1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengintip Asmara Kaum Terpenjara

Feby Indirani, indonesische Autorin
Feby Indirani
16 Juni 2018

Terbayangkah dalam pikiran Anda, tak bejumpa pasangan dalam jangka waktu lama karena ia mendekam di penjara? Bagaimana memenuhi kebutuhan biologis dan mental? Berikut opini Feby Indirani.

https://p.dw.com/p/2wjdB
Symbolbild Sexpuppenverbot in Sambia
Foto: imago/bonn-sequenz

Salah satu pemandangan yang paling terekam dalam ingatan saya dari ruang kunjungan lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah wajah sepasang lelaki-perempuan yang menahan tangis. Tangan mereka saling menggenggam, mereka kemudian berpelukan erat sebelum akhirnya mesti saling melepaskan karena waktu kunjungan sudah habis.

Melihat adegan seperti ini, saya biasanya memalingkan muka karena ingin menghargai privasi mereka sekaligus ikut merasakan nyeri di hati. Pemandangan ini begitu sering saya temui selama keluar masuk penjara dalam proses penulisan buku Made in Prison selama semester akhir 2016.  Selain momen perpisahan, ada pemandangan lain yang kerap terjadi di ruang kunjungan dan membuat kita memalingkan pandangan, yaitu pasangan yang bermesraan dan saling bersentuhan.

Karena tidak adanya ruang privasi untuk memenuhi kebutuhan biologis, kerap terjadi warga binaan dan pasangannya terpaksa melakukannya di mana saja dengan cara bagaimanapun yang memungkinkan. Pasangan yang datang juga kerap menyiapkan diri dengan tidak mengenakan celana dalam. Di ruang kunjungan mereka bisa duduk berpangkuan atau mencari sudut tertentu seperti kamar mandi yang sempit. Hal-hal seperti itu kerap terekam dalam CCTV yang berada dalam penjara.

Feby Indirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)
Penulis: Feby Indirani Foto: Feby Indirani

"Kami para petugas sudah memaklumi saja, ya habis mau bagaimana lagi. Kalau mereka sampai tidak mengindahkan rasa malu, itu kan memang sudah terdesak betul,” ujar petugas tersebut. Petugas ini bercerita pernah ada istri dari warga binaan yang datang kepadanya dan memohon-mohon agar bisa punya ruang bercinta. Sayang hal tersebut masih sulit dipenuhi.

Kementerian Hukum dan HAM bukan tak memahami persoalan tersebut, tapi lagi-lagi persoalan kelebihan kapasitas menjadi isu yang lebih mendesak untuk ditangani. Secara resmi lembaga pemasyarakatan di Indonesia belum dapat menyediakan bilik asmara bagi warga binaan. Namun sering pula kita membaca berita-berita di media bagaimana para napi di sejumlah lapas bisa melakukannya dengan membayar sejumlah uang kepada oknum petugas.

Retaknya hubungan percintaan dan rumah tangga  berada di peringkat tertinggi persoalan yang dihadapi napi. Mendapatkan kiriman surat cerai dari pasangan mereka biasanya atau mendengar kabar bahwa pacar mereka akhirnya memutuskan menikah dengan orang lain bahkan tanpa memberitahu mereka.

Hal seperti itu misalnya dialami Abdul (25) yang menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Cipinang. Ketika saya menemuinya, ia belum lama pulih dari kekecewaan karena pacarnya yang sudah bersamanya selama tiga tahun akhirnya memilih menikah dengan orang lain.

Kejadian serupa dialami Supri (24) yang menjalani hukuman di Lapas Kelas I Surabaya. Ia masuk penjara karena terlibat kasus perkelahian kelompok yang berujung pada kematian seorang rekan. Supri kemudian masuk penjara, hanya sebulan sebelum pernikahannya. Padahal tempat sudah dipesan, undangan pun telah disebar. Awalnya ketika ia  masih menjalani proses peradilan, Supri masih menjalin hubungan dengan kekasihnya itu. Namun tidak lama setelah vonis 18 tahun penjara dijatuhkan, ia pun mendapat kabar dari teman-temannya bahwa pacarnya tersebut telah menikah dengan pria lain. Hal ini sempat membuatnya sangat terpukul.

Tentu saja sulit bagi pasangan dan keluarga dari warga binaan yang menjalani hukuman untuk bertahan dalam keadaan terpisah, apalagi untuk waktu yang panjang.  Namun di sisi lain bisa dibayangkan, para narapidana itu sangat membutuhkan dukungan dari pasangan dan keluarga mereka juga agar hari-hari berat di penjara dapat lebih tertanggungkan. Mereka yang masih masih memiliki keluarga dan rutin menerima kunjungan tentu termasuk yang sangat beruntung.  Ada saja warga binaan yang sudah ditinggalkan begitu saja oleh keluarga mereka seperti yang dialami Rustam berusia 40-an yang menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Tangerang.

"Batu nisan aja masih ada yang jenguk Mbak, saya sih nggak ada,” ujarnya getir.

