1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Membuka tragedi 1965 adalah pengorbanan"

Anett Keller20 Oktober 2015

Adi Rukun meninggalkan kehidupan normal demi menelanjangi kebohongan seputar pembantaian 1965. Sejak terlibat dalam film The Look of Silence, pria yang kehilangan saudara laki-lakinya itu hidup dengan ancaman presekusi

https://p.dw.com/p/1Gr3I
Gedenken an Menschenrechtsverletzungen, Indonesien
Foto: DW/G. Simone

Kepada wartawan Jerman, Anett Keller, Adi Rukun, keluarga korban pembantaian 1965 dan tokoh utama dalam film dokumenter, The Look of Silence, berkisah mengenai pengorbanan yang harus ia lakukan demi membuka tabir gelap sejarah 1965.

Sambungan dari bagian pertama:

DW: Dalam kasus pembunuhan saudara laki-laki anda, Ramli, masih ada saksi mata dan pembunuhnya juga diketahui. Kenapa kasusnya sulit dibawa ke pengadilan?

Adi Rukun: Bukan cuma kasus Ramli saja yang ada saksi mata. Pembunuhan di seluruh Indonesia semua orang tahu siapa pelakunya siapa yang menjadi korban. Tapi ini dengan sengaja disenyapkan. Ketika ada orang yang membuka kasus ini maka mereka mendapat ancaman, teror agar kasus ini tetap ditutup. Jadi itu sesuatu yang mustahil untuk dibuka karena pelaku memang sampai sekarang masih berkuasa.

Pelaku sendiri juga mengakui, misalnya Sarwo Edhie, sebagai komando pemerantas orang orang yang dianggap komunis, dia ngomong bahwa dia membunuh 3 juta rakyat Indonesia. Jadi kurang bukti apalagi? Komando aksi tingkat kecamatan yang mengepalai pembunuhan abang saya juga – dan dia ikut membunuh – juga mengakui, dia menulis dalam buku yang judulnya „Empun berdarah“ dengan detail, siapa saja yang dibunuh, jam berapa dibunuh, diambil dari mana, dibuang ke mana, itu sudah jelas…

Tapi ini nggak bisa dijadikan bukti untuk mengadili mereka. Nggak ada yang berani mengadili mereka. Mereka masih berkuasa. Undang undang di Indonesia mungkin sudah diset, kalau kasus pembunuhan sudah jalan berapa tahun, saya kira 18 tahun, sudah kadaluarsa. Kalau misalnya aku membunuh orang dan lari selama 18 tahun sudah nggak bisa diadili. Mungkin itu sudah diset oleh Orde Baru.

Filmszene The Look of silence
Adi Rukun, keluarga korban pembantaian 1965Foto: Dogfoof

Dalam laporan Komnas HAM yang diterbit 2012 pembunuhan massal tahun 1965/66 diklasifikasi sebagai Pelanggaran HAM berat yang tidak ada kadaluarsa. Jadi mestinya masih bisa diadili…

Kalau dengan pengadilan HAM bisa, dengan pengadilan umum tidak bisa. Peristiwa 65 sebetulnya bukan masa lalu. Itu sampai sekarang masih berlaku. Film kami tujuannya untuk masa sekarang dan masa depan. Pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia ada banyak, mulai Talangsari, DOM Aceh, Irian Jaya, Timor Timur. Kenapa itu bisa terjadi? Karena para pelaku tidak pernah diadili. Dan mereka dianggap sebagai pahlawan. Mereka merasa tidak bersalah karena negara merestui pembunuhan yang mereka lakukan. Jadi, rentetan dari peristiwa 65 itu mengakibatkan tradisi pembunuhan yang terus berlanjut sampai sekarang, karena para pelaku tidak pernah diadili.

Apakah anda merasa ada perubahan sejak Suharto turun tahun 98? Misalnya sekarang ada Komnas HAM yang meneliti soal 65 ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban…

Perubahan ada tapi tidak banyak. Pada waktu laporan Komnas HAM keluar 2012, itu diangap terus seperti tidak lengkap. Kenapa? Karena itu tadi, ini semacam permainan. Karena penguasa masih yang itu itu aja. Bagaimana keadilan mau ditegakkan kalau pelaku masih berkuasa dan dianggap sebagai pahlawan. Dulu sudah dibentuk KKR. Cuman KKR ini pakai syarat, sementara kita harus mutlak membuka apa yang terjadi, jangan pakai syarat. Kalau pakai syarat kita ditekan, diarahkan. Kita minta pengadilan yang fair. Yang salah dinyatakan salah yang benar dinyatakan benar dan pelakunya dihukum agar hal yang serupa tidak terulang lagi di kemudian hari dan tidak akan menimpah anak cucu kita di masa depan.

Dengan pendekatan yang konfrontatif untuk membuka semuanya anda dikucilkan dari masyarakat. Bagaimana perasaan anda?

Aku anggap ini sebuah pengorbanan. Tapi ini justru menjadikan rahmat samaku karena ini telah merubah kehidupanku dalam segala hal menadi lebih baik. Jadi mungkin ini pengorbanan yang manislah…

Di film ini ada kesan anda sendirian, padahal di Indonesia sudah ada organisasi organisasi korban 65. Apakah anda bergabung dengan oranisasi itu?

