalan-jalan Aljazair, menuntut kebebasan, demokrasi dan keadilan sosial. Tetapi langkah brutal yang diambil polisi terhadap demonstran juga menimbulkan perasaan takut, bahwa semuanya akan terulang kembali. Revolusi, pemilu, kudeta, kekerasan. Walaupun keadilan sosial tidak ada, juga korupsi merajalela, dan komunikasi antara penguasa dan rakyat tidak berfungsi, banyak warga Aljazair tampaknya lebih memilih stabilitas yang rentan di bawah Presiden Bouteflika.

Algerien Studentenproteste gegen Ausbildungenssysteme Flash-Galerie
Protes mahasiswa terhadap sistem pendidikan Aljazair (Maret 2011)Foto: DW

Maissa Bey membenarkan bahwa rasa takut itu ada. Tetapi ia yakin Aljazair sudah belajar dari pengalaman di tahun 1980 dan 1990-an. Rakyat sekarang tahu bahwa Islamisme bukan solusinya. Menurut pengarang perempuan itu, kesadaran itulah yang menyebabkan revolusi di negaranya lebih unggul daripada di negara-negara Arab lainnya.

Jalan menuju demokrasi pasti panjang dan sulit, demikian Maissa Bey. Namun demikian, ia juga optimis karena ia percaya, kaum perempuan dan pria Aljazair mampu membangun masyarakat yang demokratis bersama-sama.

Martina Sabra / Marjory Linardy

Editor: Renata Permadi