1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Türkei Referendum

12 September 2010

Referendum di Turki berakhir dengan suara mayoritas yang mendukung rencana perubahan konstitusi yang diajukan PM Recep Tayyip Erdogan. Amandemen tersebut membatasi pengaruh militer dan memperkuat kekuasaan parlemen

https://p.dw.com/p/PATE
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan memberikan suaranya dalam referendum (12/09)Foto: AP

Tepat 30 tahun setelah kudeta militer tahun 1980, penduduk Turki dengan suara mayoritas mendukung rancangan amandemen konstitusi. Menurut hasil penghitungan cepat, sekitar 58 persen warga menyetujui perubahan terhadap 26 pasal yang diajukan oleh pemerintahan Konservatif-Islam pimpinan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Jumlah partisipasi warga berada di tingkat 77 persen.

Dukungan terbesar terhadap paket amandemen milik Erdogan itu muncul di wilayah Timur Turki yang sebagian besar didiami oleh kelompok etnis Kurdi. Padahal sebelumnya sejumlah ormas dan partai suku Kurdi menyerukan kepada penduduk setempat untuk memboikot jalannya referendum. Di Ibukota Ankara suara yang mendukung berjumlah 57 persen, sementara di Istanbul sekitar 56 persen.

Tanpa menunggu hasil resmi, Erdogan buru-buru mengumumkan keberhasilan referendum

"Kita telah berhasil. Bahwa pengadilan, demokrasi dan keadilan kini untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki berada di atas segalanya," katanya.

Dengan perubahan tersebut, Erdogan ingin memperkuat kekuasaan parlemen dan menjanjikan demokrasi serta kebebasan bagi penduduk. Rancangan itu juga meningkatkan perlindungan terhadap data pribadi milik penduduk. Pasal kesamarataan hak misalnya mengatur bantuan langsung pemerintah bagi kelompok minoritas yang sering dirugikan.

Menghapus jejak militer di Undang-undang dasar

Erdogan ingin menggulirkan reformasi di mahkamah konstitusi. Bersama militer, lembaga itu dikenal sebagai tulang punggung sekularisme di Turki. Kini parlemen di Ankara memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pemilihan hakim. Amandemen tersebut juga melonggarkan syarat kelaikan bagi setiap kandidat dan membatasi masa dinas hakim menjadi hanya 12 tahun.

Partai konservatif-Islam AKP yang kini duduk di pemerintahan juga membatasi wilayah kewenangan pengadilan militer. Lembaga tersebut nantinya tidak lagi diperbolehkan mengadili warga sipil. Sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keamanan nasional dan perubahan konstitsusi akan diambilalih oleh pengadilan sipil.

"Saya meyakini bahwa referendum ini sangat penting bagi demokrasi dan kebebasan di negeri kita. Bagi saya ini adalah sebuah peluang dan juga ujian untuk memajukan negara kita," kata Erdogan.

Beberapa pekan sebelumnya, Partai AKP pimpinan Erdogan terlibat dalam pertikaian terbuka dengan Partai Rakyat republik (CHP) yang mengaku sebagai penjaga warisan Mustafa kemal Attaturk. Siapapun yang menolak reformasi, maka mereka mendukung konstitusi yang dibuat di bawah kekuasaan militer Turki, begitu tandas Erdogan dalam sebuah pidato kampanye. Pihak oposisi sebaliknya menuding Erdogan dan AKP ingin mengendalikan lembaga pengadilan Turki.

Upaya terakhir merombak lembaga peradilan

Referendum itu sendiri merupakan jalan terakhir bagi Erdogan setelah parlemen gagal menghasilkan suara mayoritas untuk meloloskan rancangan amandemen undang-undang dasar yang diajukannya. Ia berulangkali menegaskan, melalui reformasi pada lembaga peradilan, Turki akan menjadi lebih demokratis dan lebih maju dalam berintegrasi ke Eropa. Sebaliknya oposisi Turki berdalih, perombakan kewenangan pengadilan hanya akan memperlemah prinsip pembagian kekuasaan.

Bagi Erdogan dan partai konservatif-Islam, AKP, hasil referendum merupakan sebuah terobosan besar. Pekan lalu ia aktif berkeliling di seluruh penjuru negeri untuk memancing dukungan bagi rencananya. Sebelum hari pemilihan Erdogan mengumumkan bahwa tahun depan ia akan berupaya mendorong amandemen baru terhadap konstiitusi negara.

Bagi musuh politiknya, Ketua Umum Partai CHP yang berhaluan Kemalismus, Kemal Kilicdaroglu, hasil referendum tersebut berupa kekalahan telak. Ia menyerukan kepada warga Turki untuk membuat semacam teguran terhadap PM Erdogan dengan menolak rencana amandemen konstitusi.

Para pemantau asing memperkirakan, konflik kekuasaan di Turki antara pemerintah dan oposisi akan tetap berlanjut. Tahun depan Turki akan menggelar pemilihan umum legislatif. Bisa dipastikan, kedua pihak yang berseteru akan saling terlibat dalam kampanye yang emosional.


Steffem Wurzel/Rizki Nugraha
Editor: Dyan Kostermanns