1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

090611 Blinde Echolot

28 Juni 2011

Kemampuan pelacakan pantulan suara atau Echolot, membuat banyak tunanetra dapat menentukan jarak, posisi serta arah di lingkungan sekitarnya.

https://p.dw.com/p/11kjf
Indera pendengaran dapat dilatih untuk 'melihat'Foto: DW

Binatang seperti lumba-lumba atau kelelawar, sejak lama diketahui memiliki kemampuan menentukan orientasi arah dan situasi lingkungannya dengan bantuan Echolot. Caranya, binatang ini mengirimkan gelombang suara, yang pantulannya menunjukkan, apakah di depan terdapat obyek atau halangan tertentu.

Dengan itu, lumba-lumba dan kelelawar dapat melacak posisi mangsanya, menghindari rintangan serta dapat menentukan arah dalam situasi nyaris tanpa cahaya. Manusia penderita cacat netra juga memiliki kemampuan menentukan orientasi lewat pantulan suara. Jadi ibaratnya penderita cacat netra melihat sistuasi sekitar dengan telinganya.

Berorentasi lewat Pantulan

Sebuah tim peneliti dari Kanada belum lama ini melaporkan hasil risetnya, mengenai fenomena pelacakan pantulan suara untuk orientasi, di kalangan penderita cacat netra ini. Dengan bantuan beragam bunyi yang diciptakan sendiri serta penafsiran pantulannya, para penderita cacat netra menciptakan alat bantu untuk orientasi mobilitasnya.

Tim peneliti pimpinan Prof. Mel Googale, terdiri atas tiga orang ilmuwan dari Universitas West Ontario, Kanada, ini melakukan riset untuk mengenali kemampuan pelacakan pantulan suara sebagai alat bantu orientasi di kalangan penderita cacat netra ini.

Salah seorang peneliti tim ini, Lore Thaler yang lahir di Jerman, menggambarkan sasaran penelitiannya, "Point utama riset kami adalah mengukur aktivitas otak. Para responden membuat suara jentikan, dan kami memasang mikrofon kecil di telinga mereka. Dengan itu suara jentikan dan pantulannya direkam. Kami memanfaatkan tomografi dan memperdengarkan rekamannya kepada responden. Pada saat bersamaan kami mengukur aktivitas otak."

Riset Ilmiah

Penelitian kemampuan manusia untuk berorientasi lewat pantulan suara sudah dilakukan sejak tahun 1940-an. Akan tetapi, risetnya tidak dilakukan secara sistematis. Karena itulah, Lore Thaler dan tim penelitinya kini melakukan riset berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah.

"Kami membandingkan dua jenis rekaman. Pada rekaman pertama ada pantulan suaranya, dan pada yang lainnya pantulan suaranya dipotong. Jika kami membandingkan aktivitas otak, antara rekaman dengan dan tanpa pantulan suara, kami juga dapat mengukur aktivitas di kawasan visual pada otak, tapi tidak pada kawasan otak auditif," dijelaskan Lore Thaler.

Jika responden mendengar pantulan suaranya, dengan segera jaringan otak untuk fungsi melihat diaktifkan. Ini adalah kawasan otak, di mana pada orang yang bisa melihat, dilakukan pengolahan citra dari informasi yang dikirimkan mata. Namun hal itu merupakan salah satu hasil riset, yang juga melibatkan beragam frekuensi. Beragam material dan permukaan yang berbeda-beda, mengirimkan frekuensi yang berbeda-beda pula, di mana penderita cacat netra dapat mengenalinya lewat pantulan suaranya.

Melatih Kemampuan

Kemampuan ini, juga dapat dilatih oleh orang yang dapat melihat, karena persyaratannya dimiliki semua orang. Dikatkan Lore Thaler, "Jika kita memasuki sebuah ruangan dan menutup mata, serta bergerak di dalam ruangan, kebanyakan memiliki kesan cukup bagus, mengenai seberapa besar ruangannya. Ini sebetulnya merupakan sejenis pengindraan dasar menyangkut besarnya sebuah ruangan lewat pantulan suara."

Dengan penelitiannya itu, para ilmuwan dari Kanada hendak menyingkrikan keraguan para periset lainnya, menyangkut kemampuan Echolot pada manusia. Sebab kalangan peneliti yang skeptis melihat kurangnya bukti ilmiah menyangkut tema ini. Lore Thaler ingin memberikan bukti ilmiahnya lewat penelitian pengukuran aktivitas otak.

Selain itu, tim periset dari Kanada itu hendak mengembangkan metode pendidikan, agar penderita cacat netra dan juga orang yang bisa melihat, memiliki kemungkinan mempelajari kemampuan Echolot ini.

Gudrun Heise/Agus Setiawan

Editor: Carissa Paramita