1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Kita Gemar Mengambinghitamkan Pendatang?

Geger Riyanto25 Juli 2016

Mengapa pemilahan pendatang dan orang asli ini begitu mantap dan marak diyakini di mana-mana? Termasuk di tanah air kita? Berikut renungan dan analisa Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/1JSS4
Malaysia Arbeiter aus Indonesien
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong

Di jalan-jalan, para migran disoraki. "Pulang ke negaramu sendiri!" Masjid didatangi pengunjuk rasa dan warga Islam diminta angkat kaki. Dan di tempat-tempat lain, plakat dengan satu tulisan sama digadang-gadang. Tulisannya?

"Mulai pemulangan! Mulai pemulangan!"

Inilah wajah beberapa sudut Inggris tak lama setelah Brexit, bagaikan mimpi, benar-benar terjadi. Referendum ini memberikan rasisme sebuah momentum baru. Mereka yang gerah dengan pendatang merasa bahwa pihaknya adalah mayoritas dan, karenanya, punya hak meluahkan kebenciannya.

Namun, kebencian kepada pendatang bukanlah hal yang meledak mendadak maupun unik. Dalam dua dasawarsa terakhir, Inggris menjadi saksi melonjaknya jumlah pendatang jauh melampaui tren pertumbuhannya yang sudah-sudah. Warga etnis minoritas kini nampak di mana-mana. Kegusaran warga mayoritas akan kehilangan pekerjaan atau kemurnian rasnya pun terpupuk di sebagian kalangan.

Dan di AS, berkat racauannya yang tak bisa disaring, Donald Trump menjadi kandidat presiden sah negara ini. Kita tahu apa janji bombastis Trump ihwal persoalan migran. Ia akan membersihkan mereka. Ia akan membangun tembok besar di perbatasan AS-Meksiko. Ia akan mencegah orang-orang Muslim memasuki AS. Kesohorannya dianyamnya dengan menunjuk pendatang sebagai sumber kejumudan AS dan menawarkan akan menyingkirkan mereka sebagai obatnya.

Dan masyarakat AS, setidaknya yang mengantarkannya ke arena pilpres 2016, percaya kepadanya.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Klaim Buatan?

Ada satu pertanyaan yang lantas acap diajukan kepada mereka yang memendam, merawat, membesarkan sentimen ini. Bukankah pendatang dan orang asli merupakan klaim yang dibuat-buat?

Jawaban untuk pertanyaan di atas mudah dan singkat. Sangat mudah dan sangat singkat: ya. Sejarah manusia adalah sejarah pergerakan, dan nalar awam sekalipun akan membenarkan ini. Manusia tak lahir dari tanah, kita tahu. Hanya migrasi yang memungkinkan manusia tersebar ke berbagai belahan.

Dan sejauh beberapa kasus perbandingan yang bisa kita peroleh memperlihatkan, penyebab seseorang dipanggil pendatang maupun orang asli bahkan tak pernah benar-benar terkait dengan lamanya satu komunitas warga hidup di wilayah tertentu.

Beberapa kelompok orang Buton, misal saja, bermukim di pelbagai pelosok Maluku sejak abad ke-19 sebagaimana Muslim Prancis sudah tiga generasi hidup di negara tersebut. Warga Tionghoa Jakarta, yang selalu diperlakukan sebagai orang asing dalam kampanye hitam, kenyataannya tinggal lebih lama di kota ini ketimbang kebanyakan warga Jakarta.

Namun, komunitas-komunitas ini tetap tak bisa menanggalkan anggapan mereka merupakan orang yang datang kemarin sore dan tak pernah seutuhnya berhak atas tanah yang mereka tinggali.

"Orang Buton?" tetua desa di Seram yang saya ajak berbincang berujar. "Mereka membantu melawan Belanda. Tapi datang ke sini baru saja."

Kuasa dan Hajat Hidup

Nah, karenanya, pertanyaan yang rasanya lebih mengena adalah, mengapa pemilahan pendatang dan orang asli ini begitu mantap dan marak diyakini di mana-mana?

Karena ia menyangkut kuasa dan hajat hidup.

