1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masyarakat yang dipimpin Televisi

Andy Budiman24 Februari 2014

Sebuah film eksperimental Indonesia lolos seleksi di kategori Forum, Berlinale 2014. Sebuah film yang memotret wajah masyarakat yang diasuh oleh televisi.

https://p.dw.com/p/1B9f2
Symbolbild Fernsehen Fernbedienung Krimi Thriller
Foto: Fotolia/eyewave

Kita memang masyarakat terpimpin. Akhir tahun 50an, kita dipimpin oleh demokrasi ala Sukarno. Era Orde Baru, kita patuh pada kepemimpinan otoriter Suharto. Kini setelah punya kebebasan, kita sukarela menyerahkan diri dibimbing oleh televisi.

TV punya pengaruh sangat besar bagi orang Indonesia. Tahun 2012, belanja iklan di layar kaca nilainya lebih dari 60 persen dari total kue iklan nasional.

Para konsultan politik menggunakan istilah “serangan udara” sebagai resep paling ampuh memenangkan pemilihan umum. Serangan yang dimaksud adalah lewat iklan atau acara televisi.

“Another Colour TV”, karya dua mahasiswa komunikasi Universitas Indonesia mencoba memotret masyarakat televisi ini.

Dyantini Adeline atau Aline, 22 tahun, dan Yovista Ahtajida atau Yovi, 21 tahun, adalah sutradara film berdurasi 8 menit yang lolos seleksi kategori Forum di Festival Film Belin atau Berlinale 2014.

Indonesische Regisseurin Dyantini Adeline
Aline: "Another Colour TV" ingin mengangkat isu soal ibu dan televisiFoto: DW/A. Budiman

Film eksperimental ini dibuat dengan memasang kamera di atas televisi dan merekam aktivitas keluarga di depan layar kaca. Dan yang direkam adalah keluarga Yovi, sang sutradara sendiri.

Sebuah film personal, tak hanya bagi Yovi, tapi bagi kita semua para konsumen televisi.

“Awalnya ketika saya menyadari ada perubahan dari ibu saya…” kata Yovi kepada Deutsche Welle.

DW:Darimana datangnya ide awal film ini?

Yovi:Awalnya di rumah, sering ibu saya bilang tentang segala hal yang referensinya televisi seperti “Jangan begini karena kata TV…” Itu bikin saya tertarik dan akhirnya saya dan Aline berpikir kayaknya menarik berksperimen dengan ini, bagaimana melihat reaksi yang langsung terjadi ketika suatu keluarga berinteraksi dengan televisi.

Aline:Karena kita memang kuliah komunikasi kita tahu banget bagaimana mengemas suatu program atau iklan biar bikin orang-orang yang nonton itu percaya. Selain ibunya Yovi, ibu saya juga melakukan itu. Kayak misalnya bilang ”Aline itu tolong jangan dicontoh ya Raffi Ahmad…” Kalau dulu, ibu menasihati itu rujukannya nenek moyang atau agama, misalnya tapi sekarang mereka rujukannya ke ustad yang ada di TV atau segala macam yang terjadi di TV yang mereka tonton.

DW:Apakah film ini sebenarnya juga ingin bicara secara khusus tentang ibu dan televisi?

Indonesischer Regisseur Yovista Ahtajida
Yovi: Ibu saya berubah karena televisiFoto: DW/A. Budiman

Aline:Antara lain, karena anak-anak punya kehidupan di luar, suami sibuk di kantor, sedangkan ibu berakhir di rumah, dan teman satu-satunya agar dia tidak merasa kesepian ya cuma televisi. Di situ kita bisa melihat bagaimana ibu fokus banget dengan TV, terus ada dua anaknya yang selalu liat gadget. Ibunya jauh lebih akrab dengan televisi dibandingkan dengan anak-anaknya.

Yovi:Sebenarnya ini semacam curhatan kepada bapak saya, bahwa kenapa ibu seperti ini, karena dia benar-benar ditinggalin sama kita…

Film ini mengajak kita menyaksikan diri kita: betapa candunya kita pada televisi dengan acaranya yang buruk, hingga pada akhirnya “Life doesn”t imitate art, it imitates bad television” kata Woody Allen pada suatu ketika.

Dyantini Adeline, 22 tahun, sutradara “Another Colour TV” (2013), mahasiswi Komunikasi UI

Yovista Ahtajida, 21 tahun, sutradara “Another Colour TV” (2013), mahasiswa Komunikasi UI