1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengunjungi Penari Bali di Kota Köln

20 Januari 2018

Bagaimana lika-liku hidup sebagai penari Bali di Jerman? Bagaimana pandangan warga Jerman atas penari pada umumnya, dan penari Bali pada khususnya? DW berbincang-bincang dengan Nyoman di rumahnya.

https://p.dw.com/p/2r6z0
Ni Nyoman Sukayahadi
Foto: DW/M. Linardy

Ni Nyoman Sukayahadi adalah penari Bali asal Indonesia yang sudah lama bermukim dan bekerja di Jerman. Selain menari dalam berbagai acara di Jerman, Nyoman juga kadang diminta menari di beberapa negara lain Eropa. DW berbincang-bincang dengan Nyoman di rumahnya.

 

DW: Mengapa memutuskan jadi penari?

Nyoman: Waktu saya kecil, saya senang sekali menari dan saya ingin bisa menari kalau ada upacara di pure. Karena sebagai anak kecil saya senang kalau bisa menari, bergerak dengan bagus dan jadi tontonan masyarakat banyak.


DW: Apakah orang tua mendukung?

Nyoman: Ayah saya iya, katanya. Karena saya tidak mengenal ayah saya. Waktu saya berusia tiga tahun ayah saya meninggal. Tapi ibu saya tidak mendukung, karena menurut dia, sebagai seniman hidupnya "senen-kemis," sekarang makan, besok tidak. Jadi kalau waktu kecil kalau saya ingin belajar menari saya berbohong, saya bilang saya akan belajar di rumah teman. Selain itu, memang ongkos untuk belajar menari mahal.

Mengunjungi Penari Bali di Kota Köln


DW: Apa bedanya bekerja di Indonesia dan di Jerman?

Nyoman: Kalau di Indonesia, dulu walaupun tidak dapat uang banyak, tapi bekerjanya setiap hari. Dan sebagai pelajar, kalau dapat uang sampai 250.000 Rupiah sebulan, itu sudah lumayan banyak. Bisa membiayai seluruh hidup. 

Kalau di Jerman, memang uangnya lebih banyak. Tapi Auftrag-nya (permintaannya) lebih sedikit. Kalau dalam setahun rata-rata pemasukan per bulan lebih dari 450 Euro, harus bayar pajak. Biasanya lebih banyak permintaan di musim panas daripada di musim-musim lainnya.

 

Bali-Tänzerin
Foto: Privat

DW: Mengapa orang Jerman suka tarian Bali?

Nyoman: Karena tarian Bali itu dinamis. Geraknya lincah, pakaiannya gemerlapan dan musiknya menghentak-hentak. Itu yang orang Jerman suka. Kalau misalnya tarian Jawa, orang Jerman suka juga, tapi kadang terlalu lembut. Sementara tarian Bali, walaupun berjam-jam, orang Jerman tahan menontonnya.


DW: Apa bedanya bekerja di Jerman dan di Indonesia sebagai perempuan?

Kalau di sini saya bebas bergerak. Terus misalnya kalau menari di luar kota, pulang sudah malam, tidak ada gangguan. Orang-orang tetap menghormati. Suamipun mendukung. 


DW: Pesan apa yang ingin disampaikan untuk perempuan muda Indonesia yang ingin jadi penari?

Nyoman: Belajar yang baik. Benar-benar belajar. Karena sebagai penari tidak mudah. Image-nya di masyarakat. Kalau kita salah sedikit, selamanya dicap. Saya sering dengar orang mengakan, "ah penari itu kan bisa dipakai". Memang ada juga yang seperti itu. Jadi harus hati-hati.

 

DW: Apakah cap jelek itu juga ada di masyarakat Jerman terhadap penari?

Tidak. Kalau di sini, semua profesi sama. Dan mereka menganggap seorang seniman adalah sesuatu yang luar biasa. Yang tidak dimiliki setiap perempuan, ataupun laki-laki. 
 

Wawancara: Marjory Linardy (Ed.: Ayu Purwaningsih)