Sebagai perbandingan kontras, ambil saja bagaimana label pendatang ini digulirkan di masyarakat yang tak alergi dengannya. Pertama-tama, di masyarakat Huaulu, Pulau Seram, yang dikaji seorang kawan, Muhammad Rifqi. Huaulu adalah satu masyarakat yang masih taat menjalani berbagai pamali. Orang-orang sekitar memandang mereka benteng kebudayaan Seram yang asali, murni, dan demikian juga anggapan dari mereka sendiri.

Namun, satu hal yang menarik, sebagian marga dari Huaulu menganggap diri mereka awalnya adalah pendatang. Sewaktu diteliti rekan saya, mereka mengaku berasal dari Tidore. Pada tahun 1980-an, dalam studi antropolog lain, mereka mengaku berasal dari Ternate.

Sementara pada masyarakat Sawai, tak jauh dari Desa Huaulu, penyelidikan Ikhtiar Hatta seorang kolega lain menemukan, satu marga yang sedari dulu berhak untuk jabatan raja tak pernah menampik asal-usul pendatangnya. Mereka bahkan memitoskan dirinya datang ke pulau ini beberapa abad lalu dengan piringan terbang. Mereka lantas mengumpulkan marga-marga lain, yang sebagian dari antaranya muncul dari tanah, untuk membangun desa.

Saya bisa menyuguhkan padanan-padanan serupa di tempat lain. Namun, intinya, di sini menjadi pendatang adalah sesuatu yang dibanggakan karena mereka dianggap mempunyai kesaktian tak tercerna. Pendatang memiliki entah kemampuan gaib untuk menyembuhkan, kekuatan menaklukkan lawannya, atau kecerdasan tak terbandingkan.

Satu narasi yang marak dalam mitos-mitos Indo-Eropa, sebagai perbandingan lagi, dimulai dengan ksatria asing datang ke satu kerajaan yang gonjang-ganjing. Dengan kemampuan yang tak dimiliki penduduk setempat, ia lantas mengatasi kemuskilan yang ada. Kedamaian kembali. Raja pun menikahkannya dengan putrinya dan sang ksatria berhak atas kerajaannya.

Apakah aneh bila pola cerita ini sama dengan kisah asal muasal sultan-sultan berketurunan Arab di Nusantara—seorang saudagar Arab menyembuhkan putri sebuah kerajaan dan lantas dikawinkan dengannya? Semestinya tidak. Dan faktanya, kita masih akan menemukan narasi berpola serupa dalam pusparagam variasinya di banyak tempat.

Intinya? Intinya, kita punya kecenderungan untuk mengartikan kemisteriusan pendatang sebagai tanda mereka menyimpan kuasa tak terperi. Orang-orang mengklaim diri bagian dari pendatang untuk tercitra memperoleh aura kemisteriusan tersebut. Namun, seperti juga kata Thomas Hobbes, apa pun yang tak terperi memiliki "kekuatan tak terbatas untuk mendatangkan faedah atau menyakiti".

Kita, artinya, akan selalu mendamba-dambakan pendatang sebagai sumber kekuatan. Tetapi, kita juga senantiasa akan mengecamnya selaku ancaman—bayangan kepunahan diri kita.

Itulah yang gamblang nampak pada peristiwa-peristiwa pengusiran pendatang. Retorika yang tak pernah absen, baik pada momen Brexit maupun serentengan konflik yang meruyak di Jakarta, Sampit, Ambon antara 1998-2004, adalah pendatang menyerobot pekerjaan dan menguasai perekonomian setempat.

Tak peduli pendatang tersebut dilekatkan sebagai orang Islam, Kristen, Jawa, Tionghoa, Madura, atau Buton, mereka adalah kekuatan asing yang bila tak ditangani selekasnya akan menggusur keberadaan orang-orang asli. Dan betapapun indikasi-indikasi yang ada menunjukkan pendatang membuka lapangan pekerjaan baru, menggerakkan ekonomi, ketakutan bawaan ini tak pernah mengindahkan semua itu.

"Kami tak mau seperti orang Aborigin," seseorang pernah menyampaikan pada satu waktu.

Ketakutan mengalami Aboriginisasi—kehilangan semuanya di tanahnya sendiri—saya bisa katakan, nyata. Nyata dan berkembang marak.

