1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Melestarikan dan Memajukan Wayang

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
26 Februari 2022

Pertunjukan wayang sangat klasik dan menjadi bagian dari tradisi dan budaya berbagai masyarakat dan suku-bangsa di dunia, bukan hanya Indonesia. Kolom Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/47ND2
Membuat wayang
Tradisi wayang di IndonesiaFoto: Yovinus Guntur/DW

Wayang konon berasal dari kata "bayang" atau "ayang-ayang” (Jawa) yang kurang lebih bermakna bayangan, image, gambar, gambaran, atau imajinasi. Wayang memang sebuah bayangan, gambaran, imajinasi, perlambang, atau simbol atas lika-liku kehidupan nyata umat manusia yang sangat warna-warni. Karakter tokoh-tokoh wayang yang beraneka ragam (keras-lunak, pendendam-pemaaf, pemarah-penyabar, licik-jujur, beringas-sopan, dlsb) merupakan gambaran atau perlambang  karakter manusia di dunia nyata.

Karakter wayang yang saya sukai adalah Ontoseno atau Antasena (salah satu putra Bimasena) yang mendapat julukan "Ksatria edan sakti mandraguna" ("ksatria gila tetapi sakti tanpa tanding”). Ia adalah sosok yang ceplas-ceplos, ngomongnya ngoko (bahasa Jawa kasar) tidak bisa bahasa Jawa halus (kerama inggil) seperti saudara-saudaranya (Gatutkaca dan Ontorejo). Tetapi ia memiliki pribadi dan jiwa yang kuat, jujur, ksatria, sakti, dan pemberani membela kebenaran dan melawan keangkaramurkaan siapapun pelakunya.

Wayang di Mancanegara

Pertunjukan wayang ini sudah sangat klasik dan menjadi bagian dari tradisi dan budaya berbagai masyarakat dan suku-bangsa di dunia, bukan hanya Indonesia. Selain Indonesia, negara-negara yang cukup akrab dengan dunia seni pertunjukan wayang adalah India, Cina, Mesir, Turki, Nepal, Kamboja, Thailand, Perancis, Yunani, dlsb. Di Yunani, seni wayang ini disebut karagiozis, sedangkan di Turki disebut karagoz dan hacivat atau hacivad. Seni pertunjukan wayang di Turki dipopulerkan oleh rezim Dinasti Turki Usmani (Ottoman), yang didirikan oleh Usman Gazi di akhir abad ke-13 M.

Pemerintah Turki Usmani dulu menggunakan seni pertunjukkan wayang di seluruh kekuasaannya, termasuk kawasan Timur Tengah dan Yunani. Para elit Muslim rezim Turki Usmani menggunakan wayang sebagai medium untuk mengsosialisasikan program-program pemerintah maupun alat komunikasi dan berinteraksi dengan warga, selain sebagai "hiburan rakyat" tentunya. Sosok "karagoz" melambangkan "kelas bawah"("wong cilik") sedangkan "hacivat" menggambarkan "kelas atas" dan "golongan terdidik" ("wong gede"). Dalam konteks seni wayang kulit Indonesia, sosok "karagoz” ini seperti rombongan "punakawan”, sementara karakter "hacivat” seperti para kesatria dari Amarta atau Alengka. 

Karena Mesir dulu pernah menjadi daerah kekuasaan Turki Usmani, seni wayang pun ikut-ikutan populer di negeri Piramida ini. Di Mesir, sosok atau karakter "karagoz” disebut "aragoz” yang masih dimainkan hingga kini. Aragoz, yang selalu mengenakan topi khas warna merah (disebut "tartour”), merupakan lambang rakyat kecil dan selalu melontarkan kritik-kritik sosial yang cerdas dan bernas dengan gaya banyolan ala Abu Nawas di Abad Pertengahan Islam.

