1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

LGBT Mulia di Sisi Allah?

Nong Darol Mahmada1 Maret 2016

Apakah mereka yang menjalani hidup dengan berbuat baik pada sesama tetap layak dilaknat karena mereka homoseksual? Ikuti pandangan Nong Darol Mahmada.

https://p.dw.com/p/1I19r
Bangalore Queer Pride Parade Indien 2012
Foto: Manjunath Kiran/AFP/Getty Images

Namanya Hartoyo, ia seorang gay. Hari-hari ini ia sibuk diwawancara media baik cetak, online, bahkan sering muncul di televisi terkait ramainya isu LGBT saat ini. Toyo, begitu kami memanggilnya, latar belakang pendidikannya sebagai sarjana peternakan di sebuah perguruan tinggi di Medan. Ia seorang Muslim yang taat. Saya bersaksi, ia rajin solat dan puasa. Bahkan saking solehnya, ia pernah cerita, selepas kuliah ia ditawari kerja di peternakan babi, ia tolak meskipun ditawari gaji tinggi. Alasannya, bagi dia, babi itu haram. Makanya saya berani mengatakan Toyo ini adalah Muslim yang soleh.

Penulis: Nong Mahmada
Nong Darol MahmadaFoto: Privat

Ya, saya sudah bilang, Toyo seorang gay. Ia tidak takut menunjukkan ke publik tentang identitasnya. Mungkin ia sudah melewati tahap itu. Seperti kebanyakan teman-teman LGBT lainnya, di awal-awal kehidupannya ia juga gelisah dan sering mempertanyakan kondisinya karena “berbeda” dengan yang lain. Dari awal muncul rasa tertarik, ia tidak pernah merasakan desiran istimewa dengan perempuan, sebaliknya ia merasa nyaman dan deg-degan dengan lelaki. Ini membuatnya gundah dan takut. Sebagai seorang Muslim, ia hapal cerita tentang Nabi Luth, ia mengerti kalau kaum gay tidak punya tempat dan dianggap “dosa” di agama yang dipeluknya. Ia tidak mau berdosa, ia takut masuk neraka, maka ia berusaha mati-matian menjadi lelaki normal dan sejati, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya Toyo menjalani kondisinya sebagai gay dan tetap memilih Islam, agama yang mencap “dosa” pada kediriannya. Saya sering mengoloknya, inilah alasan kuat ia menjalani Islam dengan taat, menutupi rasa berdosanya. Ia hanya tertawa kalau saya berkomentar seperti itu.

Toyo pernah mengalami kekerasan, kekerasan dalam pengertian yang sebenarnya. Ketika sedang “berduaan” dengan pacarnya, ia digrebek masyarakat dan diserahkan ke kantor polisi. Mereka dipermalukan dan dihina serendah-rendahnya derajat sebagai manusia oleh aparat. Ya, sama seperti remaja lainnya,

Toyo pun punya pacar. Seperti yang saya tadi sudah bilang, Toyo seorang gay, pacarnya berjenis kelamin laki-laki. Karena kejadian itu, pacarnya trauma dan kemudian “menghilang” sampai sekarang. Berbeda dengan pacarnya, kejadian yang menyakitkan itu malah membuat Toyo seperti lahir kembali: Ia menjadi pribadi yang kuat, menuliskan kisah pahitnya menjadi buku dan disebar luas, dan akhirnya bersama teman-teman yang satu visi dengannya membuat lembaga yang membantu dan menemani orang-orang seperti dirinya, berani membuka diri dan mendampingi korban kekerasan karena dianggap tidak jelas identitasnya oleh keluarganya atau masyarakat. Di situlah terbentuk lembaga Suara Kita.

Teman-teman LGBT lainnya yang saya kenal juga punya banyak kisah seperti Toyo. Ada Widodo Budidarma, juga seorang gay pendiri dan aktivis Arus Pelangi, yang ringan tangan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Setiap bulan Ramadhan, Ia berkeliling bersama teman-temannya membagikan makanan sahur untuk anak-anak jalanan & miskin di seluruh Jakarta. Saya tahu karena saya sering diajak untuk ikut.

Ada beberapa teman saya, pasangan lesbian yang berjilbab dan juga yang tak berjilbab mengadopsi anak dari keluarga miskin untuk dibiayai pendidikannya. Juga ada pesantren waria di Jogja yang diasuh ibu Shinta, seorang waria senior, menjadi pengayom untuk teman-teman waria yang didiskriminasi. Dan masih bertebaran banyak cerita baik lainnya.

Saya sering bertanya, apakah teman-teman saya ini akan diazab karena LGBT sementara mereka ini sangat baik, baik secara personal maupun sosial, dan taat dengan agamanya? Saya sebagai muslim yang katanya normal karena saya hetero, merasa tidak sebaik teman-teman ini dalam beragama.

Saya tidak terima bila orang-orang ini dicap berdosa, diazab, harus dihancurkan, harus disembuhkan, akan masuk neraka.. bla bla bla, sementara kondisinya itu adalah given. Buat saya, jahat sekali orang-orang yang selalu lantang berteriak itu dengan mengatasnamakan agama.

Karena itu, saya terluka dan marah ketika Mahfud MD, guru besar FH-UII Yogyakarta yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi di akun twitternya menulis bahwa "LGBT itu menjijikkan dan berbahaya." Tak berhenti di situ, dengan posisinya sekarang sebagai ketua KAHMI, ia bikin pernyataan pers yang menegaskan sikapnya tersebut. Saya bergaul akrab dengan teman-teman LGBT dan saya bersaksi kalau yang menjijikkan dan berbahaya itu adalah orang-orang seperti Mahfud MD, yang menghasut dan menyebar kebencian terhadap teman-teman LGBT.

Bukankah dalam Al Quran tegas dikatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”. Jelas dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tak ada pembedaan orang-orang yang mulia di sisi Allah, siapapun itu, baik perempuan, laki-laki, LGBT, kulit hitam, kulit putih, dan lain-lain. Yang paling penting adalah umat bertakwa padaNya. Buat saya, Toyo dan teman-teman LGBT lainnya lebih mulia daripada orang-orang seperti Mahfud MD.

Tentang penulis:

Nong Darol Mahmada adalah aktivis perempuan yang tulisan-tulisannya sering dimuat di media nasional, editor beberapa buku dan pembicara di berbagai konferensi internasional. Ia juga merupakan Direktur Eksekutif Omah Munir, Museum HAM di Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

.