 Yang Tumbuh dan Tetap Bertahan

 

Di penjara yang masih campur antara napi laki-laki dan perempuan, benih-benih cinta kadang tumbuh. Meskipun tinggal di blok terpisah tapi kerap ada kesempatan bertemu jika melakukan kegiatan yang sama di bengkel kerja.

Hal tersebut dialami seorang warga binaan di Lapas Kerobokan, Ann dan Rahul, keduanya warga negara asing. Keduanya tertangkap karena kasus narkoba. Di dalam lapas mereka sama-sama belajar melukis di sanggar lukis yang dirintis mendiang Myuran Sukumaran, salah seorang anggota Bali Nine yang sudah dieksekusi mati.

"Melukis membuat saya menjadi lebih tenang. Saya sebelumnya adalah orang yang bisa berlaku agresif jika marah. Tapi sekarang saya lebih bisa mengendalikan emosi,” cerita Ann.

Hubungan cintanya dengan Rahul juga membuat hari-harinya di penjara menjadi lebih tertanggungkan. Namun pada April 2016, Rahul termasuk warga binaan yang dilayar atau dipindahkan ke LP Madiun.

"Saya sedih, biasanya ada Rahul yang melindungi saya, membuat saya tertawa. Tapi sekarang kami terpaksa terpisah jauh,” kisahnya.

Saat ini mereka tetap berhubungan dengan segala keterbatasan, apakah melalui surat atau telpon. Ann dan Rahul ternyata bukan satu-satunya pasangan yang memiliki kisah seperti ini. Beberapa napi yang saya temui memiliki pengalaman serupa. Pasangan suami istri atau pacar yang keduanya menjadi terhukum di penjara yang kerap berbeda wilayah.

Meski penuh dengan cerita pahit, penjara bukanlah tempat yang tandus sama sekali akan harapan

Salah satunya pernah dialami oleh Angki Purbandono, salah satu seniman seni visual terkemuka yang berbasis di Yogyakarta yang menjalani hukuman karena kepemilikan ganja. Angki memang memiliki pendapat yang berbeda mengenai ganja, namun ia paham bahwa hukum yang berlaku di Indonesia menyatakan ganja sebagai barang yang ilegal. Saat itu Angki masih pacaran dengan Dian Ariyanti yang kini adalah istrinya.  Tak lama setelah tertangkap, Angki justru memutuskan melamar pacarnya itu di kantor polisi.

Beruntung lamarannya tetap diterima. Dian  yang menjadi penyangga utama bagi Angki dari luar penjara, termasuk kemudian tetap melaksanakan dua pameran karya Angki di Jakarta dan Hongkong.  Di dalam penjara, kreativitas Angki tak lantas padam dan ia merintis Prison Art Program dan membuat sejumlah projek seni yang kemudian dipamerkan.

Salah satu projek Angki adalah menggabungkan pengalamannya dengan istrinya, sehingga tercipta dua sudut pandang menarik dari ia yang berada di dalam dan Dian di luar penjara.

Selama Angki menjalani hukuman, Dian kerap melakukan swafoto dimana pun ia berada. Tidak selalu sendiri, kadang bersama kucing, teman- ataupun anak tetangga.  Foto-foto itu kemudian dicetak dan didesain sebagai kalender dinding yang bisa dirobek. Foto dicetak pada halaman tanggal sesuai pada saat foto itu dikirimkan.

Ketika pameran Prison Art diadakan, kalender itu salah satu objek yang ditampilkan. Pengunjung bisa melihat dan membayangkan hari-hari yang dialami Angki dan Dian yang terpisah melalui foto-foto itu, bahkan ikut merobeknya. Projek seni eksperimental yang menggabungkan antara pengalaman Angki dan Dian, ternyata bisa menjadi karya yang tidak hanya unik tapi juga mengharukan. Pengunjung pun bisa ikut membayangkan perasaan orang yang terpisah dari pasangannya dan menghitung hari untuk bisa berkumpul kembali.

Penjara memang ditujukan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggar hukum. Bagi sebagian orang, membaca cerita-cerita ini mungkin akan menimbulkan pikiran logis, salah sendiri mereka melanggar hukum. Maka semua kesulitan yang dialami para napi termasuk diceraikan dan dibuang dari keluarga hanyalah konsekuensi dari kesalahan mereka sendiri.

Pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya keliru. Namun di sisi lain para napi sebetulnya masih manusia yang berhak dipenuhi hak-haknya, termasuk antara lain adalah hak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Itulah mengapa bilik asmara merupakan salah satu sarana yang penting untuk dipenuhi di lembaga pemasyarakatan.

Ketika para napi diabaikan oleh keluarga, tak heran mereka pun akan mudah tertarik lagi kepada jejaring kriminalitas dan sulit keluar dari lingkaran kejahatan. Bukankah mereka sudah dicap buruk bagaimanapun? Bukankah mereka sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, lalu apa lagi yang tersisa untuk mereka? Itulah kenapa ada saja napi kambuhan yang bolak-balik masuk penjara lagi. Kemungkinan besar karena hidup di luar penjara justru malah lebih pedih bagi mereka.

Simak kisah dari penjara bagian I dan bagian II.

Penulis: Feby Indirani (ap/vlz) adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)

@FebyIndirani

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.