1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Depan Libya Tidak Jelas

31 Agustus 2011

Masa depan Libya tidak menentu setelah diktator Muammar Gaddafi berhasil digulingkan dan keluarga melarikan diri ke Aljazair. Akankah PBB membantu negara itu membentuk aparat dan instansi pemerintah baru?

https://p.dw.com/p/12QkA
A Libyan man looks on in front of the partially destroyed building at the central square in Zawiya, LIbya, Saturday, Aug. 20, 2011. Libyan rebels expelled government forces from the strategic western city of Zawiya on Saturday, a major victory for the opposition in their march on Moammar Kadafi's stronghold of Tripoli. (Foto:Giulio Petrocco/AP/dapd)
Perjuangan di Libya terus berlanjut. Dewan Transisi Nasional berusaha untuk membentuk sebuah pemerintahan baru.Foto: dapd

Sejumlah media internasional menyoroti masa depan Suriah. Harian La Figaro mengomentari:

„Setelah NATO melakukan tugasnya di Libya, kini saatnya untuk kembali ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penguasa baru Libya harus meminta sebuah misi perdamaian pada PBB, demi stabilisasi negaranya. Lembaga itu memiliki fasilitas untuk menegakkan ketertiban di negara itu. Organisasi itu juga dapat membantu mengembangkan aparat keamanan baru bagi Libya, polisi, administrasi pemerintah dan instansi lainnya. PBB tidak kekurangan dana dan memiliki niat baik. Akan tetapi, di dalamnya, belum tercipta keseimbangan diplomatis. Rusia, Cina, Afrika Selatan dan pemerintah lain mempunyai interpretasi berbeda mengenai Resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB. Di mata mereka, NATO, dengan dalih ‚melindungi warga sipil', membantu pemberontak menjatuhkan Muammar Gaddafi dari tahtanya.“

Sementara harian Nouvelle République du Centre-Ouest mempertanyakan peran Aljazair dalam konflik Libya, khususnya setelah negara itu memberi suaka kepada sejumlah anggota keluarga Muammar Gaddafi:

„Permainan apa yang dimainkan oleh Aljazair? Dulu, ketika Aljazair masih diguncang perang saudara, pemerintahannya menyalahkan Gaddafi mendidik pejuang Islam radikal. Tetapi sejak terpicunya konflik di Libya, pemerintah Aljazair nampaknya menempuh haluan baru. Aljazair memasok pendukung Gaddafi dengan munisi. Target mereka adalah menghindari dewan transisi nasional, yang dibentuk pemberontak, mengambil alih pemerintahan di Libya. Menurut Aljazair, dewan transisi dimanipulasi oleh kelompok agama yang fanatik. Dan ini merupakan situasi terburuk bagi Aljazair.“

Harian Swiss Der Standard juga mengomentari hal yang sama:

„Aljazair dari awal menyalahkan pemberontak Libya, tidak menyaring kalangan mana saja yang boleh ikut dalam perjuangan mereka. Negara itu kuatir, kelompok Islam radikal yang dekat dengan jaringan teror Al-Qaida juga mendapat akses ke senjata. Kecemasan Aljazair dapat dipahami, mengingat di tahun 90an kelompok Islam radikal memicu perang saudara di negara itu. Tetapi alasan Aljazair terlalu mudah. Keterkaitan organisasi Islam radikal Afrika Utara di dalam jaringan teror al-Qaida, terlalu rumit. Tidak mungkin semua pemberontak merupakan pejuang Islam radikal.“

Kemudian tema lain yang juga menjadi sorotan media internasional adalah aksi protes di Suriah. Harian Jerman tageszeitung yang terbit di Berlin menulis:

„Nampaknya tidak ada yang dapat menghalangi diktator Bashar al-Assad untuk membantai terus rakyat Suriah. Beberapa kelompok oposisi hampir menjadikan kenyataan ini sebagai alasan untuk mengangkat senjata melawan aparat keamanan Suriah atau meminta NATO melakukan intervensi militer. Namun komite kelompok pemberontak yang mengorganisir perlawanan di Suriah, secara tegas menolak penggunaan senjata dalam perjuangan mereka. Dan langkah ini sangat tepat. Sebuah perlawanan bersenjata dari dalam ataupun sebuah intervensi dari luar, hanya akan menguntungkan rezim. Pertempuran militer akan menjauhkan pemberontak dari moral dan prinsip mereka, bahwa protes secara damai akan mencapai perdamaian.“

Andriani Nangoy/Hendra Pasuhuk/afp/dpa