Aku tidak bergabung dengan organisasi lain, waktu itu aku memang sendiri dan hanya didampingi Joshua dan juru kamera. Jadi waktu itu aku minta sama Joshua supaya bisa bertemu dengan orang orang itu (pelaku –red). Joshua melarang, dia bilang sangat berbahaya. Tapi aku berpikir dengan Joshua atau tanpa Joshua aku tetap mendatangi mereka. Jadi sebetulnya mengenai menjumpai tersangka pembunuh dengan aku Joshua lebih ingin menyelamatkan aku. Dia mengatur dengan beberapa strategi, dia bilang ada kawannya yang mau tahu cerita tentang 65 sekalian periksa kaca mata supaya mereka tidak curiga.

Tapi di setiap kesempatan aku kasih tahu bahwa saya sebenarnya seorang adik dari orang yang mereka bunuh. Aku ingin tahu reaksi mereka dan harapan utamaku adalah mereka minta maaf dan mengakui kesalahannya. Tapi semua pelaku yang aku jumpai tidak ada yang mau minta maaf dan tidak ada yang merasa bersalah. Aku dapat maaf hanya dari anak seorang pembunuh yang minta maaf atas pelakuan ayahnya.

Tapi waktu itu saya ngomong: `Itu kesalahan bapak, tidak bisa dilimpahi ke anaknya.´ Tapi aku senang dengan pernyataan maafnya. Karena itu yang kami sebagai keluarga korban 65 paling harapkan bahwa para pelaku menyesal dan meminta maaf. Kami tidak mau balas dendam, tidak mau membuat hal hal yang buruk terhadap mereka. Sendainya kami berbuat hal hal yang buruk buat mereka, kami sama saja dengan mereka.

Pada waktu merekam itu semua, apakah tidak ada reaksi langsung dari pelaku? Misalnya ada satu adegan dengan ketua komando aksi yang mengancam anda pada waktu kamera masih merekam. Bagaimana reaksinya para pelaku pada waktu kamera sudah mati?

Pada waktu itu ketika kamera sudah mati aku langsung keluar. Kami sudah berbuat beberapa strategi, pertama kalau bertemu pelaku hp nggak dibawa, dompet nggak bawa. Kami ke situ tanpa identitas. Terus kami bawa kendaraan lebih dari satu, jadi kalau misalnya datang naik kendaraan A, pulang naik kendaraan B dengan jalan yang berbeda. Terus ada beberapa antisipasi dan persiapan jika terjadi apa apa.

Pernah terjadi keributan pada waktu ketemu dengan keluarga Amir Hassan (ketua komando aksi di tingkat kecamatan), anaknya sempat marah marah dan menelpon polisi. Waktu itu kami langsung kabur, aku waktu itu anak saya titip di rumah neneknya yang tidak jauh dari situ. Jadi kami jemput anak dengan mobil lain dan kami jalan dengan mobil lain. Memang harus ada antisipasi kalau kita jumpai kepala preman dan pembunuh.

Italien Filmfestspiele Venedig 2014 Filmregisseur Joshua Oppenheimer The Look of Silence
Joshua Oppenheimer, sutradara The Look of SilenceFoto: Daniel Bergeron

Kepada harian Swiss, NZZ, Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo mengatakan tidak ada yang menghalangi siapapun yang ingin membuka sejarah 1965. Bagaimana tanggapan anda?

Tempo itu majalah terbesar di Indonesia dan mereka memang menulis tentang film Jagal dan film Senyap dan mereka wawancarai para pelaku. Tapi itu tidak lantas membuat situasi Indonesia seperti yang dia omongkan. Buktinya film Senyap masih dilarang diputar. Lembaga Sensor Film melarang Senyap diputar di tempat umum. Dan korban yang berkumpul masih ada yang dipukuli. Ada sekitar dua tahun yang lalu kantor harian Radar diserang dan redakturnya dipukuli. Kenapa orang yang usianya di atas 70 tahun itu dipukuli, kenapa itu?

Memang ada yang benar, yang GM omongkan, tapi kenyataan tidak persis seperti itu. Kalau film film mau diputar di kampus kampus dilarang, ada aparat datang bilang “Ini dilarang, kan. Nanti datang FPI atau organisasi serupa”, itu kan intimidasi. Kalau memang soal 65 sudah terbuka lebar, nggak ada itu. Kenapa kru film itu pakai anonim. Karena situasi belum aman padahal memang sudah ada berita berita termasuk dari majalah Tempo sendiri.

Kejadian 65 tidak bisa dilihat lepas dari konteks politik internasional, perang dingin dan kepentingan negara masing2…

Masalah itu sudah 50 tahun. Sekarang sudah bukan zaman adu otot, bukan zaman barbar, ya. Sekarang HAM harus ditegakkan, artinya siapa siapa yang terlibat dibukalah. Dokumen yang menyangkut masalah 65, misalnya keterlibatan Amerika, Inggris, itu buka. Kalau pelakunya salah, ya diadili. Kita tidak mau balas dendam, tidak mau ribut.

Aku berharap pada media supaya mau memberitakan secara proporsional. Dan mudah mudahan Negara negara lain misalnya Jerman mau mendorong pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus ini. Kalau mau jadi bangsa yang bagus, sebaiknya kita buka semua. Aku pikir Indonesia lebih terhormat ketika pemerintah kita mau membuka kasus ini tidak menutupi. Kenapa Sarwo Edhie yang sudah jelas mengaku membunuh 3 juta orang masih mau diangkat pahlawan? Gimana itu?