1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Malaysia: Bungkam Pers dengan Aturan Karet

1 Mei 2015

Malaysia resminya negara demokrasi parlementer, sebuah monarki konstitusional berdasar syariah Islam. Tapi jurnalisme di negara jiran itu mengalami represi lewat pasal karet yang bisa ditafsir seenaknya.

https://p.dw.com/p/1FIl2
Polizei/ Malaysia
Foto: picture-alliance

Sejatinya, warga bebas berpendapat dan mempublikasikan hasil pemikirannya. Semua dijamin oleh Konstitusi Federal pasal 10, yang menjamin kebebasan berekspresi dengan batasan tertentu. Pemerintah yang saat ini berkuasa juga menjamin bahwa internet akan bebas sensor.

Tapi realitanya, penekanan lebih pada istilah batasan tertentu, dalam wujud undang-undang anti penghasutan atau Sedition Act 1948 yang baru saja diamandemen. Ini semacam pasal karet yang bisa ditafsir apapun oleh penguasa. Mengritik pemerintah atau lembaga yudisial bisa ditafsir sebagai penghasutan publik.

Di zaman internet ini, tafsiran tudingan penghasutan bisa makin melar lagi: membagi status pos facebook, meretweet pesan, menulis blog, atau mengomentari posting. Semua bisa dipelintir oleh para pejabat panyidik kejaksaan dan kehakiman.

Pasal karet itu juga didukung undang-undang keamanan dalam negeri Internal Securty Act, yang mengizinkan penahanan tanpa putusan hukum yang makin kerap digunakan di tahun-tahun silam, untuk membungkam media massa atau tokoh politik oposisi.

Dengan menggunakan aturan pasal karet Sedition Act, penguasa mengekang kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, beropini dan menyebarkan informasi. Hingga akhir April 2015 sedikitnya 200 orang terdiri dari politisi, wartawan dan aktivis disidik berdasar aturan tersebut.

Ironisnya, mereka disidik samasekali tidak mengatakan atau menulis sesuatu yang dianggap menghasut oleh polisi maupun petinggi partai pemerintah yang sedang berkuasa. Melainkan diusut berdasar Sedition Act terkait aktivitasnya di jalur sosial media Facebook dan twitter atau di jalur online.

Jahabar Sadiq ACHTUNG SCHLECHTE QUALITÄT
Jahabar Sadiq Editor The Malaysian Insider.Foto: Jahabar Sadiq

Ibaratnya dengan sekali pukul, pemerintah di satu sisi menegaskan tidak ada sensor internet, tapi di sisi lain lewat mayoritas di parlemen menggolkan aturan yang memaksa warga melakukan oto-sensor. inilaj langkah paling efektif untuk mengkriminalkan pendapat warga.

Undang-undang penghasutan yang diperluas menohok semua warga Malaysia. Dengan itu, kebanyakan penggunan sosmed dan internet hanya akan jadi pembaca yang tutup mulut dan diam, karena ketakutan memicu ketidaksenangan penguasa.

Arti penting internet, dimana pengguna ibarat pipa penyalur berita dan video dinihilkan oleh undang-undang tersebut. Kebebasan berekspresi ibaratnya sekarat dan akan mati, jika gugatan konstitusional terhadap aturan baru itu dikalahkan di pengadilan.

Sekarang ini, banyak warga Malaysia memilih bungkam, ketimbang meringkuk di tahanan polisi gara-gara dituduh menghasut. Di dunia digital saat ini, dimana makin banyak orang bisa menyuarakan pendapat mereka dengan bebas, kebungkaman di Malaysia akan membuat semua tuli.

Jahabar Sadiq editor dan chief executive officer The Malaysian Insider, sebuah portal berita di Malaysia.