1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjajaki Kesepakatan Baru-Konferensi Iklim Kopenhagen

6 Desember 2009

Komitmen untuk mengurangi emisi gas, sudah dua kali dinyatakan yakni pada Rio Earth Summit dan Protokol Kyoto, sampai kini gagal dipenuhi.

https://p.dw.com/p/KrSu
Foto: picture alliance / dpa /COP 15

Harapan sangat tinggi bahwa konferensi iklim di Copenhagen mencetuskan kesepakatan global baru yang bisa mengatasi pemanasan iklim global serta dampaknya setelah 2012, saat Protokol Kyoto berakhir. Peningkatan suhu global lebih dari 2° Celsius berpotensi menyebabkan bencana bagi dunia.

Menurut Profesor Tim Flannery, Ketua Copenhagen Climate Council, secara umum dampak pemanasan iklim global saat ini bisa berkisar antara moderat sampai sangat buruk. Di pihak lain, ada 10% peluang bahwa perubahannya akan menyebabkan bencana. Karena itulah, ia menyebut konferensi iklim di Copenhagen bukan semata ajang negosiasi untuk sebuah kesepakatan baru. Melainkan, puncak upaya diplomasi selama bertahun-tahun yang menentukan masa depan dunia.

Pernyataan Flannery tak jauh dari kenyataan. Konferensi di Kopenhagen yang mulai pada 7 Desember ini terkait dengan sejumlah isu fundamental yang bakal dihadapi masyarakat dunia. Demikian Flannery mengingatkan, bahwa di dalam isu iklim terdapat isu-isu keamanan pangan, keamanan sumber air bersih, migrasi massal dan destabilisasi politik. Hal-hal yang selama ini terbukti menjadi alasan konflik bersenjata, apabila secara diplomatis tidak diselesaikan dengan baik.

Untuk penyelesaian diplomatis, selama dua tahun terakhir ini tersedia pertemuan tetap dalam kerangka konvensi PBB untuk perubahan iklim, UNFCCC. Pertemuan UNFCCC dirancang agar wakil dari 192 negara bisa bertemu secara tetap untuk membahas perbaikan, tukar menukar informasi mengenai emisi gas rumah kaca, membicarakan kebijakan nasional, membahas pengalaman terbaik maupun terburuk dalam melawan pemanasan iklim. Selain itu untuk menggalang kerjasama guna membantu negara-negara menyesuaikan diri pada dampak perubahan iklim.

Yvo de Boer
Yvo de BoerFoto: AP

Minggu malam (06/12) menjelang pembukaan Konferensi Iklim di Copenhagen, Sekjen UNFCCC, Yvo de Boer kembali menyerukan, diperlukannya 30 milyar dolar dana bantuan segera untuk membantu negara-negara miskin mengurangi emisi karbon, di samping untuk bersiap menghadapi dampak perubahan iklim.

Dalam seruan yang didukung Uni Eropa itu, De Boer menyatakan bahwa untuk tahun 2010 dibutuhkan 10 milyar dolar. Selanjutnya, untuk tahun 2011 dan 2012, dibutuhkan jumlah dana yang sama. Seruan De Boer tak berhenti di situ. Ia menambahkan, sekitar tahun 2020 atau 2030 akan dibutuhkan lebih banyak dana lagi untuk mengatasi soal mitigasi emisi gas kaca dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pendanaan merupakan masalah yang peka. Tak sedikit kritik terhadap alokasi dana yang begitu besar untuk hasil yang tidak jelas. Suara skeptis bahkan sebelumnya sudah terdengar. Dalam sebuah pembicaraan sebelumnya, Dr. Bjorn Lomborg, Direktur Copenhagen Consensus Center dan pengarang buku "Cool It: The Skeptical Environmentalists's Guide to Global Warming“ mengingatkan, terkait dengan Konferensi di Kopenhagen kerap didengungkan pentingnya untuk segera mengurangi emisi gas karbon. Lomborg menilai ini merupakan kebijakan buruk. Pasalnya, komitmen untuk mengurangi emisi gas, sudah dua kali dinyatakan yakni pada Rio Earth Summit dan Protokol Kyoto. Dan kedua komitmen itu gagal dipenuhi.

Dänemark Björn Lomborg zu UN Klimakonferenz Bali
Bjørn Lomborg, pengurangan emisi gas karbon sangat mahal, tapi tidak efektif.Foto: AP

Protokol Kyoto, sebagai perluasan kesepakatan Earth Summit 1992 di Rio de Janeiro, mencatat komitmen negara-negara industri, untuk sampai tahun 2012 mengurangi emisi gas kaca sedikitnya 5% di bawah emisi pada tahun 1990. Di samping itu, negara-negara kaya bisa menambah atau mempertahankan kuota emisi gas yang dimilikinya, melalui sistim pembelian, penukaran atau dengan berinvestasi dalam proyek energi bersih di negara-negara berkembang. Sementara, tidak ada penetapan target emisi yang mengikat bagi negara-negara miskin dan berkembang, kecuali untuk secara umum mengurangi polusi.

Pengurangan emisi gas kaca sejumlah 5% diharapkan akan membatasi peningkatan suhu bumi tak lebih dari 2°C. Namun sampai kini, hal itupun tak terpenuhi. Sejumlah data dari berbagai lembaga independen malah menunjukan, bahwa mendatang jumlah emisi gas setiap negara justru akan meningkat. Juga karena negara-negara industri tidak mengurangi emisi gasnya, melainkan sekedar berinvestasi dalam proyek ramah lingkungan atau menukarnya dengan seritifikat karbon yang berupa janji perlindungan hutan dari negara-negara, yang tak pasti bisa memenuhinya.

Menurut Lomborg, masalah perubahan iklim harus diselesaikan secara lebih cerdas. Ia menyarankan, investasi dalam riset dan teknologi yang betul-betul bisa mengatasi masalah pemanasan global. Disebutkannya, meski tampak lebih mahal, hasil yang didapatkan darinya 500 kali lebih efektif daripada komitmen untuk mengurangi emisi gas. Sebagai saran lain, ia menyerukan agar teknologi energi surya dan ramah lingkungan lainnya dibuat sedemikian murah sehingga semua pihak mampu dan ingin menggunakannya.

Dr Tim Flannery, dari Copenhagen Climate Council menegaskan, kesepakatan global yang baru memang diperlukan. Ia mengatakan, agar semua yang terlibat bisa berbagi beban secara kreatif dan lebih seimbang. Disebutkan, kesepakatan global baru juga dibutuhkan untuk mendorong terjadinya transfer teknologi dan agar negara berkembang turut mendanai perlindungan hutan. Selain itu kesepakatan global dibutuhkan untuk menjamin agar masyarakat yang termiskin di dunia tidak mengalami penderitaan yang terlalu berat akibat perubahan iklim ini mendatang.

Saran-saran yang disampaikan Dr. Bjorg Lomborg sebenarnya tidak keluar dari kebutuhan untuk adanya kebijakan baru sehubungan perlindungan iklim global. Sampai akhir konferensi pada 18 Desember mendatang, masih perlu ditunggu apakah regulasi yang disepakati itu termasuk cerdas atau bukan.

Edith Koesoemawiria
Editor:Rizky Nugraha