1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lima Tahun Pasca Kematian Arafat, Warisan Politiknya Terancam Lenyap

11 November 2009

11 November 2004 pimpinan PLO Yasser Arafat wafat di rumah sakit di Paris. Kemudian Mahmoud Abbas terpilih sebagai pimpinan daerah otonomi Palestina.

https://p.dw.com/p/KTvc
Warga Palestina pendukung Fatah memegang plakat mendiang Arafat di Tepi Barat YordanFoto: AP

Ramallah 12 November 2004, sehari setelah wafatnya Yasser Arafat, puluhan ribu warga Palestina menunggu kedatangan jenazah di kediaman resmi mendiang pemimpin PLO tersebut di Mukata. Pada hari itu setiap warga Palestina tampaknya ingin menyampaikan selamat tinggal kepada pria, yang hampir oleh semua orang di kawasan itu disebut sebagai presiden yang dominan kawasan otonomi Palestina.

Dua bulan kemudian Mahmoud Abbas terpilih sebagai presiden kawasan otonomi Palestina. Ia meraih 60 persen suara dan mewarisi tugas berat. Aparat pemerintahan di Ramallah setelah beberapa tahun berada di bawah pemimpin tunggal Arafat tidak berfungsi. Hamas melanjutkan kembali haluan perlawanan bersenjata terhadap kekuatan pendudukan Israel, dan Perdana Menteri Israel ketika itu Ariel Sharon menganggap Abbas terlalu lemah. Tapi Abbas berulang kali menyampaikan pesan perdamaian kepada Israel.

"Saya ingin menjamin bahwa jalan menuju keamanan adalah melalui perdamaian yang adil dan tidak ada langkah militer yang dapat menyelesaikan konflik. Kita adalah mitra yang sejajar dan dalam hal ini kita haru sama-sama mengakhiri kekerasan."

Ketika musim panas 2005 Israel membongkar pemukiman Yahudi di Jalur Gaza, Sharon menyatakan melakukan hal ini sepenuhnya secara sepihak. Pimpinan Palestina Abbas yang seharusnya meraup keuntungan politis dalam negeri dari serah terima terkoordinasi Jalur Gaza tersebut, ternyata tidak mendapat keuntungan apapun.

Ketika Januari 2006 Hamas keluar sebagai pemenang pemilihan parlemen Palestina, janji yang diberikan Abbas kepada Israel tidak lagi dipenuhi. Israel, Amerika Serikat dan Uni Eropa bereaksi dengan memperketat sanksi ekonomi terhadap pemerintahan baru Palestina di bawah Hamas. Satu tahun kemudian, bulan Desember 2006, Abbas tidak punya pilihan lain. "Saya memutuskan mengumumkan pemilihan parlemen dan presiden yang dimajukan."

Pemilu tidak akan digelar, demikian penolakan salah seorang pendiri Hamas Mahmud Zahar di Gaza. "Kami tidak akan ambil bagian. Kami tidak mengijinkan proses ini. Jika Abbas lelah ia sebaiknya mundur."

Perang saudara sebetulnya sudah berlangsung lama. Juni 2007, hanya dalam beberapa hari Hamas berhasil memukul saingannya Fatah, dan sejak itu membangun Jalur Gaza yang diblokir sebagai pusat kekuasaannya. Satu-satunya harapan politik yang masih dimiliki Abbas adalah pemerintah baru Amerika Serikat. Obama diharapkan membantunya menghentikan kesalahan dari Perjanjian Oslo. Jadi dengan melakukan perundingan, tapi pada waktu bersamaan Israel terus membangun pemukiman baru di kawasan yang didudukinya. Meskipun demikian Israel tetap mempertahankan sikap kerasnya terhadap pemerintahan Obama.

Ketika hampir pada waktu bersamaan dengan peringatan tahun ke-lima kematian Arafat, Abbas mengumumkan tidak lagi bersedia dicalonkan, Hamas merasa mendapat pembenaran dalam semua segi. Anggota parlemen dari Hamas, Dr. Khamis Najjar di Gaza City menyatakan, "Politik Amerika Serikat berlanjut. Presiden baru terpilih, tapi politik Amerika tetap sama, politik Eropa juga tetap. Mereka telah mendirikan Israel dan mereka melindungi Israel dan Israel selalu benar dan Palestina selalu tidak benar."

Hamas yang sudah sejak lama melepaskan kemandiriannya dan mengikuti petunjuk Teheran, membuat semua bentuk perujukan nasional dengan Fatah hampir mustahil. Demikian kesimpulan anggota parlemen Fatah, Dr. Ibrahim Mussadar dari Gaza- "Jika konflik regional berkembang ke dalam negeri, sangat sulit menyelesaikannya."

Clemens Verenkotte/Dyan Kostermans

Editor: Agus Setiawan