Dan, kalau ada yang dibuktikan dengan kegegaran Brexit, kemasygulan ini tak pernah ada hubungannya dengan seberapa modern atau cerdas sebuah masyarakat. Anda pun, saya percaya, tak jarang menemukan orang-orang terpelajar justru percaya penuh kehidupan kita dikendalikan kekuatan asing tak kasat mata. Bedanya, sentimen ini terdengar lebih meyakinkan di mulut mereka. Lebih tertata. Lebih berkelas.

Tak Ada Monster dalam Gelap

Dus, apa yang terjadi belakangan ini—Brexit, naik daunnya Trump—tak lain dari dampak politisasi sentimen ini di antara elit-elit tak bertanggung jawab. Kemisteriusan pendatang disulap menjadi isyarat bahwa mereka adalah monster dalam gelap di balik setiap kemalangan kebanyakan penduduk. Dan kedudukan minoritas pendatang secara politik menjadikan mereka kesulitan bersuara membalik persepsi ini.

Susah pekerjaan. Salah siapa?

"Pendatang!"

Bom. Salah siapa?

"Pendatang Islam!"

Demokrasi, akhirnya, banting setir menjadi serangkaian pengambinghitaman tak berdasar. Apa yang bisa dilakukan Boris Johnson, pendukung mati-matian Inggris meninggalkan UE, setelah Brexit benar-benar terjadi? Apa yang akan dilakukan Donald Trump andai ia benar-benar terpilih menjadi presiden?

Mereka hanya akan menjumpai bahwa kenyataan tak pernah sesederhana yang mereka kampanyekan. Perekonomian Inggris tak dapat tercerabut semudah itu dari Eropa. Kolom Johnson di harian Telegraph menyampaikan bahwa selepas Brexit Inggris tetap akan menikmati kemudahan sebagaimana pada masa tergabung di UE. Bisnis-bisnis tetap dapat mengakses pasar Eropa tanpa halangan. Sistem imigrasi yang humanis akan dibangun sehingga orang-orang tetap leluasa lalu lalang bermukim, bekerja, atau berkuliah di negara lain seputaran Eropa.

Lalu, untuk apa sedari awal ia susah-susah mengampanyekan Inggris untuk meninggalkan UE?

Dan Trump? Bila Trump memang mau mengusir semua imigran tak tercatat Meksiko dari tanah AS, ia tak akan mungkin melakukannya tanpa mengguncang perekonomian negaranya terlebih dahulu. Menghilangkan tujuh juta pekerja, jelas, bukan hal yang akan berfaedah untuk bisnis. Trump, seorang taipan, seharusnya tahu ini.

Ironi dari modus para politisi ini seharusnya sudah tak asing buat kita. Ingat Orde Baru. Kendati rezim sadar mereka bertumpu pada konglomerat-konglomerat tertentu yang kebetulan dari komunitas etnis ini untuk menjadi mesin uangnya, rezim memelihara diskriminasi terhadap Tionghoa lewat berbagai kebijakannya. Agar apa? Agar mereka dapat menjadi kambing hitam pada saat diperlukan.

Ketika amarah masyarakat memuncak kepada pemerintah mengiringi krisis 1998, kita tahu, katup ini dilepas. Komunitas Tionghoa serta merta saja menjadi sasaran gelombang kerusuhan yang saking sistematisnya penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta menyiratkan mustahil bila ia tak diatur.

Sayang, betapapun kita tak bersimpati dengan kebiasaan mengambinghitamkan pendatang ini, ia adalah kebiasaan yang nikmat. Kenikmatannya adalah kita jadi tahu ke mana amarah mau diarahkan. Dan kalau Anda tahu nikmatnya menyalahkan orang, Anda tentu juga tahu tidak enaknya tak ada yang bisa disalahkan. Kita merasa tak berdaya. Gamang. Bingung.

Untuk sekadar merasa nikmat inilah, kita memilih untuk buta. Kita memilih untuk menyalahkan yang tidak kita ketahui dan tidak mengetahui apa yang kita alami.

Kita memilih untuk percaya kepada para demagog.

Penulis: Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.