1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mendefinisikan Kembali Ruang “Arsipelago Islam”

Zacky Khairul Umam 8 Agustus 2016

Indonesia, arsipelago nan majemuk. Jika mengikuti cara berpikir Cak Nur, tanggung jawab besar ini milik Muslim arsipelagis, dimana betapa mustahilnya satukan Indonesia tanpa pluralisme. Perspektif Zacky Khairul Umam.

https://p.dw.com/p/1JaxZ
Indonesien Natuna-Inseln
Foto: cc-by-nc.-nd/stratman² (2 many pix!)

Imperium besar dibangun di atas susunan kemajemukan ras, sosial, agama, dan berbagai latarbelakang. Belajar dari pengalaman masa silam, sebuah imperium tumbuh berkembang selama berabad-abad jika ia mampu mengelola potensi kemajemukan ini, bukan malah memanunggalkannya secara merata. Tidak banyak negara-bangsa yang wilayah geografisnya kini sebesar imperium. Selain Amerika Serikat, contoh lain misalnya India, Cina, dan tentu saja Indonesia.

Jika kita memakai kacamata agama, maka keempat contoh besar ini mewakili Protestanisme, Hindu, Konfusianisme, dan Islam. Akan tetapi, hanya Indonesia yang terbentuk sebagai negara-kesatuan berbasis kepulauan terbesar sejagat. Kita boleh berandai-andai bertanya, bisakah Indonesia mewakili masa depan kebudayaan Islam yang disegani dengan segala kemajuannya dan melampaui contoh lainnya? Dan bagaimanakah kita berupaya untuk mendefinisikan, memaknai, dan menggerakkan sendi-sendi kebudayaan (Muslim) kita ke depan?

Penulis: Zacky Khairul Umam
Penulis: Zacky Khairul UmamFoto: Zacky Khairul

Sebelum mendedah jawaban yang terlalu jauh, kita perlu mengenali permasalahan terdalam dari kehidupan kita. Jika Anda dididik semasa Orde Baru, yang masih terekam kuat ialah kesadaran bahwa kita seperti terus hidup di negeri yang terkurung oleh daratan (landlocked territory), kendati dicekoki oleh wawasan nusantara. Ini tidak bisa dinafikan akibat kompleksitas politik masa silam dan kecenderungan kekuasaan rezim yang merendahkan air dan menonjolkan pedalaman. Rancangan bangunan kebangsaan kita, secara singkat, menyalahi sisi geospasial.

Walhasil, kita kerap digiring oleh suatu uniformitas alias keseragaman bernama “orde kekuasaan” yang lalu menyergap mempengaruhi membran kesadaran kita. Kemudian segala sesuatu yang berbeda, baik soal sudut pandang maupun hal lainnya, dianggap sebagai ancaman. Ditambah lagi oleh permainan isu fobia di lapangan yang diracik berdasarkan formula kejumudan masa silam. Potensi kemajemukan kita, karena itu, sering ditundukkan oleh resultan dari kepungan uniformisme dan kesadaran sipil yang terkurung.

Sirkulasi sosial-kepulauan

Orang-orang biasa di Jawa sama seperti orang biasa lainnya di pulau lain. Meskipun Jawa sering dipakai sebagai sinekdoke (pars pro toto) bagi Indonesia secara umum, atau katakanlah Jawa-sentris, toh mereka lebih banyak bersekutu di pedesaan mereka masing-masing. Sulit membayangkan, setelah Indonesia merdeka, mereka berbondong-bondong secara sukarela ke pulau lain menciptakan mobilitas gagasan, barang, dan jasa, kemudian membentuk tradisi hibrida yang baru dan menyegarkan massa.

Transmigrasi bedol desa masyarakat Muslim Jawa ke berbagai pulau, misalnya, pada kenyataannya dijalankan atas dasar prinsip tidak suka rela, sebab tangan kekuasaan menunjuk ke bawah. Yang sering berkeliling Indonesia pada beberapa dekade belakangan, dan ini diciptakan oleh sistem resmi, ialah mobilitas militer.

Dulu sebelum Dwifungsi ABRI dihapus era pemerintahan Gus Dur, bahkan ketika anggota ABRI (kini TNI) belum purnawirawan, mereka mengisi pos bupati dan pemerintahan lokal. Mereka memang berjasa membela tanah air, tapi akibat lebih jauh dari mobilitas mereka yang jauh lebih besar daripada sirkulasi sosial kaum sipil menyebabkan ketimpangan pengalaman anak-anak bangsa. Barangkali menarik untuk meneliti statistika sejauh mana konfigurasi sosial-politik dari ketimpangan pengalaman sipil-militer ini.

Siapakah yang memiliki mobilitas kenusantaraan yang tinggi setelah pengalaman militer? Laskar-laskar jihad yang mengatasnamakan Islam yang sering menjadi musuh negara, meskipun ada irisan yang terkait di dalamnya. Hampir di seluruh kepulauan Indonesia, bahkan juga di Filipina, yang dulu merupakan bagian dari wilayah khayalan Jawi, mereka memiliki jaringan serumit atau mungkin serapi militer. Tidak mengherankan jika dalam dunia internasional bukan “Islam yang senyum” yang sebetulnya menarik sebagai berita utama, melainkan kelompok Islam militan. Tidak mengherankan pula jika Max L. Gross, kini pakar intelijen di Georgetown University, menulis buku A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia (2006) untuk mewakili gerakan-gerakan paramiliter Islam di Asia Tenggara. Ada majas lain di sini: jaringan paramiliter Islam untuk sebuah “arsipelago Muslim.”

