1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lebih Banyak Intoleransi Beragama

26 Juli 2010

Organisasi Setara Institute, yang memantau situasi demokrasi dan perdamaian, khawatir pelanggaran kebebasan umat beragama di Indonesia akan meningkat pada tahun 2010 ini.

https://p.dw.com/p/OV7Q
Pendukung Front Pembela Islam sedang melancarkan aksi di JakartaFoto: AP

Laporan Setara Institute mengungkapkan, tahun ini terjadi lonjakan kekerasan khususnya terhadap jemaat Kristiani. Angka kasus kekerasan tahun 2010 sudah melampaui tahun-tahun sebelumnya. Dalam tujuh bulan terakhir, dari Januari sampai Juli 2010, sudah terjadi hampir 30 kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di Indonesia.

Kekerasan itu meliputi penyegelan dan penolakan pendirian gereja, ancaman hingga penutupan gereja secara paksa serta penghentian paksa kegiatan ibadah. Jumlah kekerasan ini melampaui yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang angka nya tak lebih dari 20 kasus.

Pelakunya beragam, yang terbanyak dilakukan oleh pemerintah daerah, disusul kelompok massa, warga dan ormas islam seperti Front Pembela Islam FPI Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengungkapkan alasan pembiaran kekerasan itu oleh pemerintah.

“Pertama kepentingan politik. Pemerintah kota selalu menganggap mereka (ormas) adalah aset atau massa yang penting bagi Pilkada dan dukungan politik. Kedua kepentingan ekonomi, dibalik penghentian ibadah atau penyegelan atau pemindahan gereja selalu ada kepentingan ekonomi berupa pemerasan. Ketiga, memang ada kepentingan ideologi. Ada kelompok - kelompok intoleran yang ingin melihat kelompok yang berbeda aliran atau keyakinan supaya tidak bisa tinggal disitu,” kata Naipospos.

Umumnya, para pelaku kekerasan beralasan, keberadaan rumah ibadah itu mengganggu dan meresahkan masyarakat. Alasan lain terkait dengan tidak adanya Ijin Mendirikan Bangunan atau IMB.

Data Setara Institute menunjukan, kasus terbanyak penyerangan gereja terjadi di wilayah Jawa Barat, disusul Jakarta, Sumatera Utara, Riau dan Propinsi lampung. Menurut Bonar Tigor Naipospos, tingginya kekerasan di Jawa Barat ini terkait dengan sejarah panjang dari aliran Islam garis keras di Propinsi yang pernah menjadi basis kekuatan Darul Islam.

Salah satunya menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi Jawa Barat. Menurut Pendeta Luspida Simanjuntak, meski jemaat ini telah terbentuk sejak 15 tahun lalu, namun sampai saat ini, keinginan mereka untuk memiliki gereja yang permanen belum terkabul. Untuk beribadah mereka terpaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lain. “Terakhir usaha kami adalah, kami siap membeli satu bangunan, tinggal menandatangani hitam diatas putih, tiba-tiba, sekelompok massa sudah membuat spanduk di bangunan tersebut. Isinya adalah, rumah ini bisa dijual tetapi tidak untuk gereja, tutur Sinamjuntak. Makanya rumah yang dibeli tahun 2007 dipertahankan sampai bulan Juni lalu. Kemudian ada surat dari Pemda untuk melakukan penyegelan.

Di Indonesia, untuk menghindari konflik dengan pemeluk agama lain, pendirian rumah Ibadah diatur dalam peraturan bersama atau Perber Menteri Agama dan Mendagri no 9 tahun 2006. Isinya antara lain, untuk bisa mendapat ijin resmi, maka sebuah rumah ibadah harus punya paling sedikit 90 pengguna dan didukung oleh paling sedikit 60 warga yang tinggal di sekitar rumah ibadah itu.

Tetapi Kasus di Bekasi ini menunjukan betapa sulitnya mendapat ijin pendirian rumah ibadah. Sekretaris Setara Institute Romo Benny Susetyo yang ikut merumuskan Perber tersebut, menyalahkan Pemerintah daerah yang dianggap tidak konsisten menerapkan aturan dalam Perber. Ia menambahkan ketersediaan Rumah Ibadah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Kalau tidak terpenuhi 90 orang dalam kelurahan itu bisa gabungan kelurahan, kalau gabungan kelurahan tidak terpenuhi, kecamatan, kalau tidak ditarik Kabupaten sampai tingkat Propinsi." Romo Benny melanjutkan, dalam keterangan Perber tidak mungkin orang tidak bisa mendirikan rumah Ibadat. Persolannya adalah Walikota-Bupati tidak pernah konsisten dengan Perber. Bahkan disitu juga tertera, kalau 90 anggota jemaat terpenuhi, tapi tidak ada dukungan 60 orang, kewajiban pemerintah lah untuk menyediakan tempat rumah ibadat itu. Lalu ada mekanisme ijin sementara rumah bisa dijadikan tempat ibadat, berlaku dua tahun.

Kekerasan pemeluk agama ini tidak hanya dialami oleh umat Kristiani. Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute menyebutkan, terdapat gangguan dalam pembangunan Masjid di Denpasar Bali. Demikian juga yang terjadi pada Kuil Budha di Riau dan rencana renovasi Pura Hindu di Nusa Tenggara Barat. Ia khawatir, jika pemerintah tinggal diam, ini akan memicu meluasnya sikap intolerasi beragama di Indonesia.

Zaki Amrullah
Editor: Hendra Pasuhuk