1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Mallorca, Pulau Wisata yang Terperangkap Pandemi

Stefanie Müller
18 Februari 2021

Pulau Spanyol yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk turis Jerman dan Inggris ini sekarang sepi. Angka kemiskinan mulai meningkat, dan musim liburan berikutnya juga tak mungkin menyembuhkan luka dan duka pandemi.

https://p.dw.com/p/3pUav
Antrian dapur umum di Mallorca
Antrian panjang di dapur umum di MallorcaFoto: Clara Margais/dpa/picture alliance

Tom Mardorf menganggap dirinya sebagai orang yang cukup berada dan menjadi bagian khusus penduduk Mallorca. Dia punya dua rumah di Mallorca dan sudah tinggal di sini sejak 1996 sebagai "penghuni paruh waktu". Pengusaha Jerman itu punya bisnis kosmetik organik dan nutrisi suplemen.

Pria Jerman berusia 58 tahun itu sebenarnya penduduk Malta, tetapi dia selalu datang ke Mallorca sesering mungkin. Tapi tahun ini, suasananya sungguh lain dan "mengejutkan", katanya kepada DW.

"Sesi liburan musim panas yang dibatalkan telah meninggalkan luka yang parah di mana-mana," katanya. "Kemiskinan telah meningkat dengan cepat."

Setelah lockdown pertama selama musim semi 2020, Mallorca sebenarnya jadi resor wisata Spanyol pertama yang diizinkan untuk dibuka kembali. Tapi hanya untuk periode yang singkat. Setelah dua bulan, angka infeksi kembali meningkat cepat dan pulau itu ditutup lagi untuk wisatawan selama musim panas, sampai sekarang. Mallorca disebut sebagai kawasan wisata yang paling menderita dari semua resor wisata Spanyol.

Tom Mardorf (tengah) di tokonya di Mallorca
Tom Mardorf (tengah) di tokonya di MallorcaFoto: Tom Mardorf

Ketergantungan besar pada pariwisata

Sekitar 75% dari seluruh pendapatan pulau itu berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan industri pariwisata. Maraknya serbuan pengunjung diiringi dengan peningkatan standar hidup dan kenaikan harga barang-barang dan biaya hidup. "Sisi buruk pariwisata massal itu sekarang menjadi terlihat secara brutal," kata Tom Mardorf.

Pemerintah daerah sekarang sedang berdebat soal kemungkinan memperpanjang lockdown atau melakukan langkah pelonggaran. Tapi masih banyak yang takut akan terjadi lagi kondisi darurat seperti pada masa puncak pandemi tahun lalu. Sampai saat ini, mayoritas suara di pemerintahan cenderung memperpanjang lagi masa lockdown, namun berjanji akan ada "langkah-langkah penyeimbangan".

Pada masa-masa kritis tahun lalu, Tom Mardorf juga turut menyumbangkan keterampilan profesionalnya sebagai pedagang dan pengelola. Bekerja sama dengan gereja setempat, dia mengorganisir sebuah "bank makanan" dan turut menggalang dana. Dengan bantuan sumbangan pribadi, timnya yang terdiri dari 27 orang membeli makanan untuk menghidupi sekitar 70 keluarga.

Kemiskinan datang "diam-diam"

Salah satu anggota tim adalah mantan pekerja hotel Paul Cameron. Warga negara Inggris berusia 40 tahun itu mengatakan, meningkatnya kemiskinan Mallorca memang tidak langsung terlihat. Seperti misalnya tidak ada peningkatan mendadak jumlah pengemis di jalan. Kemiskinan datang "diam-diam," katanya seraya menambahkan bahwa tidak hanya para pekerja restoran dan hotel yang kehilangan pekerjaan, melainkan juga sampai para arsitek dan pengacara.

"Kelihatan makin banyak orang di tinggal di tenda-tenda di sepanjang jalan," katanya kepada DW. Dia sendiri harus menghidupi istri dan ketiga anaknya dari tabungan mereka, tapi itu saja tidak cukup.

Bartji, seorang pemilik restoran berusia 55 tahun dari Belanda, mengatakan bahwa tekanan finansial dari lockdown makin lama makin dramatis. Dia sendiri terpaksa meminjam uang dari bank sampai 23.000 euro untuk menutupi biaya operasional. Bantuan dari pemerintah Spanyol datang terlalu lambat.

"Saya sejauh ini menerima bantuan langsung hanya sekitar 2.000 euro. Situasinya benar-benar dramatis," katanya

(hp/gtp)