1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membuka Tabir Gelap Sejarah Kita

29 September 2015

Tentang noda hitam dalam sejarah kemanusiaan Indonesia. Tanggapan terhadap esai Taufiq Ismail: Presiden Mau Minta Maaf kepada PKI? (Republika, 12 Agustus 2015). Oleh Arif Saifudin Yudistira.

https://p.dw.com/p/1GYvf
Bildergalerie 50 Jahre Massenmord an Mitgliedern und Sympathisanten der Kommunistischen Partei Indonesiens
Foto: picture-alliance/CPA Media Co. Ltd

Sebagai seorang anak muda yang resah, sekaligus guru yang ada di sekolah dasar, saya merasa sejarah begitu penting. Tidak hanya karena sejarah bisa membuka mata kita untuk tak buta melihat apa yang ada dimasa sekarang, tetapi juga melihat pelajaran dari masa lampau. Tetapi sejarah punya misi lain yang lebih penting yakni: kebenaran. Dalam agama apapun nilai-nilai kebenaran menjadi sesuatu yang wajib untuk diperjuangkan. Apalagi di negara yang notabene percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentu usaha dan perjuangan menegakkan kebenaran menjadi penting, apalagi kebenaran sejarah.

Bagi saya generasi 90-an, informasi dan kebenaran sejarah yang diterima tak lain bersumber dari sekolah dan juga guru-guru kita. Generasi saya adalah generasi yang mengunyah buku-buku terbitan orde baru yang dicap “milik negara tidak diperdagangkan”. Di buku itu jelas tertera, PKI adalah biadab, bengis, kejam , bahkan atheis. Buku-buku itu didukung oleh keterangan guru-guru di waktu itu bahwa PKI layak untuk dilenyapkan, Soeharto adalah pahlawan karena telah menumpas komunisme. Pemahaman saya tentang kebenaran seperti itu mendekam dan menghantui pikiran saya sejak dahulu sampai sekarang, bahkan sampai kuliah.

Saya beruntung di masa kuliah menemukan buku-buku yang membuka mata batin saya untuk tak melulu menerima kebenaran sejarah bahwa PKI adalah kejam, bengis dan layak dimusnahkan. Pemahaman saya mulai berubah tatkala membaca buku Kemunculan Komunisme di Indonesia karya Ruth McVey. Di buku itu dijelaskan bahwa gerakan PKI muncul tak serta merta dan tiba-tiba. Ia muncul akibat keresahan dan kegelisahan intelektual pribumi dimasa itu yang tak sepakat lagi dengan pecahnya SI putih dan SI merah. Pecahnya SI kemudian mendorong kaum islam radikal bergabung dengan PKI. PKI pun berkembang dengan pesat karena ideologinya yang bernafaskan kaum kromo. Kaum islam tak sepenuhnya menghindar, bahkan di Solo Haji Misbach ikut serta memberikan keterangan bahwa “islam yang tak sepakat komunis berarti islam yang tak sejati”.

Indonesien, Arif Saifudin Yudistira
Arif Saifudin YudistiraFoto: Privat

Fakta dan data sejarah versi penguasa

Pemahaman saya pun berlanjut tatkala menemukan fakta menarik di buku Olle Tornquist yang menulis buku Mencari Kiri di Indonesia. Di buku itu, saya melihat ada semacam kepeloporan dalam melawan kolonialisme di masa itu. Begitupun ketika kita membaca buku yang lainnya yang di masa orde baru jelas dilarang untuk beredar. Maka kita tak perlu terhenyak tatkala menyaksikan dua film yang membuat dunia internasional tertarik untuk membuka tabir gelap sejarah kita yakni film Senyap dan film Jagal karya Joshua Oppenheimer.

Tetapi apalah arti buku-buku itu, ketika dominasi pengetahuan melalui tangan negara justru lebih kuat daripada buku-buku yang waktu itu dilarang dan dihancurkan?. Buku-buku itu seperti angin lalu, kita seperti terlanjur menerima fakta dan data sejarah versi penguasa. Kita tak heran ketika Wijaya Herlambang menulis disertasi bagus yang mengisahkan tentang bagaimana Suharto mencipta sejarawan Nugroho Notosusanto dengan membuat buku pertama versi pemerintah yang membenarkan tindakan Suharto menumpas komunis. Meski kita tahu, waktu itu sudah ada dokumen dari Amerika hendak dibocorkan, tetapi ditutup-tutupi oleh Suharto. Meski ditutup-tutupi, dokumen itu justru terlanjur menjadi pemberitaan di luar negeri. Suharto pun tak kurang akal, ia pun segera menutupi dengan membentuk lembaga-lembaga kebudayaan dan kesenian untuk menutupi sejarah yang memilukan sepanjang masa ini.

