1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Purnawirawan dan Obsesi Kekuasaan

20 Februari 2018

Bagaimana orang bisa demikian terobsesi pada kekuasaan, adalah misteri tersendiri. Lihat bagaimana kaitannya dengan pemilu di tanah air. Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2sRxj
Wahlkampfveranstaltung des indonesischen Präsidentschaftskandidaten Prabowo Subianto
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images

Tahun 2018 dan tahun 2019 memperoleh julukan yang sangat khas, yakni sebagai tahun politik. Artinya sepanjang dua tahun itu publik di Tanah Air akan disuguhkan teater memperebutkan kekuasaan, salah satu hasrat manusia paling dasar. Bagaimana orang bisa demikian terobsesi pada kekuasaan, adalah misteri tersendiri. Sementara bagi pihak yang tidak terlalu tertarik pada kekuasaan, termasuk saya sendiri, agar bersiap-siap dihinggapi rasa bosan menghadapi berita terkait pilkada serentak tahun ini dan pilpres (pemilihan presiden) tahun depan.

Salah satu komunitas yang senantiasa berminat pada kekuasaan adalah komunitas purnawirawan, baik dari TNI maupun Polri. Mengikuti pilkada hanyalah salah satu cara untuk memenuhi aspirasi kekuasaan, tentu hasilnya tidak selalu sesuai harapan, karena bisa saja gagal meraih kemenangan. Cara lainnya adalah bergabung dengan partai, yang biasanya memberikan kemudahan pada purnawirawan pati untuk masuk jajaran elite partai, seperti kasus Letjen TNI (Purn) Lodewijk F Paulus yang baru saja ditetapkan sebagai Sekjen Partai Golkar.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis; Aris Santoso Foto: privat

Kompetensi purnawirawan

Untuk memahami perilaku purnawirawan, terkait dengan wacana kekuasaan, kita bisa belajar dari pengalaman tiga tokoh terdahulu, masing-masing adalah Mayjen TNI Purn. Soehardiman, Mayjen TNI Purn. Herman Sarens Sudiro  dan Brigjen TNI Purn. Ibrahim Saleh. Tentu daftar nama ini, masih bisa diperpanjang lagi, namun sebagai jendela memahami perilaku purnawirawan pada umumnya, kiranya tiga nama tersebut sudahlah cukup.

Soehardiman dan Herman Sarens adalah tipe purnawirawan yang selalu gelisah, seolah ada obsesi atau target pribadi masa lalu, yang tidak sempat tercapai. Ketika masa pensiun tiba, mereka masih berusaha menggapai impian lama, sementara sumber daya dan stamina kian terbatas. Soehardiman sampai menjelang ajalnya masih berusaha memegang kendali SOKSI, meski generasi kepemimpinan yang lebih baru sudah muncul. SOKSI adalah pertaruhan bagi Soehardiman, mengingat dia memperoleh pangkat jenderal (bintang satu dan dua), dalam posisi sebagai Ketua Umum SOKSI. Sungguh fenomena aneh, bagaimana penjelasan logisnya, perwira yang sudah tidak masuk struktur Mabes TNI (d/h ABRI), tetap bisa dipromosikan sebagai pati.

Herman Sarens kurang lebih sama. Karier Herman Sarens terpaksa berhenti di tengah jalan. Herman harus pensiun dini, sehubungan dengan Peristiwa Malari (1974). Herman Sarens terlihat kurang siap (secara mental) memasuki masa pensiun. Dalam berbagai kesempatan dia setengah memaksa, semisal lewat atribut, agar publik paham kalau dia mantan jenderal. Purnawirawan  model Herman Sarens ini cukup banyak jumlahnya.

Ibrahim Saleh (Akmil Jurtek 1960), adalah model yang sedikit berbeda, maksudnya terkesan "ekstrem” dibanding Herman Sarens dan Soehardiman. Sekadar mengingatkan, Brigjen Ibrahim Saleh adalah anggota DPR yang melakukan interupsi saat SU MPR 1988, yang menjadi penyebab kariernya kandas. Sosoknya sering muncul bila ada aksi unjuk rasa di DPR atau di jalan-jalan protokol Jakarta. Hanya penampilannya yang sedikit aneh, untuk ukuran seorang mantan jenderal. Bila berpergian, Ibrahim Saleh sering hanya beralaskan sendal jepit dengan menenteng tas kain lusuh.

Pembelajaran yang bisa kita petik adalah, status purnawirawan jenderal tidak bisa lagi diandalkan dalam merebut simpati atau pengakuan publik, terlebih dalam menghadapi generasi milenial atau "generasi zaman now”. Di masa lalu, status purnawirawan jenderal ibarat "cek kosong” yang bisa dibubuhi jabatan atau posisi apa pun. Namun di masa milennium, status saja tidaklah cukup, harus ditambah kompetensi lain yang lebih teknis.

Bagi purnawirawan yang memiliki kompetensi, rezim Jokowi telah menyediakan regulasi untuk terus berkarya, melalui UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN (aparatur sipil negara), kemudian dilanjutkan dengan terbitnya PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS. Dua regulasi ini bisa dibaca sebagai cara pemerintah, memberi ruang pada purnawirawan yang memiliki kemampuan khusus, semisal di bidang sandi negara, intelijen, SAR (search and rescue), dan seterusnya. Bangsa ini justru merugi bila tidak memanfaatkan kompetensi mereka, mengingat  kemampuan itu sebagian diperoleh lewat  pendidikan di mancanegara.

