1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mantan Pimpinan Milisi Kongo Lubanga Divonis Bersalah

14 Maret 2012

Thomas Lubanga dinyatakan bersalah dalam kasus penyalahgunaan tentara anak-anak. Demikian keputusan hakim Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Rabu (14/03).

https://p.dw.com/p/14KJP
Alleged Congolese warlord Thomas Lubanga, right, enters the courtroom of the International Criminal Court in The Hague, Netherlands, in this photo made available by the International Criminal Court, Monday, Jan. 26, 2009. Lubanga pleaded not guilty to recruiting child soldiers and sending them to fight and die in ethnic battles as the International Criminal Court began its historic first trial. The trial of Thomas Lubanga has been hailed as a legal landmark by human rights activists because it is the first international criminal prosecution to focus solely on child soldiers. (AP Photo/ ICC-CPI/Michael Kooren, HO)
Thomas Lubanga (kanan) memasuki Mahkamah Pidana di Den HaagFoto: AP

"Apa Anda melihat bagaimana seseorang dihukum mati?", tanya seorang pengacara. "Ya, saya melihat sendiri bagaimana seorang remaja pria yang mencoba melarikan diri dieksekusi. Mereka ingin menunjukkan bahwa siapapun dari kami dapat mengalami nasib yang sama, dan tidak seorangpun dapat lolos dari militer.

Suaranya sengaja diubah, dan rekaman video itu dibuat tidak jelas. Pria tersebut diusahakan tidak sampai dikenali, untuk perlindungannya sendiri. Ia pernah menjadi anggota kelompok pemberontak di Kongo. Sebagai saksi ia melaporkan kehidupan milisi yang brutal dan bagaimana anak-anak diperkosa oleh para pemberontak.

Hanya beberapa meter dari tempatnya, duduk Thomas Lubanga Dyilo (51), mantan pemimpin milisi Kongo. Hampir tanpa ekspresi ia mengikuti proses tanya jawab tersebut. Juga dalam hari-hari sidang lainya ia bersikap serupa, seolah ia tidak ada kaitannya dengan tuduhan-tuduhan itu.

Sejak lebih dari lima tahun Lubanga mendekam di penjara di Den Haag. Tahun 2006 ia ditangkap oleh pemerintah Kongo dan diekstradisi ke Mahkamah Pidana Internasional. Tahun 2009 hakim membuka proses pengadilan terhadap Lubanga, dengan tuduhan pelanggaran kejahatan berat.

ARCHIV - Kinder-Soldaten der so genannten Union Kongolesischer Patrioten (UPC) patrouillieren durch die Straßen von Bunia in Kongo (Archivfoto vom 19.06.2003). Die Vereinten Nationen gedenken eines der dunkelsten Kapitel in der Geschichte der Menschheit. An diesem Sonntag (25.03.2007) jährt sich das Verbot des transatlantischen Sklavenhandels im UN-Kalender zum 200. Mal. Doch das Thema Menschenhandel ist bis heute nicht bewältigt. Als Beispiele führt UN-Generalsekretär Ban auch das Schicksal von Kindersoldaten an. Foto: Maurizio Gambarini (zu dpa-Korr. "Menschenhandel blüht auch 200 Jahre nach Ende der Sklaverei" vom 22.03.2007) +++(c) dpa - Bildfunk+++
Tentara anak-anak di Republik KongoFoto: picture-alliance/dpa

Proses Hukum Pertama Kasus Tentara Anak-anak

Antara tahun 2002 dan 2003 di kawasan krisis Ituri di timur Kongo, Lubanga merekrut ratusan anak-anak untuk dijadikan milisi bersenjata. Anak laki-laki dan perempuan berusia antara 7-15 tahun direkrut untuk milisi bersenjata Uni Patriotik Kongo (UPC).

Lubanga memaksa milisi anak-anak ini membunuh dan menjadi budak seks. Proses terhadap mantan pimpinan UPC itu merupakan yang pertama kalinya di Mahkamah Pidana Internasional PBB yang juga membahas tema tentara anak-anak.