Saya cukup terhenyak dan kaget ketika membaca tulisan Taufiq Ismail di harian Republika (12/8/15). Di tulisan bertajuk Presiden Mau Minta Maaf kepada PKI? , Taufiq seperti menunjukkan kemarahannya, nampak sekali di tulisan itu berusaha menegaskan kembali bahwa PKI dipandang sebagai biadab, bengis dan kejam. Bila Taufiq ismail menggunakan teori sebab akibat sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku sejarah yang ada , Taufiq mengutip buku (Lubang-lubang pembantaian –petualangan PKI di Madiun, Tim Jawa Pos : Maksum, Agus sunyoto,A Zainuddin, Grafiti, 1990) yang menilai bahwa selama ini KGB dinilai menggunakan taktik melegitimasi dan melupakan pemberontakan PKI di Madiun. Mengenai peristiwa Madiun, kita bisa menengok versi sejarah yang lain di buku Teror Orde baru(2013) yang ditulis oleh Julie Soulthwood –Patrick Flanagan). Di buku itu penulis menerangkan bahwa gerakan penghancuran komunisme di asia tenggara memang merupakan gerakan yang di setting Amerika serikat dengan dukungan biaya yang cukup besar. Hal ini dilakukan tak lain karena komunisme dianggap berbahaya bagi keberlangsungan dan dominasi perekonomian dan eksploitasi kekayaan alam di Indonesia.

Teror Orde Baru

Kembali kepada teori sebab-akibat yang diajukan oleh Taufiq Ismail, mestinya kita melihat faktor ini atau faktor kolonialisme yang memunculkan gerakan komunisme di negeri ini. Motif munculnya komunisme di masa itu adalah urusan kolonialisme. Tetapi mengapa saat ini komunisme menjadi hantu yang layak dibasmi dan dimusnahkan?. Bahkan Profesor Wertheim mengatakan bahwa

yang disebut dengan pemberontakan Madiun di Jawa timur … sedikit banyak dipicu oleh unsure-unsur anti komunis. Utrecht pun menulis “ Tidak ada bukti bahwa jatuhnya pemberontakan (bulan September di Madiun) tanpa mengikuti rencana resmi PKI. Soerjono mengemukakan pendapatnya secara lebih halus Tidak lama setelah mengutip pernyataan Hatta pada 19 september 1948 Soerjono menyatakan : Sejak saat itu hysteria komunisfobia dikobarkan dengan dalih “pemberontakan PKI” atau “kebiadaban PKI”. Namun, sejak saat itu hingga kini ceritanya selalu sama. Tak seorang pun pernah diajukan ke meja persidangan untuk membuktikan bagaimana pemberontakan itu direncanakan. Jadi satu-satunya hal yang menjadi bukti di Madiun adalah ‘sneltrech' (keadilan ringkas)yang berlaku saat itu. Dengan kata lain pengadilan militer tidak butuh prosedur pembuktian yang lengkap. Atas dasar itu saya tidak terkejut saat mendengar bahwa kini di Jakarta banyak sekali orang yang menulis ulang ‘pemberontakan madiun' versi mereka masing-masing—dengan anggota-anggota komunis yang telah dipenjara selama 13 tahun tanpa bukti apapun terkait kesalahan mereka (sejak 1965) dikambinghitamkan” (Julie Southwood dan Patrick Flanagan, 2013 :30).

Di buku Teror Orde Baru (2013) dijelaskan secara berbeda dari pada versi sejarah yang dikutip oleh Taufiq Ismail di buku ini dijelaskan bahwa peristiwa madiun merupakan hasil pergumulan panjang di kalangan kesatuan-kesatuan aksi di pedalaman jawa yang bertekad mempertahankan tentara perjuangan kemerdekaan “popular” dan Komando Tinggi militer yang berusaha membawa satuan-satuan lapangan di bawah control pusat. Kembalinya pemimpin PKI Musso dari pengasingan Agustus 1948 berujung konsolidasi terpadu kelompok-kelompok FDR di bawah organisasi PKI dan meningkatnya hasutan serta propaganda FDR dan anti PKI anti Republik—hanya karena pemerintah sedang bersiap untuk menyerang PKI. Langkah pertama Hatta adalah merasionalisasi (baca: membersihkan) tentara dengan program demobilisasi terpadu. Ketidakpuasan tentara di wilayah pedalaman mencuat ke permukaan Letkol Sutarto yang lantang menentang program Hatta ditemukan tewas terbunuh. Pada 11 September 1948 menyusul gelombang ‘menghilangnya' anggota militer pro PKI di Solo, Komando Solo mengeluarkan ultimatum. Jika tentara-tentara tersebut tidak dikembalikan dalam tempo 14 jam pada 13 September,serangan akan ditujukan kepada pemerintah.

