1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Manipulasi Agama dalam Pilkada Jakarta

13 April 2017

Jakarta adalah rumah bagi banyak umat agama dan berbagai suku-bangsa. Oleh karena itu, jadi kewajiban bersama seluruh “penghuni rumah” Jakarta untuk menjaga kedamaian jelang pilkada ini. Berikut opini Sumanto al Qurtubi.

https://p.dw.com/p/2b2Fp
Jakarta Muslime protestieren gegen christlichen Gouverneur  Basuki Tjahaja Purnama
Foto: Reuters/D. Whiteside

Di antara ratusan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang digelar di Indonesia, Pilkada Jakarta yang paling banyak menyita perhatian publik, baik publik Tanah Air maupun masyarakat internasional.

Ramainya Pilkada Jakarta bukan karena adanya kandidat non-Muslim yang maju sebagai kepala daerah. Ada banyak kandidat non-Muslim diluar Jakarta yang ikut bertarung dalam Pilkada (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) tetapi adem-ayem. Biasa-biasa saja, tidak seheboh Jakarta.

Ramainya Pilkada Jakarta juga bukan karena adanya seorang keturunan Tionghoa yang ikut menjadi kontestan dalam bursa pemilihan kepala daerah karena ada sejumlah daerah (seperti Singkawang di Kalimantan Barat) dimana kandidat Tionghoa juga ikut berlaga dalam Pilkada.

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Pilkada Jakarta menjadi ramai sesungguhnya karena ada sekelompok elit politik, tokoh agama, dan pedagang besar yang bernafsu menguasai Jakarta dengan beragam motif dan kepentingan tentunya.

Kelompok politik ingin mengontrol jalannya roda pemerintahan sesuai dengan selera mereka. Kaum pebisnis tentu saja ingin dagangan mereka lancar tidak ada yang menghambat jalannya perbisnisan. Sementara sekelompok elit agama, terutama elit Muslim, ingin Jakarta menjadi kota yang menerapkan norma-norma atau standar-standar keagamaan / keislaman sesuai yang mereka imajinasikan.

Dalam sejarah kebudayaan umat manusia, koalisi atau persekongkolan elit politik-bisnis-agama adalah bukan hal baru. Itu sudah terjadi jauh sebelum "institusi politik” bernama "negara” itu ada. Bahkan sejak zaman Mesir Kuno, Yunani Kuno, Cina Kuno, Mesopotamia Kuno dan seterusnya, hal ini sudah terjadi.

Perselingkuhan politik-bisnis-agama ini juga bukan unik atau monopoli Jakarta saja tetapi juga terjadi di belahan dunia lain. Kasus ini juga bukan hanya terjadi di kalangan umat Islam saja tetapi juga menimpa agama-agama lain di jagat raya ini. Simak misalnya karya Scott Merriman, Sr., Religion and State atau Amanda Porterfield dalam Conceived in Doubt. Sarjana lain yang pernah mengulas tentang relasi politik-agama-ekonomi adalah David Sorenson, Clifford Backman, Emily Mackil, dan masih banyak lagi.   

Bernafsu untuk menang

Sesunggunya dalam pagelaran Pilkada (atau Pemilu), keterlibatan para tokoh politik, agama, dan bisnis adalah hal lumrah. Menjadi tidak lumrah jika ada sekelompok elit masyarakat (politisi, agamawan, pebisnis, dlsb) yang ‘ngotot', ‘overdosis', dan memaksakan diri untuk memenangkan pertarungan. Karena bernafsu ingin memenangkan laga Pilkada dan syahwat menguasai sudah di ubun-ubun, maka mereka cenderung menggunakan berbagai macam cara, termasuk cara-cara busuk; menghalalkan berbagai macam strategi dan taktik kotor; serta memakai berbagai tempat, termasuk tempat-tempat ibadah, sebagai instrument kampanye dan propaganda politik.

Karena sudah gelap mata bak orang sedang "kesurupan hantu”, mereka—orang-orang yang sudah "bernafsu” ingin menguasai dunia politik, agama, dan ekonomi ini—tidak lagi mempedulikan etika sopan-santun dan fatsun berpolitik, tidak lagi menghiraukan halal-haram atau dosa-tak berdosa, tidak memusingkan melanggar aturan atau tidak. Yang penting bisa memenangkan laga Pilkada. Persetan dengan norma, etika, aturan, moralitas, ajaran agama, dan seterusnya.

Salah satu yang saya amati di Jakarta adalah maraknya sejumlah kelompok yang saling menghujat dan memaki lawan, memanfaatkan sarana peribadatan untuk ajang kampanye dan memojokkan lawan, serta memanipulasi simbol, wacana, tradisi, ajaran, sejarah, dan teks-teks keagamaan untuk kepentingan politik praktis-pragmatis dan mendukung paslon tertentu.