Terhitung hanya beberapa profesi yang kini dapat menikmati sisi lain pulau-pulau Indonesia. Di antaranya pegawai negeri dan ilmuwan. Itu pun hanya antropolog dan ahli kehutanan, misalnya, yang mampu menjangkau terra incognita dan ekosistem mahluk hidup di dalamnya. Mereka belum mampu menandingi pengalaman dan sistem militer yang sudah terbentuk dalam sirkulasi kepulauan itu. Untuk itu, kita tidak bisa berharap dari perkecualian ini. Betapapun kaum cendekia, rata-rata tinggal di Jawa, yang sudah melalangbuana di Nusantara dapat membantu menciptakan pengetahuan baru, yang diperlukan ialah sirkulasi sosial yang lebih umum, yakni mobilitas “orang-orang awam” untuk setara mencerap nikmat keindonesiaan. Ini tentu saja seiring dengan semakin tingginya gairah pemerintahan saat ini untuk menjunjung aspek kemaritiman yang, ironisnya, acap kali hanya diidentikkan dengan ekonomi dan pertahanan.

Jika mencari pengalaman di luar negeri kini lebih gampang dan bahkan dibiayai negara, seharusnya banyak dana yang tersedia untuk memberdayakan pengalaman sosial antarpulau. Anda bisa menemui kenyataan umum bahwa banyak orang yang lebih dahulu menginjakkan kaki di tanah suci Mekkah dan Madinah ketimbang Maluku atau Papua. Demikian halnya pelajar Indonesia di luar negeri, sedikit di antaranya yang pernah hidup bergaul dengan sesama anak bangsa di lain pulau dalam waktu lama—tentu bukan soal turisme. Aglomerasi Muslim kelas menengah pada kenyataannya sudah banyak ditemui di berbagai kota di Sumatra, Sulawesi, dan lainnya, tidak harus bertumpu di Jawa, yang memberikan ruang baru sebagai pusat urban di luar Jawa. Artinya, kelompok ini terus menyusun “bandar-bandar” baru di luar Jawa dan memungkinkan untuk membentuk atmosfer kesejahteraan yang dapat mengundang keberkahan bagi yang lain.

Muslim Nusantara sebagai Muslim arsipelagis

Terkait dengan itu, “Islam Nusantara” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Islam of the Archipelago” tidak harus diaku sebagai proyek sosial-intelektual sepihak. Ia semestinya dinetralkan menjadi kosakata baku yang umum, seperti pada masa sebelumnya. Sebab kita saat ini membutuhkan gerakan sosial bersama untuk menyusun kembali kadar epistemik kita tentang arsipelago: perairan yang ditaburi kepulauan atau gugusan pulau yang disatukan oleh perairan. Ini bisa bermakna pula sebagai “gugusan ekspresi kebudayaan, keagamaan, dan kemajemukan yang disatukan oleh nilai-nilai keindonesiaan kita.” Oleh JS Furnivall (1939), unit politik dari tatanan sosial yang berdampingan ini dinamakan sebagai “masyarakat majemuk.”

Menjadi berlawanan manakala banyak warga penduduk sebuah kepulauan terbesar sejagat memiliki sikap anti-intelektualisme sayap kanan yang dewasa ini kian meningkat dan mengancam setiap perbedaan di berbagai belahan dunia, bahkan Eropa dan Amerika. Supaya gejala ini tidak menjadi arus utama, maka dibutuhkan aksi dan pemikiran yang relevan.

Ide-ide besar seperti dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalam Indonesia Kita (2004) atau renungan kebudayaan Syafi'i Maarif bisa lahir dari rahim intelek siapapun yang memaknai pentingnya memajukan tanah air. Akan tetapi tanpa sebuah statecraft dari pemerintahan dan masyarakat madani untuk menggerakkan pikiran dan hati masyarakat dalam rangka meninggalkan buritan kejahiliahan yang tidak mensyukuri nikmat kemaritiman kita, bisa jadi eksklusivisme itu akan berkembang, sehingga mengubah energi perairan yang menyatukan malah menjadi sekat pembelah.

Jika mengikuti cara berpikir Cak Nur, tanggung jawab yang besar ini milik kaum Muslim, sehingga merekalah yang sejatinya sadar sebagai Muslim arsipelagis: kesadaran hakiki tentang betapa mustahilnya menyatukan Indonesia tanpa pluralisme. Pluralisme itu ibarat pulau-pulau yang saling menyambung, bukan saling terkurung. Indonesia sebagai “arsipelago Islam” yang menampilkan ragam mozaiknya menjadi ruang cerah bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan. Tanpa basa-basi, yang menjadi nakhoda keindonesiaan itu ialah barisan Muslim arsipelagis. Inilah jihad yang patut diperjuangkan: praktik berislam yang tumbuh-subur dalam ruang kebudayaan maritim.

Penulis: Zacky Khairul Umam

Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.