Baca juga:

Fenomena KPLB dan Visi Generasi Baru TNI

Merosotnya Citra Generasi 45

Karakter lebih utama

Sekitar sepuluh tahun lalu pernah terbit memoar yang sangat menarik, yaitu catatan dari para alumnus KIM (Koninklijk Instituut voor de Marine, setingkat AAL), Den Helder, Belanda. Memoar dengan tajuk Dan Toch Maar (Kompas, 2009) menarasikan bagaimana perjalanan karier sekitar 82 taruna asal Indonesia, yang dikirim ke KIM antara 1950-1953, termasuk pahit-manisnya saat  berdinas di ABRI, khususnya TNI AL. Dan Toch Maar sendiri arti harfiahnya adalah: maju terus, apa boleh buat.

Secara singkat bisa disebutkan, setidaknya ada dua peristiwa yang kurang nyaman bagi generasi KIM ini. Pertama adalah kegagalan  dalam mencapai posisi KSAL. Kedua, keterlibatan sebagian lulusan KIM, dalam gerakan perwira muda, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Perwira Progesif Revolusioner (GPPR, 1964-1965).

Sampai masa dinas mereka berakhir, memang tidak ada satu pun (empat angkatan) lulusan KIM yang menjadi KSAL. Pangkat paling tinggi yang mereka capai adalah bintang tiga, atas nama Laksdya Teddy Asikin Natanegara (mantan Deputi KSAL, KIM 1951) dan Letjen Mar Kahpi Suriadireja (mantan Danjen Korps Marinir dan Pangkowilhan IV, KIM 1952 ).

Kemudian bagi eksponen KIM yang dianggap terlibat GPPR, memperoleh "sanksi” berupa pensiun dini, dan  harus keluar dari jajaran ALRI. Presiden Soekarno sendiri yang turun tangan langsung untuk mengatasi kemelut ini. Eksponen KIM  dianggap sebagai kader-kader yang baik, mereka adalah perwira (muda) yang terlatih, karenanya pemerintah tidak mau kehilangan potensi mereka. Sesuai dengan keahliannya, mereka kemudian disalurkan pada institusi sipil seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Merpati Nusantara, Pelita Air Service, dan seterusnya.

Satu hal yang penting dicatat adalah, bagaimana generasi ini  sanggup menuliskan peristiwa pahit itu secara datar, tanpa emosi berlebihan. Sikap mereka yang realistis dan terkesan dingin, bisa jadi merupakan jejak pembentukan karakter saat di Den Helder (kampus KIM) dulu, bagaimana mereka dibentuk menjadi perwira yang memiliki integritas dan harga diri.

Proses pembentukan karakter di KIM,  tidak diajarkan secara khusus dalam kelas, namun dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari, sejak hari-hari pertama saat pekan orientasi (pelonco), hingga tiba saat meninggalkan kampus Den Helder. Seolah semuanya berjalan secara alamiah, tidak ada unsur paksaan. Secara universal, yang lebih diutamakan dalam pendidikan sekolah perwira, adalah pembentukan karakter para siswanya. Sebagaimana  semboyan KIM: Kennis is macht, karakter is meer (Ilmu adalah kekuasaan, Karakter yang terutama).

Dari purnawirawan ke relawan

Pembelajaran yang bisa dipetik adalah, bahwa karakter menjadi sangat dibutuhkan  ketika menghadapi situasi  sulit, bukan dalam kondisi normal. Seperti pengalaman eksponen KIM yang terlibat d GPPR,  terpaksa harus pensiun dini ketika masih level perwira pertama (letnan sampai kapten). Bila pensiun dini memang sesuai kehendak perwira bersangkutan, itu adalah soal lain, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Letjen (Purn) Edy Rahmayadi (Akmil 1985), atau sebelumnya Kol Inf (Purn) Poniman Dasuki (Akmil 1975, Kopassus), sehubungan rencana Poniman bergabung pada korporasi besar (PT Jababeka).

Dihubungkan dengan situasi politik di Tanah Air hari ini, karakter purnawirawan diuji seandainya mereka gagal dalam kontestasi pilkada. Bagaimana mereka siap secara mental menerima kekalahan. Karena sudah umum terjadi, figur purnawirawan kalah dalam pilkada, bahkan figur sekelas Agum Gumelar pun bisa kalah dalam pilkada.

Karakter ini pulalah yang membedakan antara relawan yang berlatar belakang purnawirawan dengan kalangan sipil. Benar, menjadi relawan – utamanya bagi capres --  adalah cara lain  yang bisa ditempuh para purnawirawan untuk tetap memiliki akses pada kekuasaan. Selain itu, menjadi relawan adalah cara instan dalam meraih kekuasaan, jika capres yang didukungnya menang. Dalam pemerintahan Jokowi sekarang, purnawirawan seperti Hendro Priyono atau Luhut Pandjaitan, pada mulanya juga menyebut dirinya sebagai tim sukses, yang maknanya kurang lebih sama dengan relawan.

Adapun elemen relawan lain berasal dari kelompok sipil atau aktivis CSO (civil society organization). Pada titik ini relawan yang berlatar belakang purnawirawan perlu menunjukkan jati dirinya, apakah secara etika mampu  berada di atas  perilaku relawan dari kelompok sipil pada umumnya, yang secara kasatmata  memiliki pamrih, dengan cara menanti balas jasa dari penguasa. Singkatnya, bila relawan (asal purnawirawan) tidak berharap imbalan atas jerih payah mereka dulu, bukan karena  basis ekonomi memang sudah kuat, namun secara  karakter atau etika memang melarang tindakan seperti itu.

Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.