Misalnya, yang sangat jelas dan gamblang adalah penggunaan masjid-masjid di Jakarta, terutama pada waktu khotbah Jum'at, sebagai medium untuk kampanye dan propaganda memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu serta alat untuk merendahkan dan memojokkan paslon lain. Larangan mengurus, mendoakan, dan menyolati jenazah yang sewaktu masih hidup mendukung paslon tertentu juga bagian dari "teror teologis” kepada paslon tertentu untuk memenangkan paslon lain. Demikian pula seruan ancaman masuk neraka bagi yang mendukung dan memilih paslon tertentu atau harapan masuk surga bagi yang mendukung dan memilih paslon tertentu juga merupakan bagian dari "akal bulus” dan siasat busuk sejumlah kelompok guna meraih kemenangan dalam Pilkada.

Akal-akalan kelompok  kepentingan?

Yang paling fenomenal tentu saja tindakan memanipulasi sejumlah ayat Al-Qur'an, khususnya yang populer dan heboh adalah Surat Al-Maidah Ayat 51 yang oleh sejumlah kalangan Muslim dianggap sebagai "larangan dari Tuhan untuk memilih pemimpin non-Muslim”.

Menariknya, yang "menghebohkan” ayat ini hanyalah sejumlah kelompok Islam di Jakarta (dan sekitarnya). Umat Islam di negara-negara lain, baik di Barat maupun di Timur, sama sekali tidak meributkan soal ayat ini. Bahkan di sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim seperti Libanon, Senegal, Palestina, Turki, dlsb, memiliki (atau pernah memiliki) kepala negara atau kepala daerah non-Muslim (misalnya Michel Aoun di Lebanon, Leopold Sedar Shenghor di Senegal, Vera Baboun di Palestina, dlsb.).

Kaum Muslim di berbagai belahan dunia tidak meributkan Surat Al-Maidah itu karena mereka tahu bahwa ayat itu tidak ada relevansinya dengan pemilihan kepala negara/kepala daerah di era kontemporer. Karena alasan ini pulalah mengapa para ulama dan ahli tafsir terkemuka, baik klasik maupun modern, termasuk para ulama Al-Azhar Mesir dan Indonesia sendiri, tidak mempermasalahkan tentang pemilihan kepala daerah non-Muslim karena menganggap sejarah, konteks, makna, dan definisi kata "auliya” dalam ayat itu tidak sama atau tidak relevan dengan masalah Pilkada.

Jadi, sekali lagi saya tegaskan, apa yang sebetulnya terjadi di Jakarta itu tidak lebih dan tidak kurang hanya merupakan akal-akalan belaka dari kelompok kepentingan tertentu atau tindakan manipulasi ayat untuk kepentingan politik praktis-pragmatis yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sudah bernafsu ingin menguasai dan mengontrol Jakarta berserta aset-aset politik, ekonomi, bisnis, budaya, dan agamanya.

Pilih yang terbaik

Akhirul kalam, Pilkada adalah momen politik yang sangat penting karena memilih kepala daerah yang diharapkan mampu melayani masyarakat, memajukan pembangunan daerah, serta mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Oleh karena itu, memilih kepala daerah yang baik, jujur, tegas, bersih, dan berpengalaman adalah prasyarat yang tidak bisa dielakkan.

Silakan saja menyarankan umat Islam atau umat Kristen untuk memilih palon yang seagama tetapi hendaknya jangan diikuti dengan hujatan, pemaksaan, dan "teror teologis” yang tidak perlu. Tidak ada hubungannya antara surga-neraka dengan Pilkada. Tidak ada relevansinya antara memilih paslon tertentu dengan kualitas keimanan atau kekafiran seseorang.

Ingat, Jakarta adalah rumah bagi banyak umat agama, bukan hanya Muslim saja. Jakarta juga rumah bagi berbagai suku-bangsa, bukan hanya Betawi, Jawa, Arab, atau Cina saja. Ingat juga bahwa umat Islam, umat Kristen dan lainnya adalah "para tamu” di daerah yang kini bernama "Jakarta” itu. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama bagi seluruh "penghuni rumah” Jakarta untuk menjaga kedamaian, kesejahteraan, dan keharmonisan warga—apapun latar belakang agama, bahasa, dan etnik mereka.

Hanya orang-orang yang pikun sejarah, rabun wawasan, dan bernafsu terhadap kekuasaan saja yang hobi menggunakan, memainkan, dan memanipulasi isu-isu agama atau etnisitas untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Orang-orang model begini harus diwaspadai, diluruskan, dan "diruwat” mentalitas dan pikirannya agar kembali ke jalan yang benar sehingga Jakarta kelak tumbuh menjadi kawasan yang nyaman dan ramah buat siapa saja.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis