1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Stigma Anak Cacat

Günther Birkenstock8 Juni 2013

Di banyak negara di dunia, kecacatan menjadi sebuah stigma. Anak cacat ditutup-tutupi keluarga dan tidak diizinkan bersekolah. Sebuah laporan UNICEF menaruh perhatian pada penderitaan mereka yang tragis.

https://p.dw.com/p/18lbW
Foto: UNICEF Vietnam/Dominic Blewett

Uyen (9) dari kota Zandong di Vietnam adalah penyandang cacat mental. Untuk waktu yang lama, ia tinggal di rumah bersama kakek-neneknya tanpa bantuan atau pendidikan, hingga pekerja sosial meyakinkan kakek-nenek Uyen untuk mengirim Uyen ke pusat pendampingan bagi anak-anak cacat.

Uyen belajar banyak dari sekolah
Uyen belajar banyak dari sekolahFoto: UNICEF Vietnam/Dominic Blewett

"Ia tidak dapat jalan dan hanya bisa bicara beberapa kata," jelas Rudi Tarneden, jurubicara lembaga bantuan Anak-anak PBB (UNICEF). "Sekarang Uyen yang dulunya terisolasi berubah menjadi anak yang bahagia, penuh rasa ingin tahu dan cerdas." Perkembangan Uyen menjadi kisah sukses anak cacat dalam mendapatkan akses terhadap pendidikan, tambah Tarneden.

Namun situasinya umum bagi banyak anak cacat di negara berkembang atau negara ambang industri, berbeda dari kisah "happy end" Uyen. Tidak lebih dari 15 persen penyandang cacat di negara-negara berkembang memiliki akses terhadap alat-alat yang dibutuhkan seperti misalnya kursi roda.

Sekitar 75 persen penderita epilepsi di negara miskin tidak mendapatkan obat-obatan yang diperlukan, begitu menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meski tidak menyebutkan angka pasti.

Terlantar, terisolasi, terdiskriminasi

Walau banyak cara khusus untuk membantu anak cacat di negara maju, mereka "terlupakan, terlantar dan kerap terdiskriminasi" di bagian dunia lainnya, ungkap Tarneden. Ketidaktahuan dan stigmatisasi mendorong isolasi anak cacat sehingga mereka "tidak terlihat," demikian menurut laporan UNICEF.

Di Eropa Timur, misalnya, pemerintah lazimnya menganjurkan orangtua untuk mengirim anak cacat ke rumah perawatan khusus daripada membesarkan sendiri di tengah keluarga. UNICEF menyerukan sebaliknya. "Kami menuntut anak cacat tidak lagi diabaikan kalau menyangkut pengasuhan, dan fasilitas yang memadai harus dibuka," tegas organisasi tersebut.

Banyak contoh sukses proyek amal menunjukkan bahwa integrasi semacam ini bukan sekedar idealisme. Di Armenia, UNICEF mengajar guru dan pendidik cara merespon kebutuhan khusus anak cacat. Hingga kini, 81 sekolah reguler dan 30 taman kanak-kanak telah berpartisipasi dalam proyek ini.

Integrasi di sekolah reguler menjadi langkah besar bagi Armenia, sebuah negara di mana sekitar 30 persen anak cacat kini tidak bersekolah.

Wegner-Schneider: Beberapa orang menganggap kecacatan itu menular
Wegner-Schneider: Beberapa orang menganggap kecacatan itu menularFoto: privat

Integrasi, bukan isolasi

Organisasi amal sosial Gereja Katolik, Caritas, bertahun-tahun memperjuangkan hak anak cacat di negara berkembang.

Di Vietnam, Caritas mendidik tenaga bantuan kesehatan untuk membantu keluarga mengasuh anak cacat di rumah dengan lebih baik. "Anak cacat seringkali tidak bersekolah di sini, karena ketakutan dan diskriminasi," ujar Christine Wegner-Schneider, koordinator proyek Caritas di Asia. "Orang kerap berpikiran kecacatan itu penyakit menular."

Wegner-Schneider menilai kemajuan asosiasi orangtua di Vietnam sebagai langkah penting, karena bermanfaat untuk jangka panjang ketimbang fasilitas sosial yang mengisolasi anak cacat.

"Kami ingin anak cacat untuk tumbuh besar di lingkungan keluarga," tambahnya. Itu juga mengapa Caritas mendukung keluarga miskin dengan kredit mikro sehingga mereka dapat berinvestasi untuk peternakan sapi atau membuat bisnis kecil, karena membesarkan anak cacat berarti menggerogoti anggaran keluarga.