1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hentikan Bicara Politik Praktis di Masjid

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
16 Juli 2018

Belakangan ini ramai pembicaraan tentang boleh-tidaknya masjid dijadikan sebagai tempat untuk membincang masalah kepolitikan. Bagaimana menurut pendapat Anda? Berikut opini Sumanto Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2zCsL
Indonesien Moschee Lautsprecher
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Baik yang pro maupun kontra sama-sama menjadikan teks-teks keislaman, ayat-ayat Al-Qur'an serta Hadis dan perilaku Nabi Muhammad sebagai acuan atau "basis teologi-keagamaan” untuk memperkuat atau melegitimasi pendapat dan argumen mereka.

Kelompok yang membolehkan misalnya mengatakan dan mengklaim kalau dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincang masalah kepolitikan, selain untuk ceramah dan salat atau sembahyang.

Sumanto adalah dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama.  Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby Foto: privat

Saya sendiri berpendapat tidak masalah membicarakan masalah kepolitikan di masjid. Tetapi menjadi masalah kalau masjid dipolitisir atau dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktis–kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.      

Maka, untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Bukan hanya itu saja, masjid idealnya juga jangan dipakai sebagai medium untuk menyebarkan intoleransi dan kebencian terhadap kelompok lain apalagi terhadap sesama umat Islam itu sendiri.

Dalam sejarahnya, memang benar Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai tempat untuk berpolitik. Dulu, masjid, yang secara harfiah berarti "tempat sujud” (atau tempat bersujud / menyembah kepada Tuhan), bukan hanya tempat untuk bersujud, salat, berdoa, dzikir, wiridan, khotbah dan sebagainya tetapi juga untuk kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan kemiliteran. Masjid juga dijadikan sebagai "tempat pengadilan” jika terjadi masalah-masalah hukum menyangkut kaum Muslim. Dengan kata lain, masjid di zaman nabi memiliki multifungsi dari masalah teologi-keagamaan hingga masalah sosial-kemasyarakatan.

Kenapa begitu?

Karena dulu, masjid yang diadopsi dari tradisi pra-Islam Nabatea dan Aram ini, adalah satu-satunya bangunan publik yang dimiliki oleh umat Islam awal. Itupun jumlahnya cuma satu dua. Di zaman Nabi Muhammad hanya ada segelintir masjid, yaitu Masjid Haram (Makah), Masjid Nabawi (Madinah), dan Masjid Quba' (Madinah). Ada pula yang mengatakan termasuk masjid tertua adalah Masjid Sahabat di Massawa, Eritrea, yang dipercaya sebagai masjid pertama di Benua Afrika yang dibangun oleh para sahabat nabi untuk menghindari persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Makah. Sejumlah sejarawan menilai Masjid Quba' sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Nabi Muhammad.

Jadi, karena dulu masjid adalah satu-satunya bangunan publik maka sangat wajar kalau semua aktivitas nabi dan umat Islam awal dipusatkan di masjid. Dulu madrasah, perpustakaan, pengadilan, apalagi kantor ormas dan parpol, belum ada. Madrasah, kampus, pengadilan, dan perpustakaan baru ada di abad pertengahan Islam di zaman kerajaan jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Selain itu, Nabi Muhammad menggunakan masjid sebagai medium berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam agar mampu bertahan hidup dari gempuran kelompok non-Muslim, khususnya di kawasan Jazirah Arab, yang memusuhi dakwah-dakwah sosial-keagamaan Nabi Muhammad. Perlu diingat, waktu itu tidak semua kaum non-Muslim itu memusuhi Nabi Muhammad. Banyak dari mereka (karena diikat oleh solidaritas suku, kesamaan visi-misi, atau kepentingan politik-ekonomi yang sama) yang membangun koalisi dengan beliau melawan kaum oposan.

Hal ini tentu saja sangat kontras dengan perkembangan mutakhir di Indonesia dimana masjid dan musala atau langgar digunakan untuk alat penyebaran hoaks, kampanye, dan propaganda busuk guna memusuhi sesama umat Islam itu sendiri yang kebetulan memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan "rezim masjid” yang bersekongkol dengan "rezim parpol” tertentu. Masjid bukannnya dipakai untuk berdakwah dan memperjuangkan kesejahteraan umat Islam tetapi malah digunakan untuk memecah-belah kaum Muslim.

Jakarta, pada waktu Pilgub yang lalu, menjadi saksi bisu bagaimana masjid-masjid telah "diperkosa” dan dipolitisasi sedemikian rupa oleh "sindikat busuk” dan gerombolan para "badut” politik-agama yang haus kekuasaan. Bahkan bukan hanya di Jakarta, virus kebusukan, kejahatan, dan politisasi masjid itu juga menular dan menjalar di kawasan lain di Indonesia. Demi memuluskan jalan kepentingan politik praktis kekuasaan, mereka tidak segan-segan memakai cara-cara kotor: menyalahgunakan fungsi masjid, memanipulasi hadis, "memperkosa” ayat, dan "menipu” Tuhan.

Dalam konteks sejarah Islam, Muawiyah bin Abu Sofyan (w. 680), pendiri Dinasti Umayah yang berbasis di Damaskus, berserta keturunan, keluarga, teman, pemandu sorak, dan antek-anteknya (kecuali Umar bin Abdul Aziz, w. 720) yang hobi menggunakan dan memolitisir fungsi masjid dengan cara-cara kotor sebagai alat kampanye dan propaganda hitam untuk kepentingan politik praktis kekuasaan. Oleh mereka, masjid-masjid dipakai untuk mengkhotbahkan dan mewartakan kebusukan dan menyerang umat Islam yang kontra dengan rezim Umayah, khususnya dari kelompok-kelompok Islam-Arab yang menjadi "musuh bebuyutan” Bani Umayah, yaitu faksi Ali dan Bani Hasyim.

Mengembalikan fungsi masjid

Maka, umat Islam kontemporer yang menggunakan cara-cara busuk melalui mimbar-mimbar masjid untuk mengegolkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara menyebarkan kebencian dan caci-maki terhadap sesama umat Islam itu sendiri, pada hakikatnya adalah "keturunan” atau "anak ideologis” dari Muawiyah dan anaknya Yazid yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai pemimpin bengal, kejam, dan haus kekuasaan.

Sudah saatnya umat Islam Indonesia harus mengembalikan fungsi masjid untuk kepentingan dakwah dan kegiatan positif yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta membangun spirit toleransi di kalangan masyarakat. Sudah saatnya kaum Muslim menghentikan membincang politik praktis di masjid yang lebih banyak membawa kemudlaratan ketimbang kemaslahatan.

Masjid harus dijadikan sebagai "tempat sakral” yang bebas atau steril dari kepentingan politik praktis tertentu. Ingat, jamaah dan komunitas masjid berasal dari beragam kelompok umat Islam, bukan melulu kaum partisan dan pendukung parpol dan paslon tertentu. Para takmir masjid dan jajarannya perlu menyadari pluralitas dan kompleksitas umat Islam.

Maka, demi mewujudkan kemaslahatan umat Islam dan menjaga harmoni masyarakat yang plural dan kompleks itu, para takmir, khotib dan pengurus masjid serta umat Islam pada umumnya wajid hukumnya menjadikan masjid sebagai tempat pemersatu dan bukannya pemecah belah kaum Muslim sehingga misi Islam sebagai "agama rahmat bagi alam semesta” betul-betul terwujud di masyarakat.    

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.