1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Merajut Persatuan ala Sukarno

26 Desember 2016

Bagi Sukarno, terwujudnya persatuan Indonesia adalah hal yang amat penting. Bagaimana semangat persatuan itu kini di tanah air? Berikut opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/2UQ8e
Deutschland Bonn - Sukorno und Konrad Adenauer
Foto: Imago/ZUMA/Keystone

Kata ‘persatuan Indonesia' menggema dengan lantangnya di hari-hari belakangan ini, dalam kondisi politik Indonesia yang terus menggalami gejolak dan kian hari kian kompleks. "Istilah" ini tidak hanya dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo selaku pelaksana konstitusi Indonesia dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Namun juga digembar-gemborkan kalangan organisasi-organisasi masyarakat dengan aksi-aksi demonstrasinya yang bertitel ‘411' maupun ‘212' yang digelar belum lama ini.

Saya yakin, tiap pihak pasti memiliki tafsir yang berbeda-beda terhadap arti ‘persatuan' itu sendiri. Namun tak bisa dipungkiri, kata ibarat mantra ini adalah kunci dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. semua pasti menyadari, negara ini tak akan pernah eksis tanpa "persatuan" sederetan suku-suku bangsa yang sebelumnya terpisah-pisah dan dikotak-kotakan dalam sistem kolonialisme Belanda.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Dalam sejarahnya, Sukarno adalah seorang Indonesia pembawa pesan persatuan yang paling masyhur. Tidak hanya mempersatukan bangsa Indonesia, presiden pertama Republik Indonesia itu juga mempersatukan visi dan misi bangsa-bangsa Asia-Afrika Bahkan ian juga menyerukannya di tanah Eropa, di hadapan bangsa Jerman, yang ketika itu persatuannya tengah dikoyak-koyak oleh saudaranya sesama bangsa Barat, Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Bung Besar di Jerman Barat

Secara historis, kelahiran bangsa Jerman dan Indonesia cukup serupa. Keduanya berasal dari suku-suku bangsa yang independen sebelum tersatukan dalam bingkai ‘nation-state'; Jerman pada 1871 dan Indonesia pada 1945. Sukarno pasti geram melihat persatuan Jerman yang kala itu, pertengahan 1950-an, tengah terkoyak-koyak akibat kompromi politik sekutu pasca Perang Dunia II. Jerman Barat digenggam kubu Amerika Serikat dengan dukungan Inggris dan Perancis, dan kubu Uni Soviet mengendalikan Jerman Timur. Berlin, bekas ibukota pemerintahan "Kekaisaran Ketiga" Nazi, pun terbelah menjadi wilayah Barat dan Timur.

Karenanya, sentimen akan persatuan menjadi modal utama bagi Sukarno untuk menarik perhatian rakyat Jerman, kala ia mengunjungi Jerman Barat pada 18-26 Juni 1956. Terlebih saat itu moral dan prestise bangsa Indonesia terhadap isu persatuan sedang barada di posisi cukup tinggi setelah terbukti sukses menggelar Konferensi Asia-Afrika di Bandung setahun sebelumnya.

Dampaknya, Sukarno pun dikenal sebagai pembawa pesan kebebasan bangsa-bangsa dunia dari cengkraman blok-blok politik Barat dan Timur. Dan saya kira, hal itulah yang menjadi dasar bagi Presiden Theodor Heuss, Presiden Jerman Barat kala itu untuk mengundang Sukarno datang berkunjung ke negaranya.

Adapun Jerman bukanlah negeri yang asing bagi Sukarno. Karya-karya pemikir Jerman seperti Immanuel Kant, Friedrich Hegel, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Friedrich Nietzche sudah dilahapnya sedari muda. Istimewanya, mesin tik buatan Jerman jugalah yang mengabadikan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia, hasil tulisan Sukarno, pada 1945. Sukarno fasih berbahasa Jerman, bahkan ia juga tahu dan mendengarkan lagu-lagu patriotik Jerman, seperti ‘Ich hatt' einen Kameraden' dan ‘Horst-Wessel-Lied'.

Garis besar kegiatan Sukarno di Jerman Barat tertuang dalam laporan yang ditulis oleh sekretaris pribadinya, Winoto Danuasmoro, berjudul Perdjalanan P.J.M. Presiden Ir. Dr. Hadji Achmad Sukarno ke Amerika dan Eropah. Sukarno dan rombongan selalu disambut meriah di kota-kota yang dikunjunginya.

Namun, panggung sesungguhnya bagi seorang Sukarno untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya, dalam hal ini tentang persatuan, adalah dengan berada di tengah-tengah kerumunan massa, seperti yang kerap ia lakukan di tanah air.  Sukarno mengunjungi Berlin Barat pada 20 Juni, didampingi oleh pejabat kota dan utusan-utusan kedutaan Soviet. Bagi publik Jerman, ini adalah sebuah kemenangan politis: seorang sosok pemersatu mahsyur mau menginjakkan kakinya di Berlin yang saat itu dapat dikatakan sebagai garis depan Perang Dingin dan simbol pecahnya persatuan bangsa Jerman pasca perang.

