1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lukisan Mooi Indie yang Pudar

Andy Budiman2 November 2014

Indonesia yang dikenal toleran, pelan-pelan bergerak ke kanan. Inilah wajah kelam yang justru muncul 15 tahun setelah kebebasan.

https://p.dw.com/p/17juZ
Foto: dapd

Barat sering menatap Indonesia seperti mooi indie: gaya lukisan yang merepresentasikan romantisme barat dalam melihat timur sebagai negeri yang eksotik, tenang dan damai.

Begitu pula dengan Islam Indonesia yang dianggap mempunyai bentuk moderat, berbeda dengan Timur Tengah.

Perempuan muda berkerudung yang tersenyum ramah, atau anak-anak yang bermain di surau adalah gambaran yang sering muncul tentang Islam Indonesia. Tapi satu dekade terakhir, gambaran itu perlahan pudar.

Frauen aus Indonesien
Potret muslim moderat Indonesia.Foto: AP

Tak lagi toleran

Pertengahan Februari 2013, di Sulawesi Selatan, tiga gereja dilempari bom molotov.

Hanya 60 kilometer dari Jakarta, di Bogor, seorang Walikota menutup sebuah gereja karena dianggap ilegal. Padahal Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pendirian tempat ibadah itu sah.

Tahun 2012, di Bekasi, jamaat HKBP Filadelfia yang terpaksa beribadah di pinggir jalan karena gereja mereka ditutup, dilempari kantung plastik berisi kotoran manusia. Dua tahun terakhir lebih dari seratus gereja diteror.

“Jujur saja, saya tidak lagi merasa cukup aman tinggal di Indonesia“ kata pendeta Albertus Patty, salah seorang pengurus organisasi Kristen terbesar Persekutuan Gereja Indonesia PGI kepada Deutsche Welle.

“Banyak kekerasan yang terjadi begitu saja tanpa upaya polisi atau pemerintah untuk mencegah“ kata pendeta Patty sambil menambahkan “Indonesia bukan lagi negara yang toleran.“

Lebih keras ke dalam

Novriantoni Kahar adalah intelektual muda muslim yang juga Direktur Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi, sebuah lembaga yang memonitor masalah toleransi di Indonesia.

“Survey kami menemukan bahwa ketegangan antar kelompok di dalam agama lebih gawat ketimbang tensi yang terjadi dalam hubungan antar agama,“ kata Novriantoni kepada Deutsche Welle.

Jajak pendapat akhir tahun lalu yang dilakukan Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi mengungkapkan fakta: 46,6 persen orang Indonesia mengaku tidak suka bertetangga dengan Ahmadiyah dan 41,8 persen tidak nyaman hidup dengan pemeluk Syiah. Angka ini lebih tinggi dibanding sikap tidak suka hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain yang angkanya 15,1 persen.

Hasil polling itu termanifestasi lewat fakta: paling tidak ada tiga gubernur dan tujuh pejabat setingkat walikota atau bupati yang melarang Ahmadiyah. Kelompok ini menjadi sasaran intoleransi mulai dari larangan beribadah hingga pembunuhan. Terakhir, pada pertengahan Februari 2013, Walikota Bekasi melarang total kegiatan kelompok ini.

Juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia Mubarik Ahmad menyebut bahwa intimidasi dan teror semakin meningkat sejak Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat.

Belakangan kelompok Syiah juga menjadi sasaran. Pertengahan 2012 di Madura, pulau yang terletak di timur pulau Jawa, seribuan orang menyerang kampung yang dihuni pengikut Syiah dan mengakibatkan korban tewas dan luka. Para pengikut aliran itu dianggap sesat, dan rumah mereka dibakar.

Indonesien Java Sampang Anschläge auf Schiiten
Intoleransi pembakaran rumah warga Syiah di Sampang, Madura.Foto: Getty Images

Praktek intoleransi juga terjadi melalui jalur hukum. Tahun 2012 di Padang, Sumatera Barat, seorang pegawai pemerintah divonis dua setengah tahun penjara karena membentuk grup Ateis Minang di jejaring sosial Facebook. Lewat pasal blasphemy, dia dinyatakan bersalah menghina Islam.

Transisi ke kanan?

Ahli Indonesia asal Amerika, R. William Liddle menyebut adanya kecenderungan yang mencemaskan dalam politik Indonesia.

“Partai tengah seperti Golkar dan Demokrat semakin ke kanan. Itu lebih berbahaya, karena menyangkut perlindungan terhadap minoritas. Saya melihat di masa depan, kelompok seperti Ahmadiyah dan Syiah semakin terancam karena mereka tidak mendapat perlindungan, baik dari polisi maupun sistem politik“ kata William Liddle kepada Deutsche Welle.

“Partai-partai politik tidak memberikan reaksi keras mengecam kasus-kasus intoleransi,“ kata Novriantoni Kahar.

The Wall Street Journal mencatat paling tidak ada 350 pemerintahan daerah Indonesia yang memberlakukan Peraturan Daerah Syariat Islam. Produk hukum itu lolos di parlemen lokal karena antara lain dukungan dari partai tengah yang ingin menarik simpati umat Islam.

Lebih mencemaskan lagi karena kecenderungan untuk bergerak ke kanan diikuti sikap publik yang semakin bisa menerima kekerasan. Jajak pendapat Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi menemukan bahwa hampir satu dari empat orang Indonesia bisa mentolerir kekerasan untuk menegakkan apa yang mereka yakini sebagai prinsip agama.

Kekerasan transisional memang banyak terjadi di negara yang mengalami transisi dari otoritarianisme menuju negara demokrasi, kata Novriantoni Kahar sambil memberi contoh kekerasan sektarian yang kini marak di Mesir, Libya atau Tunisia.

“Tapi masalahnya, kekerasan primordial ini terlalu lama terjadi di Indonesia yang sudah lebih dari satu dekade mengalami transisi,“ pungkas Novriantoni Kahar.