1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

260811 Leuchtende Bakterien

Agus Setiawan7 September 2011

Keracunan darah atau sepsis sulit dilacak gejalanya dari awal. Dengan memanfaatkan zat pewarna khusus, bakteri pemicu infeksinya dapat terlihat jelas pada tahapan dini.

https://p.dw.com/p/12UQI
Bakteri Escherichia coli yang bercahaya fluoresens.Foto: picture-alliance/ZB

Keracunan darah atau sepsis, kini menjadi salah satu penyebab kematian utama di dunia. Pemicunya seringkali infeksi bakterial yang tidak mencolok, yang kemudian menyebar dengan cepat lewat sirkulasi darah. Melacak pemicu sepsis amat sulit. Kini para peneliti kedokteran mengembangkan metode terbaru, melacak secara dini bakteri penyebab keracunan darah, dengan memanfaatkan zat pewarna yang membuat bakterinya bercahaya.

Perkembangan infeksinya tidak berbeda dengan infeksi yang lazim. Mula-mula bakteri menyerang bagian kecil pada tubuh pasien. Biasanya luka bekas operasi. Setelah itu secara bertahap bakterinya menyebar ke seluruh tubuh, dan merusak jaringan atau tulang. Dalam kasus paling buruk, dapat terjadi renjatan sepsis, yakni kondisi keracunan darah yang mengancam jiwa pasien. Padahal bakteri semacam itu, sebetulnya dapat diberantas dengan obat-obatan antibiotika. Syaratnya, para dokter harus dapat mendiagnosa terjadinya infeksi bakterial. Namun diagnosanya tidak mudah, demikian ditegaskan pakar kimia Niren Murthy.

 “Kasus klasiknya, pasien datang ke dokter dengan demam tinggi. Bagi dokter amat sulit menemukan penyebab demam. Jika dokter tidak yakin bahwa bakteri sebagai pemicunya, mungkin ia tidak memberikan antibiotika“, ujar Murthy lebih lanjut

Zat Pewarna Khusus

Niren Murthy bersama tim penelitinya di Institut Teknologi Georgia di Atlanta AS, kini melakukan riset untuk dapat sedini mungkin melacak keberadaan bakteri pemicu infeksi. Dalam arti, sebelum bakterinya menyebar ke seluruh tubuh dan memicu keracunan darah. Untuk itu, tim peneliti di bawah pimpinan Murthy mengembangkan zat pewarna khusus, yang membuat bakteri dalam tubuh manusia bercahaya. Tegasnya, membuat bakterinya kelihatan. Dalam ujicoba menggunakan tikus, metode itu terbukti berfungsi dengan baik.

Murthy menambahkan;  “Kami berharap, teknologi ini dapat mendiagnosa infeksi bakterial pada tahapan dini, di saat pasien merasakan sakit ringan. Dengan itu bakterinya dapat diberantas menggunakan antibiotika, dan dapat dicegah berkembang menjadi renjatan sepsis. Selain itu para dokter mengetahui lokasi bakterinya, dan dapat mengangkatnya lewat operasi.“

Bakteri Bercahaya

EHEC Labor Symbolbild
Ujicoba laboratorium untuk melacak bakteri pemicu keracunan darah.Foto: picture alliance/dpa

Zat pewarna khusus itu komposisi utamanya adalah Maltodextrin, yang merupakan paket gabungan beragam glukosa atau gula. Inilah makanan yang digemari bakteri. Para peneliti mengkombinasikan Maltodextrin itu dengan zat pewarna yang bercahaya. Bakteri akan ikut memakan zat pewarna khusus ini. Sifat khas dari paket glukosa ini adalah, hanya bakteri yang dapat memakannya, sedangkan sel tubuh yang sehat tidak bisa. Dengan begitu zat pewarna ini relatif tidak menimbulkan dampak samping.

Niren Murthy menuturkan lebih lanjut : “Kami ambil E.coli, bakteri yang umum, menyuntikannya ke otot kaki tikus, sehingga memicu simulasi infeksi. Lalu kami menyuntikan Maltodextrin yang dibubuhi zat pewarna dan menelitinya menggunakan tomografi bagi binatang. Kami dapat melihat bakterinya dengan jelas.“

Citra tomografi menunjukan gambaran tikus berwarna kelabu, dimana pada kaki yang disuntik bakteri terlihat bercak bercahaya berwarna merah. Murthy mengatakan, dengan jelas dapat dibedakan, bahwa pada bercak bercahaya berwarna merah terdapat bakteri. Sementara di sekitarnya tetap berwarna gelap.

Metode Baru Kombinasi Antibiotika

Dengan metode serupa, juga pada manusia dapat dilacak keberadaan infeksi bakterial pada tahapan dini, ketika masih berukuran kecil. Pelacakan bakteri, amat ideal jika dilakukan menggunakan tomografi emisi positron-PET. Dengan scanner PET, dapat dibuat citra tiga dimensi seluruh tubuh, dan dokter dapat melihat citra seluruh lapisan tubuh. Untuk manusia, zat pewarnanya diganti dengan zat lainnya, yang dapat dikenali oleh scanner PET. Saat ini sedang dilakukan ujicoba pertama menggunakan PET terhadap binatang percobaan. Murthy menegaskan, setelah sukses dengan ujicoba menggunakan binatang, barulah dilakukan ujicoba pada manusia. Diharapkan dalam lima tahun mendatang, unsur pewarna khusus itu sudah dapat dipasarkan. Tim peneliti dari Institut Teknologi Georgia di Atlanta AS itu, juga sedang meneliti kemungkinan lainnya. Yakni mengkombinasikan Maltodextrin dengan antibiotika. Jika ujicobanya sukses, artinya infeksi bakterial dapat diperangi secara lebih akurat dan terarah.



Marieke Degen/Agus Setiawan

Editor : Ayu Purwaningsih