1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Menteri Susi: Perempuan Terlalu Memikirkan Keperempuanannya

Vidi Athena Dewi Legowo-Zipperer
8 Maret 2018

Apa kisah di balik tatonya, mengapa ia dianggap membangkang atasan, dan apa pendapat beliau tentang masalah perempuan di Indonesia? Simak wawancara ekslusif DW dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

https://p.dw.com/p/2twoV
Susi Pudjiastuti, indonesische Ministerin für Fischerei
Foto: Reuters/W.Putro

Sosok Susi Pudjiastuti dianggap kontroversial, tidak sesuai dengan gaya politik Indonesia yang konservatif. Sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh Presiden Joko Widodo tahun 2014, Susi Pudjiastutikerap menjadi buah bibir media dan jejaring sosial. Penampilannya pun dianggap tidak sesuai dengan "norma" perempuan-perempuan Indonesia. Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, DW Indonesia melakukan wawancara ekslusif dengan Menteri KKP Susi Pudjiastuti.

Deutsche Welle (DW): Anda meninggalkan bangku sekolah saat SMA dan nekad untuk berbisnis yang kemudian sukses. Apakah menurut Anda pendidikan tidak cukup untuk menjamin masa depan seseorang?

Susi Pudjiastuti: Tidak bisa seperti itu juga. Keputusan itu sangat pribadi. Saya pikir saya waktu itu merasakan bahwa saya tidak sesuai dengan sistem sekolah. Saya memutuskan untuk mandiri. Saya masih berpikir pendidikan sangat penting, karena tidak semua orang kepribadiannya seperti saya. Pada dasarnya, pendidikan masih sangat penting. Dan tidak semua bisa seberuntung saya. Jadi sebaiknya ya harus tetap menempuh jalur pendidikan.

Pesan Menteri Susi Pudjiastuti Kepada Perempuan Indonesia

Anda dikenal sebagai perempuan yang berbeda dari norma di Indonesia. Bertato, merokok dan bergaya maskulin. Apa yang ingin Anda tunjukkan dari perbedaan Anda itu?

Tato dan rokok telah menjadi bagian dari diri saya selama bertahun-tahun. Ini adalah cara saya menjalani hidup saya. Tato hanyalah hasil dari "night out" bersama kawan-kawan perempuan dan waktu itu mereka  pada bikin tato, ya saya ikut-ikut saja. Tato tidak bisa dibuang kan. Ya sudah, mau apa lagi. Dan kebetulan saya dulu bekerja di perusahaan saya sendiri  yang tidak mengharuskan saya untuk tidak bertato. Sementara masalah merokok ya itu kebiasaan yang kemungkinan menjadi seperti kecanduan. Hobi yang tidak sehat. Tapi yah adalah bagian dari diri saya.

Apa ada niat untuk menambah tato?

Ndak lah. (Beliau tertawa - Red) Sudah 30 tahun lebih itu. Dan selalu jadi bahan pergunjingan ya. Kadang-kadang jadi mengganggu juga. Kadang saya menyesal.

Sebagai perempuan, apakah ada hambatan yang Anda alami sebagai menteri dan bagaimana cara Anda mengatasinya?

Dalam hal pekerjaan tidak ada. Cuman ada hal private  sebagai wanita yang kadang-kadang agak susah. Seperti misalnya kunjungan ke daerah, tidak ada MCK yang benar. Jadi akhirnya saya belajar dari beberapa pengalaman. Misalnya waktu saya ke Waingapu, ada lokasi yang tidak ada MCK. Jadi kalau kepepet harus pipis  ya berenang saja ke laut. Dengan cara saya bekerja, tidak ada yang mempermasalahkan perempuan atau laki-laki. Mereka pikir saya bisa mengerjakan apa saja. Jangan pikirkan tentang perbedaan.

Kebijakan Anda dalam menenggelamkan kapal menimbulkan konflik. Baik Wapres Jusuf Kalla dan Menko Maritim Luhut Panjaitan meminta agar kebijakan penenggelaman kapal segera dihentikan. Mengapa Anda memiliki pendapat yang bertentangan?

Penenggelaman kapal itu bukan kebijakan Susi Pudjiastuti. Ini yang media selalu salah. Tapi amanah undang-undang dan penenggelaman itu diputuskan oleh keputusan pengadilan. Jadi hanya kapal yang diputuskan oleh pengadilan untuk dimusnahkan, itu yang ditenggelamkan oleh kita.

Kenapa penggelaman itu diliput besar-besaran, karena itu hasil keputusan bersama presiden. Presiden memutuskan untuk efek jera, kita publikasikan. Jadi bukan kebijakan Susi.

Kemudian tentang kabar bahwa ekspor turun gara-gara pengenggelaman kapal, justru tidak. Sejak kita perang melawan penangkapan ikan ilegal, ekspor kita naik terus. PDB (produk domestik bruto) Perikanan Indonesia dari tadinya nomor buncit sekarang nomor satu di Asia Tenggara. Ekspor kita naik. Impornya turun. Nilai tukar usaha perikanan juga naik menjadi 120 persen.

Saya juga heran dengan perdebatan yang ada. Penenggelaman itu bukan aksi pribadi tapi pelaksanaan keputusan pengadilan. Yang kapal langsung ditembak di tengah laut tidak ada selama saya bertugas - tidak ada yang tanpa keputusan pengadilan. Aneh sebenarnya ada pejabat yang mempertanyakan hal ini.

Ada juga yang bertanya: "Eh kepikir gak bu menteri sama mereka yang kapalnya ditembaki?" Ya kita mesti tanya sama orang yang ditahan. Misalnya kasus KPK, eh bagaimana tuh perasaan keluarga yang lagi diperiksa sama KPK. Tapi saya diam saja. Kan kita namanya pembantu, bawahan. Tidak boleh macam-macam.

Sosok Anda dianggap sebagai sosok yang kontroversial, namun dicintai. Khususnya di jejaring sosial. Mengapa menurut Anda fenomena ini bisa terjadi?

Saya tidak bisa menganalisanya. Terlalu aneh untuk pola pikir saya. Ya orang cinta, orang senang. Untuk saya yang penting, saya bekerja profesional. Itu saja. Mengkin juga karena ada perasaan apa dari masyarakat, bahwa sekarang kita berdaulat, kita punya kekuatan, kita ini punya rasa bangga. Ternyata negara tetangga kita ini ikannya nyuri dari kita, makanya PDB mereka hancur total sekarang di perikanan.

Indonesia Tetap Tegas Perangi Illegal Fishing

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional, apa menurut Anda masalah yang masih terus dihadapi oleh perempuan di Indonesia?

Mereka terlalu memikirkan keperempuanannya. Mungkin karena setiap perempuan berpikir keperempuanannya, jadi secara masyarakat juga selalu berpikir gender interest. Akhirnya tidak maju kemana-mana. Saya pikir kita harus mulai untuk berbicara "apa yang bisa kita lakukan". Jangan berpikir "apa yang bisa kita lakukan sebagai perempuan". Apa yang bisa kita lakukan di masyarakat? Apa yang bisa kita lakukan untuk masyarakat? Jadi jangan sekedar dari kacamata atau tolakan berpikir seorang wanita. Selama itu kita bisa lihat, kita rasakan, pikirkan, ya lakukan. Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Semua sama.

Wawancara dilakukan oleh Kepala Redaksi DW Indonesia Vidi Legowo-Zipperer (@vlegowozipperer).