"Apa yang penting bagi saya adalah hukumannya. Ini menyangkut anak-anak yang dibuat menjadi pembunuh." Demikian dikatakan hakim ketua pada Mahkamah Pidana Internasional Luis Moreno-Ocampo menjelang dimulainya proses tahun 2009 lalu. Sejak itu sudah 220 proses tanya jawab yang berlangsung. Untuk pertama kalinya dalam proses pengadilan internasional juga korban milisi boleh diajukan sebagai pihak penuntut.

Luis Moreno-Ocampo, Chief Prosecutor of the International Criminal Court comments on the arrest of the first suspect during a press conference in The Hague, Netherlands, Saturday March 18, 2006. The International Criminal Court has taken its first suspect into custody, flying in a Congolese warlord accused of atrocities during one of Africa's most brutal wars. It was a major step for the court, the world's first permanent war crimes tribunal, enabling it to start its first trial nearly four years after setting to work. An arrest warrant for Thomas Lubanga was issued on Feb. 10, but kept secret until the aircraft bringing him to the Netherlands left Congo's airspace Friday. (AP Photo/Rob Keeris)
Luis Moreno-OcampoFoto: AP

Lubanga dikenal sebagai aktor utama konflik di Ituri. Distrik di timur Kongo kaya akan berlian dan emas. Akhir 1990-an di Ituri pecah konflik bersenjata antara kelompok etnis Hema dan Lendu. Konflik yang juga melibatkan negara tetangga Ruanda dan Uganda itu menyebabkan 60 ribu korban tewas. Lubanga dikenal sebagai Uni Patriot Kongo UPC yang mayoritas etnis Hema dan sebagai panglima militer fraksi patriotik untuk pembebasan

Pengacara Lubanga Kritik Proses Pengadilan

Dua kali proses pengadilan terhadap Lubanga terhenti. Mahkamah mengritik bahwa penuntut merahasiakan akte-akte bukti dan identitas sosok yang menjadi kontak di Kongo. Pembela Lubanga seharusnya diijinkan untuk melihatnya agar memungkinkan proses pengadilan yang adil.

Pembela memang memperoleh akses terhadap akte-akte tersebut tapi nama para saksi dirahasiakan. Proses akhirnya kembali dimulai dan Agustus 2011 penuntut serta pembela membacakan pledoi akhir.

Pembela Lubanga menyerang kredibilitas para saksi. "Dapat dibuktikan bahwa semua yang dikenal sebagai tentara anak-anak, berbohong di depan pengadilan ini." Delapan saksi sama sekali tidak pernah tergabung dalam milisi, saksi ke-9 berbohong terkait usianya, demikian pengacara Lubanga.

** FILE ** Alleged Congolese warlord Thomas Lubanga, center, is seen at the start of a hearing at the International Criminal Court in The Hague, Netherlands, Thursday, Nov. 9, 2006. The world's first permanent war crimes tribunal begins its historic first trial Monday Jan. 26, 2009 with Congolese rebel leader Thomas Lubanga facing six charges of recruiting children _ some as young as 10 years old _ and sending them to fight and die in battle. The International Criminal Court's first trial will send a message of hope to Africa's legions of child soldiers _ and a warning to the warlords who recruit them that they are no longer above the law, a Congolese activist who helped demobilize young fighters believes. ( AP Photo/ Bas Czerwinski, File)
Thomas Lubanga di depan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Den Haag 2006Foto: AP

Thomas Lubanga adalah penjahat perang pertama yang dijatuhi hukuman di Mahkamah Pidana Internasional. Para pengamat berpendapat, keputusan pertama Mahkamah Pidana Internasional ini juga akan berdampak pada proses-proses lainnya. Selain kepala milisi pemberontak Lubanga, saat ini masih ada penjahat perang lainnya dari Kongo, Kenya, Uganda dan Pantai Gading yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Mahkamah PBB tersebut.

Terhadap pelaku lainnya seperti Presiden Sudan Omar Al-Bashir dan Saif al-Islam Gadaffi (putra mantan penguasa Libya Muamar al-Gaddafi) dikeluarkan surat perintah penangkapan.

Julia Hahn/Dyan Kostermans

Editor: Vidi Legowo