1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjelang KTT NATO di Lisabon

16 November 2010

NATO saat ini menghadapi ancaman berbeda sekali dibandingkan saat Perang Dingin. Misalnya serangan hacker atas data-data penting, gudang senjata atom atau teror. NATO kini hendak menyepakati strategi baru.

https://p.dw.com/p/QApd
Sekjen NATO Anders Fogh RasmussenFoto: AP

Pada KTT di Lisabon Jumat (18/11) dan Sabtu (19/11) pekan ini, pakta militer NATO hendak menggolkan sebuah strategi baru. Mengapa NATO memerlukannya? Padahal Perang Dingin, saat strategi saat ini disepakati, telah berakhir sekitar sepuluh tahun yang silam. Meskipun demikian, NATO pada dasarnya masih berpikir dalam kategori masa lalu. Demikian menurut pendapat pakar keamanan Roland Freudenstein dari Centre for European Studies di Brussel: „NATO pada dasarnya masih mempersenjatai dirinya bagi perang konvensional untuk menangkis serangan di wilayahnya. Ini adalah ancaman yang sebenarnya tidak lagi eksis."

Freudenstein berpendapat, NATO hingga kini tidak memiliki strategi yang memadai untuk menghadapi sejumlah ancaman baru, misalnya terorisme cyber, serangan senjata kimia, negara-negara di ambang kehancuran yang dapat membahayakan dunia, atau penyebaran luas senjata nuklir dan teknologi rudal. Ketidaksiapan ini terutama akan membawa konsekuensi bagi tentara. Artinya, NATO harus memiliki pasukan jenis baru. Pasukan ini harus memiliki jaringan yang modern dengan sarana komunikasi paling mutakhir, harus dapat dikerahkan segera, dengan perlengkapan ringan dan harus merupakan angkatan bersenjata profesional. Demikian ungkap pakar keamanan Freudenstein.

Karena itu, rencana reformasi angkatan bersenjata Jerman, Bundeswehr dilihatnya sebagai kebijakan yang benar, meskipun bila dibandingkan dengan negara NATO lainnya merupakan langkah yang agak terlambat.

Tetapi tidak hanya serdadu dan perlengkapannya saja yang harus diubah. Sekretaris Jendral NATO, Anders Fogh Rasmusse juga melihat pembangunan sebuah sistem penangkis rudal sebagai bagian dari strategi baru. Misalnya untuk menangkis serangan dari Iran. Dalam pertemuan para menteri pertahanan dan luar negeri negara anggota NATO, Oktober lalu di Brussel, Rasmussen mengimbau mitra aliansinya untuk tidak menggagalkan proyek yang kontroversial itu: „Saya berharap, KTT ini mengeluarkan keputusan mengenai penangkis rudal. Ini akan merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa kami siap memperbaiki kemampuan pertahanan meski saat ini harus melakukan penghematan."

Tetapi tidak hanya isu pembiayaan yang diperdebatkan. Juga masih belum jelas apakah Rusia dapat diajak bekerja sama dalam program penangkis rudal tsb. Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle mendapat penolakan tegas di Brussel dan juga di Jerman, dengan gagasannya agar pembangunan sistem penangkis rudal dikaitkan dengan pengurangan senjata nuklir. Menteri Pertahanan AS Robert Gates menyikapi usulan itu dengan tegas, Oktober lalu di Brussel: „Saya sama sekali tidak pernah mendengar tentang kaitan antara penangkis rudal dan pengurangan senjata nuklir. Berbagai pembicara bahkan mengatakan, selama kita hidup di dunia dengan senjata nuklir, adalah penting bahwa NATO tetap merupakan aliansi yang memiliki senjata nuklir."

Perancis juga menolak tegas untuk mengorbankan senjata nuklirnya. Tidak hanya dengan alasan pertahanan, tetapi juga karena tidak ingin kehilangan citra. Dengan begitu, tujuan menciptakan dunia bebas senjata nuklir seperti yang digambarkan Presiden AS Barack Obama, tampaknya akan merupakan impian amat jauh tanpa memiliki dampak langsung terhadap strategi baru NATO.

Christoph Hasselbach/Christa Saloh

Editor. Agis Setiawan