Sukarno mendukung persatuan Jerman

Sedangkan ceramahnya di kota Heidelberg, 22 Juni, Sukarno meninggalkan kesan yang lebih dalam. Di hadapan pejabat dan mahasiswa Universitas Heidelberg, universitas tertua di Jerman tersebut, ia mengutarakan adanya kesamaan sentimen antara bangsa Indonesia dan Jerman dalam hal mendambakan persatuan bangsa yang utuh dan damai, tanpa intervensi kelompok-kelompok asing. Sukarno menjadi pemimpin asing pertama yang datang ke Jerman pasca perang yang secara eksplisit mengutarakan dukungannya terhadap persatuan bangsa Jerman.

"Semoga perjuangan kalian, kawan-kawan Jerman-ku, akan segera terpenuhi. Mudah-mudahan negara kita dapat disatukan oleh sebuah semangat yang menginspirasi seorang besar, Friedrich Schiller, untuk berkata: kita (orang-orang Jerman) adalah negara persaudaraan yang sebenar-benarnya, dan tidak pernah menjadi bagian dari ancaman dan ketakutan," ujar Sukarno.

Saya yakin bahwa anak-anak muda Jerman pasti terkesima menyaksikan Sukarno, seorang manusia Asia yang di masa Nazi Jerman dilecehkan ‘kemurnian' ras-nya, justru tahu banyak tentang sejarah mereka dan memahami harapan rakyat Jerman Barat untuk bersatu kembali dengan saudara-saudara sebangsanya di Jerman Timur, tanpa sekat-sekat politik apapun.

"Pidato Sukarno, baik di Bonn maupun di Heidelberg, mendapat perhatian dan sambutan yang hangat sekali. Beratus-ratus mahasiswa berjenis kebangsaan, laki, perempuan terpaksa duduk di lantai, karena gedung yang luas dan besar itu penuh sesak padat,” tulis Winoto. Dalam kesempatan yang sama, Universitas Heidelberg menyematkan Sukarno gelar doktor kehormatan, setelah sebelumnya gelar serupa juga diberikan kepadanya oleh Universitas Teknik Berlin.

Sebaliknya di Belanda, kunjungan Sukarno ke Amerika dan Eropa justru menuai protes, terutama dari Menteri Luar Negeri Joseph Luns. Alih-alih dinilai sebagai tokoh pemersatu, publik Belanda nyatanya masih melihat Sukarno sebagai sosok pemecah belah angan-angan kolonialisme Belanda. Terlebih saat itu masalah kepemilikan Irian Barat yang dirundingkan oleh Belanda dan Indonesia masih belum sampai ke titik temu. Namun toh, kecaman itu justru membuat publik Jerman lebih bersimpati terhadap Indonesia daripada kepada negara tetangganya tersebut.

Tidak hanya membicarakan tema politik, kunjungan Sukarno juga membawa misi ekonomi. Ia mengunjungi pabrik-pabrik Jerman ternama seperti Krupp (Essen), Borgward (Hamburg), Hoechst AG dan IG Farben (Frankfurt), serta Daimler-Benz (Stuggart). Paerusahaan-perusahaan tersebut lalu berangsur-angsur menanamkan investasinya dan berperan dalam memajukan perekonomian Indonesia; inilah buah tangan manis dan bernilai ekonomis yang dibawa oleh Sukarno dari kunjungannya ke Jerman Barat untuk pembangunan Indonesia.

Persatuan yang Terancam

Apa yang dapat dipelajari dari kisah kecil kunjungan Sukarno ke Jerman Barat ini? Salah satunya ialah, bahwa bangsa ini pernah mencapai kepercayaan diri dan pemahaman yang tinggi akan sebuah konsepsi persatuan, sesuatu yang agaknya amat sangat sulit ditemukan saat ini.

Pemerintah sekarang memang lantang menyerukan persatuan, tetapi seakan tidak serius (atau tidak berdaya) dalam menghadapi elemen-elemen radikal dari organisasi masyarakat yang justru mengancam persatuan itu sendiri. Tentu saja ini sikap yang kerdil dan patut disayangkan apabila dibandingkan dengan masa ketika Indonesia masih memiliki Sukarno, seorang presiden yang tidak pernah setengah-setengah menyerukan pentingnya persatuan. Bukan hanya untuk Indonesia, namun untuk bangsa-bangsa manapun yang mendambakannya.

Pesan Sukarno tentang persatuan Jerman akhirnya terwujud kala tembok Berlin runtuh pada 1989. Sedangkan di saat yang sama, bangsa Indonesia malah tengah tersekap oleh teror persatuan ala Orde Baru. Dan kini, Indonesia maupun Jerman kembali harus berjuang mempertahankan persatuan masing-masing, di tengah gencarnya gelombang gerakan Islam radikal.*

 

Penulis:

Rahadian Rundjan (ap/as)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@rahadianrundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.