1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menunggu Tanda Penyesalan Jepang

14 Agustus 2015

Pernyataan maaf PM Jepang Shinzo Abe menyangkut kekejaman dalam Perang Dunia II masih ditunggu. Terutama negara-negara tetangga Jepang masih mencari tanda penyesalan Jepang.

https://p.dw.com/p/1GFT6
PM Shinzo Abe (kedua dari kiri)Foto: Reuters/T. Hanai

Kata-kata yang digunakan Shinzo Abe untuk menandai 70 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Asia, tanggal 14 Agustus. punya makna simbolis penting, karena menunjukkan bagaimana pemerintah negara itu memandang masa lalu Jepang. Ini juga bisa menetapkan langkah ke masa depan dengan negara-negara tetangganya, Cina dan Korea Selatan, yang masih menderita akibat laksi brutal Jepang di Asia.

Sejarah perang Jepang kembali jadi fokus setelah Shinzo Abe (60) mulai menjabat PM Jepang akhir 2012. Banyak orang berpendapat, Abe berusaha meremehkan kekejaman Jepang di masa Perang Dunia II. Abe juga mengadakan kunjungan ke makam Yasukuni tahun 2013, di mana tentara Jepang yang dianggap pahlawan negara itu dikuburkan. Kunjugannya itu kerap menyulut kemarahan negara-negara tetangganya yang masih berang. Bisa dibilang, apapun yang dikatakan Abe, jika tidak nyata sebagai permintaan maaf, akan kembali menyulut kemarahan Cina dan Korea Selatan, dan memancing kecaman diplomatis dari Washington.

Pernyataan Abe disampaikan pukul 6 sore waktu Jepang. Ini jadi kepala berita utama di Jepang. Kantor berita NHK melaporkan, Abe akan menggunakan kata-kata "maaf" serta "agresi", yang juga ditemukan dalam pernyataan Tomiichi Murayama di tahun 1995, ketika ia menjabat perdana menteri. Sementara itu, koran Yomiuri mengatakan, kata "agresi" dan "penyesalan" kemungkinan bisa dibaca dalam pernyataan Abe, juga "rasa terima kasih" karena citra Jepang yang baik di mata dunia, setelah PD II berakhir.



Namun Abe sendiri hanya mengatakan akan menyatakan penyesalan. Itu mengherankan banyak orang, karena ia sebelumnya berbicara soal pentingnya "sikap yang mengacu ke masa depan", dan berkonsentrasi pada peran positif negaranya di Asia, di masa setelah perang. Abe juga menyebabkan keberangan karena berdalih soal definisi kata "invasi", dan meremehkan sistem perbudakan seks yang dilancarkan secara sistematis oleh Jepang di masa Perang Dunia II.

Berbeda dengan Jerman yang meminta maaf

Sikap nasionalis Abe populer di kalangan politisi Jepang yang berhaluan kanan. Sementara selama beberapa dekade, banyak orang Jepang lebih melihat diri sebagai korban bom atom Amerika Serikat, dan bukan sebagai agresor yang bertanggungjawab atas konflik di Asia Pasifik.

Berbeda dengan Jerman, Jepang hampir tidak menunjukkan penyesalan dan permintaan maaf sebagai negara, bagi kesalahan pemerintahan di masa lalu. Kaisar Hirohito, yang diagungkan, meninggal 1989 tanpa memberikan pernyataan tanggungjawab atas perang yang dilancarkan atas namanya. Itu tidak dipertanyakan. Sebaliknya, Jerman sepenuhnya menyalahkan Adolf Hitler dan rezim NAZI bagi kekejaman Jerman selama Perang Dunia II.

Dalam kunjungan Maret 2015 ke Jepang, Kanselir Jerman Angela Merkel menyinggung masalah permintaan maaf atas pelanggaran yang dilakukan di masa perang dengan mengatakan, meminta maaf penting untuk memperbaiki hubungan dengan negara lain.


Pakan lalu, sebuah komisi, yang bertugas memberi nasehat bagi Abe tentang pemilihan kata, mengatakan dengan jelas, Jepang "menyebabkan kerugian besar bagi banyak negara, terurtama di Asia, akibat perang yang brutal". Menurut jajak pendapat, 44% warga Jepang mengatakan bahwa sudah cukup jika Jepang meminta maaf. 31% berpendapat permintaan maaf belum cukup, sementara 13% mengatakan Jepang sama sekali tidak perlu meminta maaf.


ml/yf (afp, dpa)