Tatkala tenggat waktu tersebut telah terlewati, Kesatuan Angkatan laut Republik Indonesia (ALRI) menyerbu barak-barak pasukan elite pemerintah, Kodam Siliwangi. Keesokan harinya, pertempuran meletus di Madiun. Pertempuran mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak. Pada 18 September tentara pro PKI menguasai Madiun dan kota-kota di sekitarnya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pemimpin PKI sebelumnya tidak mengetahui akan terjadinya peristiwa ini. Namun, saat tiba di Madiun pada 18 september 1948 mereka dihadapkan pada kondisi yang harus diterima (Kahin,1970 :291-292;Aidit 1955 ; 25-27). Menurut laporan di hari itu yang belum jelas kebenarannya dinyatakan dalam pidato Hatta bahwa telah didirikan Pemerintah Soviet, di Madiun dengan Musso sebagai ‘Presidennya”. Hatta meminta kewenangan absolute diberikan kepada Soekarno selama tiga bulan. Kondisi darurat militer pun diberlakukan. Pemberontakan dinyatakan berhasil diatasi pada 28 Oktober. Musso tewas tertembak tiga hari kemudian. Laporan lain menyatakan bahwa ribuan simpatisan komunis dan PKI lainnya terbunuh sementara 35.000 orang dipenjara (Kahin, 1970 : 300; Feith 1962 :52, Polomka 1971 :158).

Unruhen in Indonesien 1965
Mahasiswa membakar kantor organisasi kepemudaan PKI di Jakarta, 3 Oktober 1965Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Belum ada yang berani mengungkap

Sejarah Madiun dan sebab dari yang melandasi Madiun memang tak diungkap oleh Taufiq Ismail dan sejarawan yang menilai PKI sebagai pihak yang dianggap sebagai hantu yang patut dimusnahkan. Terlebih sebab dan proses mengapa Amerika sampai begitu gencarnya mendukung penumpasan gerakan komunis di Asia tenggara termasuk Indonesia. Motif kolonialisme ekonomi sampai saat ini tak pernah disinggung. Orang kemudian hanya tahu jargon pendek di mobil-mobil dan dikendaraan di jalan raya yang seolah meneror kita dengan gambar Suharto yang tersenyum dan mengatakan dengan entengnya : “Beras saiki regane piro le?, penak jamanku tho”?. Jargon-jargon dan terror semacam itu justru membuat kebenaran sejarah semakin ditutup-tutupi.

Faktanya tidak ada yang berani mengungkap bagaimana kejahatan Orde baru baik dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi kejahatan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh Suharto di masa itu. Saya adalah bagian dari generasi 90-an yang rindu kebenaran sejarah. Tentu, setelah 32 tahun lamanya rejim Suharto berkuasa, arus reformasi dimulai, makin muncul banyak buku yang semakin membuka tabir gelap sejarah kita.

Indonesien Hetze Kommunisten 1965
Mahasiswa menyerang sebuah toko buku kiri, 4 Oktober 1965.Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Seruan Bung Taufiq Ismail tentu bagian dari cara kita menguak sejarah kelam kita, tentu kita tak boleh sebelah mata melihat sejarah. Kita mesti memandang secara menyeluruh, apalagi sejarah yang sudah ditutup-tutupi rapat oleh sebuah rejim yang selama puluhan tahun menggunakan instrumen negara untuk melegitimasi dan membuat sejarah sendiri dengan tujuan melegitimasi kekuasaan dan teror yang diciptakannya.

Karena itulah, upaya membuka tabir gelap sejarah yang diinisiasi oleh Yayasan Bhinneka Nusantara yang menerbitkan majalah edisi 50 tahun Genosida layak diapresiasi demi kebenaran sejarah.

Arif Saifudin Yudistira adalah Guru MI Muhammadiyah Kartasura