1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Maroko Larang Burka dan Nikab

10 Januari 2017

Pemerintah Maroko dikabarkan melarang produksi dan penjualan Burka. Semua pedagang diperintahkan untuk melenyapkan barang dagangannya dalam waktu 48 jam. Namun sejauh ini belum ada pernyataan resmi dan otoritas setempat.

https://p.dw.com/p/2VZ0j
Frauen Gesichtsschleier Burka Afghanistan
Foto: picture-alliance/dpa/A.Karimi

Pemerintah Maroko melarang produksi dan penjualan Burka untuk alasan keamanan. Media-media lokal melaporkan, peraturan yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri itu akan mulai berlaku akhir pekan ini. "Kami telah mengambil langkah untuk melarang impor, produksi dan penjualan jenis pakaian ini di seluruh negeri," kata seorang pejabat pemerintah kepada situs berita Le360.

Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari otoritas Maroko perihal larangan tersebut. Kementerian Dalam Negeri mengklaim kebijakan itu diambil menyusul "kelompok kriminal sering menggunakan jenis pakaian ini untuk melakukan aktivitasnya."

Kebanyakan perempuan di Maroko mengenakan jilbab tanpa penutup wajah. Namun pemakaian Burka dan Nikab marak di wilayah utara yang lebih konservatif dan banyak menampung komunitas Salafi. Ironisnya dari wilayah itu juga kebanyakan jihadis asal Maroko berasal.

Pada Senin (9/1) Kementerian Dalam Negeri sudah memulai "kampanye untuk meningkatkan kesadaran pedagang tentang kebijakan baru ini," terutama di Casablanca. Sementara di wilayah selatan otoritas dikabarkan telah menginstruksikan pedagang untuk melenyapkan sisa pakaian Burqa yang mereka miliki dalam waktu 48 jam.

Situs Media 24 melaporkan, perintah serupa dilayangkan kepada pedagang di kota Ouislane.

Belum jelas apakah pemerintah Maroko benar-benar mengikuti jejak Perancis dan Belgia buat melarang burka sepenuhnya di ruang publik. Yang jelas laporan media memicu perdebatan sengit di Maroko. Terutama komunitas Salafi merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. "Jika Maroko melarang Nikab yang telah dikenakan perempuan Arab selama lima abad," tulis seorang ulama Salafi lokal, Syeikh Hassan Kettani, "maka itu akan menjadi bencana."

rzn/yf (afp, albawaba)