Turki Usmani bukan satu-satunya agen yang memperkenalkan seni wayang di Mesir. Dinasti Fatimiyah, di abad ke-10 M, dikabarkan juga memperkenalkan seni wayang. Bahkan sebagian sumber menyebut seni wayang sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Muhammad Ibnu Daniel al-Mousilli di abad ke-13 M, pernah menulis dan mendokumentasikan sejarah seni pertunjukan wayang di Mesir dan Timur Tengah pada umumnya dalam sejumlah kitabnya seperti Taif al-Khayal, Ajib wa Gharib, dan al-Moutayyam. Untuk melestarikan seni wayang ini, pemerintah Mesir bahkan sampai mengirim sejumlah seniman untuk belajar seni pertunjukan wayang di berbagai negara. Di antara mereka adalah Salah Al-Saqa, Ibrahim Salem, Mustafa Kamal, Ahmad Al-Matini, Kariman Fahmi, dlsb.

Jenis dan Asal-Usul Wayang di Indonesia

Jika di Mesir jenis wayang yang populer adalah wayang golek (terbuat dari kayu), di Indonesia ada cukup banyak jenis wayang, baik yang populer maupun bukan. Selain wayang golek, ada wayang kulit, wayang klitik, wayang orang, wayang potehi (yang ini berasal dari Tiongkok), wayang suket (wayang ini dipopulerkan oleh almarhum Ki Slamet Gundono), wayang menak, wayang cupak, wayang gedog/wayang topeng, wayang beber, wayang sadat, wayang wahyu, dlsb.

Dari sekian banyak jenis wayang tersebut, tiga di antaranya, yaitu wayang kulit, wayang golek, dan wayang klitik mendapat predikat sebagai "Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Predikat ini diberikan oleh UNESCO pada tahun 2003. Dengan anugerah atau predikat ini, UNESCO memberi "mandat” pada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bersama-sama memelihara, melestarikan, dan bahkan mengembangkan dan memajukan tradisi dan seni adiluhung ini.

Ada sejumlah pendapat tentang asal-usul wayang di Indonesia, khususnya untuk jenis wayang kulit. Ada yang menyebut dipengaruhi oleh kebudayaan India tetapi ada pula yang mengatakan bahwa seni wayang kulit ini merupakan bagian dari "local genius” leluhur Nusantara, khususnya Jawa (pendapat ini dikemukakan oleh beberapa sejarawan Belanda seperti Hazeu dan Brandes). 

Dari manapun asal mulanya, pertunjukan seni wayang sudah cukup tua di Nusantara. Misalnya, sekitar abad 9 M, ditemukan Inskripsi Jaha, dikeluarkan oleh Maharaja Sri Lokapala dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah, yang menyebutkan tentang sejumlah pertunjukan seni, termasuk perwayangan. Kemudian pada abad ke-10 M ditemukan sebuah inskripsi "Si Galigi Mawayang" yang berarti "Tuan Galigi Bermain Wayang”.

Sudah tentu, khususnya dalam seni wayang kulit, kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana ala India menjadi salah satu tema populer dalam seni perwayangan di Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya, sumber inspirasi pertunjukkan seni wayang itu sangat kaya dan beraneka ragam, bukan hanya dipengaruhi oleh cerita-cerita ala Hindu India saja tetapi juga dari sumber-sumber lain, misalnya, Serat Menak, sejarah keislaman, dan kisah-kisah kehidupan manusia sehari-hari. Tokoh-tokoh wayang pun beraneka ragam dan banyak yang berciri khas lokal Nusantara.

Serat Menak (tidak jelas siapa penulisnya dan kapan terbitnya tetapi populer di Jawa dan Lombok) adalah sebuah karya sastra fiksi agung yang konon diinspirasi oleh karya sastra Melayu, Hikayat Amir Hamzah yang merupakan terjemahan dari sebuah karya sastra yang ditulis di zaman Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809) di abad ke-8/9 M.

Yang dimaksud dengan Amir Hamzah (atau Raja Hamzah) dalam Serat Menak dan Hikayat Amir Hamzah adalah Hamzah bin Abdul Muttalib (w. 625), salah seorang paman Nabi Muhammad (w. 632) yang gagah perkasa dalam membela dan menyebarkan Islam di abad ke-7 M. Dari cerita Serat Menak inilah kemudian lahir sejumlah jenis wayang seperti wayang golek menak atau wayang orang menak, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang isi atau alur ceritanya menggambarkan lika-liku dakwah Islam dan perjuangan menegakkan masyarakat bermoral seperti yang dilakukan oleh "Amir Hamzah”.

