1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memahami Peradaban Indonesia Lewat Film

Andibachtiar Yusuf19 September 2016

Menyimak film-film tempo doeloe membawa kita berimajinasi bagaimana peradaban bangsa kita saat itu. Jika melihat kualitas film sekarang, bagaimana generasi mendatang memandang peradaban kini? Opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/1K0Pj
Tiga Dara Film

“Film adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tersebut,” demikian ujar Usmar Ismail. Sosok yang kerap disebut sebagai ‘Bapak Perfilman Nasional' itu membuktikannya sendiri lewat hampir semua karyanya. Beliau yang berkarya pada kurun waktu 1949-1964 membuktikannya di nyaris semua karyanya, beberapa yang pernah saya tonton adalah Enam Djam di Djogja (1951), Tamu Agung (1955), Lewat Djam Malam (1954) dan Tiga Dara (1956).

Lewat Djam Malam secara lugas tak hanya menggambarkan situasi politis saat itu, tetapi juga bagaimana pola kehidupan remaja Indonesia atau tepatnya Jakarta di tahun-tahun itu. Bagaimana dansa-dansi adalah hal lumrah dan setelan suit adalah sesuatu yang biasa.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Foto: Andibachtiar Yusuf

Pola pergaulan pun tak jauh berbeda dengan saat ini, hanya medium yang digunakan yang berbeda. Juga di Tiga Dara yang juga direstorasi dan sedang ditayangkan di tanah air, jelas menggambarkan bahwa pada dasarnya generasi muda relatif melakukan hal yang sama.

Kedua film tadi membuat saya dan siapapun yang menontonnya mampu memahami Indonesia atau setidaknya Jakarta di saat itu. Bahwa kawasan Cilincing pernah menjadi tempat plesiran yang menarik karena dipenuhi pohon kelapa dan pantai yang indah. Jalanan kawasan Mahakam yang lebar dan luas, pada masanya lenggang serta adalah tempat bermain yang cocok untuk anak-anak.

Lewat film Tamu Agung saya pun memahami bahwa tak ada yang berubah dari bangsa kita yang selalu mudah dibuai oleh seseorang hanya karena tampilan luarnya.

Semua film di era Usmar dan kemudian di era 1970-an ketika sutradara-sutradara lebih muda muncul selalu menggambarkan keadaan di masa itu. Indonesia yang berubah, tak lagi seperti di masa 1950-an saat identitas kita sangat jelas sekali jika melihat di kota besar.

Kebiasaan memakai setelan bahkan pada situasi tak resmi sudah tidak ada lagi di film-film 1970-an sampai 1980-an. Kedua era itu dipenuhi oleh berbagai genre yang membuat penontonnya bisa melakukan aneka pilihan. Mulai dari film-film Rhoma Irama yang menasbihkan dangdut sebagai music of my country, sampai karya-karya terbaik dari Teguh Karya.

Saya mengenang masa kanak-kanak di tahun itu sebagai saat ketika selera dangdut terlihat jelas di bioskop-bioskop kita. Banyolan slapstick khas Les Charlots yang diterjemahkan secara Indonesia oleh trio Warkop kemudian Bagito, Sersan Prambors dan seterusnya, praktis adalah gambaran seperti apa selera komedi kita saat itu.

Melihat sebuah bangsa yang termudah praktis adalah dengan melihat rekaman visualnya, dan sinema selalu memiliki kemewahan itu.

Sampai ketika perfilman kita disebut mati suri… apakah mati?

Tercatat per tahunnya di dekade 1990-an ada sekitar 35-80 film dirilis yang praktis lebih banyak dibandingkan dekade awal 2000-2010. Nyaris semuanya memang bertema seks, tapi mungkin memang seperti itulah situasi bangsa kita di masa itu.

Situasi ketika mendadak tak ada lagi film lain dibuat selain dengan genre drama seks. Entah dengan pendekatan komedik ala Gloria Guida atau Edwidge Fenech di tahun 1970-an atau malah yang serius seperti Sylvia Kristel di 1980-an. Yang pasti sinema Indonesia saat itu dipenuhi oleh kisah-kisah seksual. Bisa jadi memang.

Harapan baru bagi Indonesia?

Banyak orang menyebut tahun-tahun ini adalah era baru sinema Indonesia. Lahirnya sutradara-sutradara baru serta citarasa sinemanya yang praktis lebih modern dan sangat teknis membuat film Indonesia masa kini disebut punya pengharapan baru. Apalagi teknologi digital membuat semakin banyak anak muda muncul dan melahirkan film-film mereka.

Seperti apa Indonesia masa kini digambarkan dengan jelas di film-film kita sekarang. Saya sering bertanya-tanya, seperti apakah generasi mendatang misalnya di tahun 2076 memahami Indonesia lewat sinema.

Apakah mereka akan coba memahaminya lewat Laskar Pelangi, Pintu Terlarang, Pocong Kesurupan, 99 Cahaya di Langit Eropa ataukah malah lewat Opera Jawa atau malah Babi Ngepet Jatuh Cinta. Saya rasa menarik untuk menantikannya.

Penulis:

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveler

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.