1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Li, Berlin dan Prahara Brussels

Ludger Schadomsky24 Mei 2013

Perdana Menteri Cina Li Keqiang memilih Jerman untuk melakukan lawatan pertamanya. Sejumlah agenda pelik akan dibahas, terutama konflik perdagangan yang terus meruncing antara Uni Eropa dan Beijing

https://p.dw.com/p/18dI0
Foto: Reuters

Bukan kejutan jika Perdana Menteri Le Keqiang memilih Istana Sanssouci di Potsdam untuk mengawali lawatan akhir pekannya di Jerman. Nyatanya istana yang masyhur berkat taman bertingkat-nya itu dibangun oleh raja Prusia dua setengah abad silam ketika Cina memasuki masa keemasan di bawah dinasti Qing. Kunjungan Li di Potsdam seakan ingin merefleksikan sejarah tersebut.

Cina saat ini adalah raksasa ekonomi terbesar ke-dua di dunia setelah Jepang. Negara di jantung Asia itu tidak lama lagi akan menggeser Amerika Serikat sebagai negara dengan nilai perdagangan terbesar. Tidak heran jika Jerman sedang giat merawat hubungannya dengan Beijing.

Pada sebuah kolom di mingguan "Die Zeit", Le Keqiang tidak kekurangan kata pujian ketika menulis soal hubungan kedua negara, bahwa volume perdagangan dengan Jerman mencapai 30 persen dari total perdagangan di Eropa, bahwa investasi Jerman di Cina meningkat tahun lalu sebanyak 28 persen, bahwa sebaliknya Cina merupakan investor ke-tiga terbesar di Jerman, bahwa Cina adalah pasar terbesar bagi produk-produk otomotif Jerman dan seterusnya...

Konflik perdagangan dan Proteksionisme

Kunjungan Li ke Jerman tidak lain untuk melanjutkan cerita sukses tersebut. Ekonomi menjadi prioritas terbesar, jika bukan malah satu-satunya alasan ia berada di Berlin. Terlebih Beijing "ingin mencegah tumbuhnya hambatan perdagangan dan kebijakan proteksionis di Eropa," kata Profesor Sebastian Heilmann, dosen ilmu politik di Universitas Trier.

Dari sudut pandang Beijing, Jerman harus meredam kecendrungan proteksionisme yang belakangan menemukan banyak pendukung di Uni Eropa.

Solarpark China
Taman Surya di CinaFoto: STR/AFP/Getty Images

Tidak lama sebelum kunjungan Li, konflik perdagangan kembali berkecamuk antara Beijing dan Brussels. Beberapa hari lalu Uni Eropa mengeluarkan pajak hukuman terhadap panel surya buatan Cina lantaran diduga dijual dengan harga dumping.

Belum lama ini Brussels menggelar penyelidikan terhadap teknologi telekomunikasi Cina yang dipasarkan di Eropa. Dan maskapai penerbangan Cina masih menolak membayar pajak ekologi yang diwajibkan oleh Uni Eropa, diduga atas desakan pemerintah di Beijing sendiri. Brussels kini mengancam akan melarang maskapai Cina mendaratkan pesawatnya di Eropa.

Eropa dan 28 kebijakan Cina

Prof. Heilmann memperkirakan, Jerman akan berusaha meluruskan kebijakan Uni Eropa. Menurutnya Berlin tidak ingin mengobarkan perang dagang karena akan berdampak negatif terhadap ekspor Jerman ke Cina. Sebab itu ia yakin, kebijakan luar negeri Jerman yang konservatif itu akan berujung pada ketegangan antara pemerintahan Merkel dan Komisi Eropa.

Uni Eropa sejauh ini gagal meracik haluan bersama terkait hubungannya dengan Cina. Menurut Prof. Eberhard Sandschneider, dosen politik di Freie Universität Berlin, Eropa saat ini memiliki "28 kebijakan" yang berbeda-beda soal Cina. "Setiap negara anggota memiliki strateginya sendiri," katanya, "ini meungkinkan Cina mengadu domba antaran negara anggota jika berhubungan dengan kepentingan Beijing."

Symbolbild Europa Fahne unscharf
Uni EropaFoto: picture-alliance/dpa

Perdana Menteri Li Keqiang bukan sosok asing bagi Kanselir Angela Merkel. Keduanya berkenalan ketika Merkel berkunjung ke Beijing beberapa tahun lalu. Ketika Li dipilih sebagai perdana menteri Maret lalu, Merkel adalah kepala pemerintahan asing pertama yang menghubunginya untuk memberikan ucapan selamat. Merkel melanjutkan keakraban yang dijalinnya dengan pendahulu Li, Wen Jiabao. Keduanya dikenal dekat.

Hubungan baik kedua kepala negara

Liu Liqun, pakar Jerman yang mengajar di Universitas Beijing melihat potensi besar dalam hubungan Li Keqiang dan Merkel. "Usia keduanya tidak jauh berbeda. Sebab itu keduanya akan cepat bisa saling memahami karena termasuk generasi yang sama," katanya.

Bahwa politik internasional sering bergantung pada hubungan personal antara aktor yang terlibat, juga diakui oleh Eberhard Sandschneider, "hubungan internasional bukan sesuatu yang tidak manusiawi. Di sini manusia saling berinteraksi dan ini juga berlaku jika dua pihak ingin menyelesaikan masalah. Jika keduanya akrab, perkaranya akan selesai cepat, sebaliknya juga berlaku kalau keduanya saling membenci."

Lawatan Li akan berakhir Senin (27/05/13) mendatang di Berlin. Ia dijawalkan bertemu dengan mantan Kanselir Helmut Schmidt yang saat ini berusia 94 tahun. April lalu Schmidt menerbitkan buku terbarunya soal Cina dengan judul, "Kunjungan Terakhir."