Wayang Bukan Hanya Sebagai Tontonan Tapi Juga Tuntunan

Karena wayang dianggap sebagai tradisi positif serta medium yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral ke masyarakat, maka para ulama dan Walisongo dulu, elit Muslim Turki Usmani, raja-raja Islam Jawa, dlsb ikut mempraktekkan dan memopulerkan seni wayang ini. Dengan kata lain, oleh mereka, wayang bukan hanya sebagai "tontonan” atau hiburan masyarakat saja tetapi juga "tuntunan” atau pedoman hidup agar masyarakat menjadi lebih baik, mulia, bermoral, dan bermartabat.

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jawa Tengah)
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Saya sendiri adalah penggemar berat wayang, khususnya wayang kulit. Saya juga suka dengan wayang golek. Beberapa dalang favorit saya adalah Ki Nartosabdo, Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadi Prayitno, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Sugino Siswocarito, dan Ki Seno Nugroho. Untuk wayang golek, Ki Asep Sunarya (Jawa Barat) dan Ki Rohim (Jawa Tengah) adalah "dalang idola” saya. Sayang, sebagain besar dalang senior dan sepuh yang piawai sudah almarhum. Dalang piawai yang masih tergolong muda seperti Ki Seno Nugroho dan Ki Enthus Susmono juga sudah meninggal. Meskipun begitu saya melihat di YouTube ada sejumlah dalang muda yang sangat berbakat seperti Ki MPP Bayu Aji Pamungkas (putra Ki Anom Suroto) atau Ki Sigit Ariyanto. Ada lagi sejumlah "dalang cilik” seperti Ki Yusuf Ansari. Ini tentu cukup menggembirakan.

Islam, Seni, dan Budaya

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan kalau Islam hadir bukan untuk "mengislamankan tradisi dan budaya lokal" tetapi untuk "memberi nilai" atas tradisi dan budaya setempat itu agar tidak melenceng dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman dan kesusilaan.

Jika tradisi dan budaya lokal itu sudah sangat baik, positif, bernilai, dan bermoral, serta bermanfaat untuk masyarakat banyak, maka Islam tidak mempermasalahkannya, dan bahkan turut memelihara dan menyerapnya karena memang "sudah Islami". Itulah yang dilakukan oleh Walisongo, para ulama NU, dan tokoh-tokoh muslim lainnya di Nusantara, dulu maupun kini. Mereka tidak mempermasalahkan wayang karena dianggap sebagai tradisi positif.

Gus Dur bahkan salah satu tokoh muslim yang menjadi penggemar berat wayang dan sering menonton wayang maupun menanggap dalang-dalang legendaris. Bagi saya, wayang bukan hanya penting untuk dilestarikan tetapi juga penting untuk dikembangbiakkan sebagai sarana tontonan yang menghibur dan medium tuntunan yang bermanfaat. 

Kalau wayang diharamkan karena dianggap sebagai warisan sejarah dan tradisi/budaya pra-Islam, bukankah banyak sekali apa yang umat Islam kini "klaim" sebagai "ajaran, tradisi, atau budaya Islam" itu sebetulnya dan sesungguhnya berasal dari tradisi dan kebudayaan pra-Islam seperti dari tradisi/budaya Yahudi, Persi, Arab, Nabatea, dlsb?

Beragama, termasuk berislam, tidak cukup hanya dengan berbekal dalil teks ini-itu (ayat, hadis, qaul/perkataan ulama) tetapi juga perlu bekal wawasan sosial-kesejarahan, ilmu pengetahuan, serta kedewasaan berpikir agar lebih arif dan bijak dalam menyikapi pluralitas dan kompleksitas femonena sosial yang terjadi di masyarakat.

 

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Pengda Jawa Tengah)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.