1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mencari 'Islam Eropa'

Zoran Arbutina24 Agustus 2015

Eropa mencari Islam yang prinsipnya sejalan dengan budaya modern dan nilai-nilai Eropa. Salah satu contoh bagus untuk itu adalah Islam di Bosnia.

https://p.dw.com/p/13Gkm
Foto: picture-alliance/dpa

Walau imigran dari negara-negara muslim sudah sejak berpuluh tahun datang ke Eropa, umat muslim di benua ini hidup hampir tanpa menarik perhatian masyarakat luas.

Baru setelah serangan teror 11 September 2001, muncul banyak komentar skeptis bahwa Islam tidak sejalan dengan nilai-nilai Eropa. Islam dinilai sebagai agama yang tidak menjunjung demokrasi. Justru inilah yang membuat tradisi Islam di Bosnia dapat menarik bagi Eropa, kata Armina Omerika, cendekiawan Islam di Universitas Bochum dan peserta Konferensi Islam Jerman. Umat Muslim dan kristen sudah sejak lama hidup berdampingan khususnya di Bosnia-Herzegovina.

Tradisi Hidup Berdampingan

Muslim sebagai kelompok mayoritas di Bosnia sejak lama hidup berdampingan dengan Kristen Ortodoks dan Katolik, juga Yahudi. Pengalaman hidup bersama selama lebih dari 130 tahun di Monarki Austria-Hungaria yang berkarakter Kristen, membentuk Islam di Bosnia.

Warga Austria juga memberi perhatian pada keistimewaan tradisi Islam di Bosnia. Mereka mendirikan organisasi muslim mencontoh gereja kristen dan memperkenalkan dewan ulama Reisu-l-ulema. Dewan ini merupakan badan perwakilan tertinggi muslim Bosnia. Dan kedudukannya lah yang menjadikan tradisi Islam Bosnia menarik bagi dunia barat kata Omerika. "Bentuk institusional ini menggambarkan sesuatu yang dikenal barat, karena mereka dapat mensejajarkannya dengan bentuk paling umum dari organisasi keagamaan dalam struktur gereja."

Muslim di Polandia

Namun pertanyaannya, apakah 'Islam Eropa' memang sungguh dibutuhkan? Kerem Öktem, dosen pada Pusat untuk Studi Eropa di Universitas Oxford mengatakan, pengajuan pertanyaan itu saja sudah keliru, karena menguatkan bahwa "Islam adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang datang dari Eropa, dan karena itu harus didomestikkan, dieropakan atau dinasionaliasi."

Padahal tidak perlu demikian, tegas Öktem, karena Islam sudah ada di Eropa sejak berabad-abad silam. Bosnia dan Herzegovina adalah contoh, tapi juga Turki, Albania atau Bulgaria. Bahkan di negara-negara Eropa dimana orang tidak mengira ada tradisi sangat panjang dalam hal hidup berdampingan antara Islam dan Kristen. Misalnya di Polandia, terang Pater Adam Was, Dosen Islam di Universitas Katolik di Lublin. "Kami di Polandia punya pengalaman panjang dengan muslim, lebih dari 600 tahun, yaitu dengan etnis Tataren."

Sebuah kelompok minoritas, kurang dari 1% rakyat Polandia, namun identitas keagamaan mereka terjaga sejak lama. Bersamaan dengan itu, proses migrasi modern juga meninggalkan jejaknya di Polandia, terang Was. Masyarakat muslim tumbuh di negara yang berkarakter Katolik. Mahasiswa dari berbagai negara Arab datang ke Polandia di paruh kedua abad ke-20. "Banyak yang menikah di Polandia, membangun keluarga dan muncullah kelompok kedua," tambah Was.

Islam Eropa?

Di Eropa memang banyak komunitas berkarakter muslim, entah itu Turki, Aljazair, Albania, Bosnia atau Pakistan dan Iran. Namun mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda, memiliki latar budaya dan tradisi keagamaan yang juga berbeda-beda. Kerem Öktem dari Universitas Oxford menekankan, tidak mungkin atau tidak perlu menetapkan sebuah bentuk terpadu Islam untuk seluruh Eropa, karena "Ada terlalu banyak keragaman yang harus dipertimbangkan."

Karena itu tidak realistis bila mengharapkan bahwa sebuah tradisi islam, entah itu Bosnia atau lainnya, diambil sebagai model masa depan bagi semua muslim di Eropa. Öktem yakin, kelak ada model yang berbeda di masing-masing negara. Namun memiliki ciri khas yang sama, kata Adam Was. Islam dengan karakter Eropa, yang berbeda dengan islam di Afrika atau Asia Tenggara misalnya. Terkait kontekstualisasi sebuah agama, rumusnya adalah berbeda-beda namun tetap satu jua.

Islam dengan karakter Eropa, kata Adam Was, menghargai demokrasi, HAM dan kebebasan beragama. Itu berarti, diperlukan proses interpretasi ulang Al Quran, penafsiran baru terhadap ayat-ayat suci, kata Was. Ia menambahkan, "Muslim yang sudah berabad-abad hidup di Eropa juga bisa memberi kontribusi dalam hal itu."