1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Banyak Wartawan Gugur Dalam Tugas

8 Februari 2016

"Tak ada berita yang layak untuk mati", itulah slogan yang bergaung di Konferensi Keselamatan Pekerja Media yang digelar UNESCO di Paris, Perancis.

https://p.dw.com/p/1HrP4
Foto: Patrick Baz/AFP/Getty Images

UNESCO menegaskan, wartawan di seluruh dunia masih sering menjadi korban pembunuhan brutal, ketika sedang menjalankan tugasnya. Konferensi Keselamatan Pekerja Media (Media Safety) di gelar hari Jumat lalu (05/02) di Paris.

"Sekarang, makin banyak wartawan yang menjadi sasaran serangan di setiap sudut dunia - brutal, ditembak mati dan disiksa sampai mati oleh musuh-musuh kebebasan pers," kata Jim Boumelha, Presiden International Federation of Journalists (IFJ) yang berbasis Brussels.

Boumelha menegaskan, kebanyakan kasus merupakan kasus impunitas, artinya, pelakunya tidak diusut atau dihadapkan ke pengadilan.

Tetap tingginya angka kematian pekerja mediaadalah jeritan yang menuntut aksi tegas dari lembaga-lembaga internasional seperti PBB, untuk memaksa pemerintahan (nasional) agar lebih memperhatikan situasi keamanan yang dihadapi jurnalis dan media," kata Bouleha dalam sambutannya di hadapan peserta konferensi.

"Dalam laporan terakhir yang dirilis tidak lama sebelum konferensi, IFJ mengatakan ada sekitar 2300 wartawan dan pekerja media tewas sejak tahun 1990. Lebih dari 95 persen korban tewas itu mati di negaranya sendiri.

James Foley Journalist Reporter Libyen
Jurnalis lepas James Foley, diculik di Suriah sekitar 2012, dibunuh teroris ISIS 2014Foto: dapd

Boumelha menerangkan, dunia biasanya tidak mengambil catatan dari kasus-kasus pembunuhan ini "kecuali kalau yang tewas koresponden dari media Barat yang terkenal".

"Betapa hebatnya resiko yang dihadapi wartawan lokal, atau wartawan yang melaporkan dalam lingkup, (resiko itu) tidak pernah sebesar saat ini," tambahnya. Pembunuhan telah menjadi "cara termudah dan paling efektif untuk membungkam wartawan".

IFJ menekankan bahwa sebagian besar wartawan tidak dibunuh di medan perang: "Lebih 75 persen dibunuh langsung, misalnya oleh pria bersenjata yang kemudian melarikan diri dengan motor, mereka ditembak atau ditikam sampai mati dekat rumah atau kantor mereka, atau ditemukan tewas setelah diculik dan disiksa".

Sebagian besar penyerang tidak terkena sanksi, karena banyak pemerintahan tidak mau melaksanakan penyelidikan yang efektif, kata peserta konferensi.

Karikaturenstreit - Proteste in Indonesien
Demonstrasi di Bandung (2006) menentang karikatur Nabi Muhammad di pers DenmarkFoto: AP

IFJ dalam laporan tahunannya menyebutkan, "tidak kurang dari 90 persen aksi.aksi pembunuhan jurnalis di seluruh dunia, hanya ada sedikit atau tidak ada penuntutan sama sekali ".

Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova mengatakan kepada kantor berita IPS, masalah impunitas ini perlu ditangani oleh negara-negara anggota PBB. Sebagai badan yang juga khusus berjuang untuk kebebasan pers, UNESCO telah menuntut informasi dari pemerintahan memberi informasi tentang "tindakan yang diambil untuk mengejar para pelaku kejahatan ini". Tapi beberapa negara tidak mengirimkan informasi yang diminta, papar Bokova.

Sepanjang konferensi, perwakilan pekerja media juga mengemukakan berbagai gagasan untuk menangani isu keamanan dan impunitas secara internasional dengan aturan yang mengikat.

Para peserta konferensi juga menyoroti buruknya situasi kerja pada pekerja lepas (freelancer) di media. Mereka sering mendapat bayaran rendah, tidak mendapat dukungan yang cukup, terutam,a dalam pemberitaan situasi krisis.

Playboy startet Verkauf in Indonesien
Majalah Playboy Indonesia edisi perdana. Kantornya pindah dari Jakarta ke Bali setelah ancaman FPIFoto: AP

Diane Foley, pembicara pada pertemuan tersebut, mengatakan bahwa ketika putranya James Foley diculik ISIS, keluarga "merasa sangat sendirian". Foley,yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu, dibunuh penculiknya tahun 2014.

Editor Indonesia Yuli Ismartono yang hadir dalam konferensi itu menyoroti masalah ekstremisme, yang belakangan menjadi ancaman besar bagi pekerja media. Cara terbaik menangkal ekstremisme adalah memberikan publik apa yang diebut "Literasi Media", terutama di daerah yang mengalami peningkatan ekstremisme, kata dia.

"Publik adalah institusi sensor kami yang baru kami," kata Ismartono. "Kalau mereka tidak suka apa yang kami beritakan, mereka bisa menyerang kami tanpa tanpa pandang bulu."

"Dia menjelaskan, Indonesia memang telah beralih dari megara represif menjadi negara demokrasi dalam waktu singkat. "Tapi kita belum mendidik masyarakat untuk menerima kebebasan yang baru.

"Banyak yang belum paham peran media," katanya kepada IPS. "Literasi Media adalah langkah penting untuk meningkatkan kesadaran ini.

hp/ap (ips)